TintaSiyasi.com -- Kisah sedih para pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri seolah tiada henti. Meriance Kabu, seorang mantan pekerja migran yang berasal dari NTT mengatakan dia mengalami penyiksaan “kejam” di tangan majikannya di Malaysia, delapan tahun lalu. “Neraka dan budak”. Itu adalah dua kata yang disebut Meriance ketika mengenang pengalamannya menjadi pekerja rumah tangga di Malaysia (www.bbc.com, 02/03/2023).
Yang lebih pahit, setelah mengalami penyiksaan dipukul dengan ikan beku hingga kepala berdarah. Dipukul dengan pentungan hingga bagian wajah dan tulang hidung patah. Tubuh ditempel dengan setrika panas. Lidah terpotong. Puting susu dan kemaluan dijepit dengan tang lalu ditarik.
Hakim pengadilan Malaysia, pada Oktober 2017, memutuskan DNAA –‘discaharge not amounting to an acquittal” atau dilepaskan tanpa dibebaskan terhadap Serene, majikan yang menyiksa Meriance di Malaysia. Meri mengatakan “akan mengejar keadilan sampai mati” (Kompas.com, 04/03/2022).
Namun kejadian demi kejadian buruk yang dialami para pekerja migran tidak mengurangi animo masyarakat untuk mencari rejeki di negeri orang dengan segala risiko yang harus diterima. Dari ribuan kasus yang menimpa pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia, ratusan di antaranya adalah kasus penganiayaan termasuk penyiksaan fisik.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan ia "tak tahu kapan ini akan berakhir karena korban terus berjatuhan, dari penyiksaan, gaji tidak dibayar, dan lain-lain." Kasus yang disebut Hermono gaji yang tidak dibayar - dari lama bekerja sekitar setahun sampai 10 tahun - mencapai lebih dari 2.300, menurut data dalam lima tahun terakhir. Di tengah ini semua, permintaan pekerja di sektor ini terus meningkat dan bahkan mencapai sekitar lebih dari 66.000 sampai Februari 2023, berdasarkan angka dari KBRI Malaysia (www.bbc.com, 03/03/2023).
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Kementerian Ketenagakerjaaan sepanjang Januari-Mei 2022, terdapat 46,56 ribu PMI mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Dengan detail terdapat 22,47 PMI bekerja di sektor formal dan ada 24,09 ribu bekerja di sektor informal.
Tercatat sebanyak 67 WNI dan PMI dari Malaysia telah dipulangkan ke Indonesia pada 23 Februari 2023. Seluruhnya berasal dari Nusa Tenggara Timur. Sebelumnya mereka ditahan pemerintah Negeri Sembilan, Johor Baru, Malaysia karena tidak memiliki dokumen yang lengkap. (Nasional.tempo.co, 03/03/2023).
Kemiskinan Mendorong Rakyat Merantau ke Luar Negeri
Kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerjaan di dalam negeri mendorong ribuan masyarakat Indonesia nekat merantau ke luar negeri. Tanpa skill, tanpa pendidikan dan kemampuan berbahasa asing yang memadai. Hanya bermodalkan nekat karena himpitan ekonomi keluarga. Yang lebih miris lagi, sebagian pekerja migran Indonesia adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak kecil dan tidak memiliki keahlian apa-apa. Mereka berangkat keluar negeri untuk menjadi pembantu rumah tangga.
Kondisi penawaran pekerjaan (job order) dengan upah yang tinggi di negara lain dibandingkan dengan upah di Indonesia menjadi alasan meningkatnya jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang memilih untuk bekerja di luar negeri. Jika di dalam negeri gaji PRT sekitar 600 ribu sampai dengan 1,5 juta perbulan. Di luar negeri bisa 3 sampai 5 juta perbulan.
Namun, mereka harus bertarung dengan kehidupan asing yang tidak memberikan jaminan keamanan. Mereka juga melawan fitrah keibuan dengan meninggalkan anak dan suami di kampung halaman demi mencari nafkah. Padahal, kewajiban mencari nafkah ada di pundak laki-laki sebagai kepala keluarga. Bukan dipundak seorang wanita yang kewajibannya menjadi ummu wa rabbatul Bait.
Jaminan Kesejahteraan Rakyat Menyudahi Derita PMI
UU Nomor 18 Tahun 2017 yang mengatur perlindungan terhadap pekerja migran sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja hingga saat ini belum mampu memberikan perlindungan maksimal. Begitupun, Permenaker No. 4 tahun 2023 tentang Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang baru saja ditandatangani.
Karena, akar masalah kekerasan yang dialami pekerja migran tidak semata mata masalah teknis seperti minimnya skill mereka yang berangkat, kemampuan berkomunikasi bahasa asing ataupun masalah dokumen yang tidak lengkap.
Akar masalah derita pekerja migran adalah ketiadaan pekerjaan di negeri sendiri serta kemiskinan dan kesusahan yang menghimpit mereka. Mereka tidak perlu perlindungan hukum di luar negeri. Yang mereka perlukan adalah jaminan perlindungan kesejahteraan di tanah mereka sendiri.
Jika seorang warga negara ingin merantau ke luar negeri. Mereka haruslah berangkat dengan dagu yang tegak. Karena memiliki kemampuan dan skill dengan posisi tawar yang tinggi. Atau merantau untuk menuntut ilmu dan menambah tsaqofah Islam untuk kejayaan umat.
Dengan demikian, solusi atas derita pekerja migran adalah jaminan kesejahteraan oleh negara atas mereka. Lapangan pekerjaan yang memadai. Serta bekal pendidikan dan keterampilan yang mereka peroleh dari proses pendidikan yang diregulasi oleh negara.
Tidak bisa dipungkiri, jaminan kesejahteraan untuk rakyat tidak akan pernah bisa diraih jika negara masih memisahkan agama dari kehidupan. Karena Islam, telah memberikan seperangkat aturan yang akan menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, penerapan sistem pendidikan Islam, politik swasembada pangan dan tata kelola tanah yang diperintahkan ajaran Islam serta politik industri alat berat akan membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat sekaligus menjadikan negara kuat dan memiliki bargaining position di hadapan negara asing.
Dengan menerapkan sistem politik ekonomi Islam, negara berdaulat, rakyat terhormat, tidak ada lagi penyiksaan demi penyiksaan kepada pekerja migran yang merantau keluar negeri. Wallahualam bis shawab.
Oleh: Nur Annisa Dewi, SE, M.Ak
(Aktivis Muslimah)
0 Comments