Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Masih Darurat Stunting, Apa Penyebabnya?

Oleh : Fadhilah Fitri, S.Pd.I.
Analisis Mutiara Umat Institute

TintaSiyasi.com -- Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting cukup tinggi dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah lainnya di Asia Tenggara. Prevalensi stunting Indonesia berada di peringkat kedua setelah Myanmar. Sebagaimana hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang di umumkan oleh Kementerian Kesehatan pada Rapat Kerja Nasional BKKBN pada Rabu 25 Januari 2023, bahwa prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022.  (Sehatnegeriku.Kemkes.go.id)

Angka prevalensi tersebut memang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun jumlah anak yang mengalami stunting tetaplah terkategori tinggi dan perlu penanganan serius dari pemerintah. Merilis laporan UNICEF, level malnutrisi anak edisi 2021, diperkirakan ada 149,2 juta anak-anak yang mengalami stunting. Angka itu setara 22 persen anak-anak balita di dunia pada 2020. (Liputan6.com 05 Mei 2021)

Kemiskinan Akut Menyebabkan Stunting

Tidak dipungkiri banyaknya anak-anak yang mengalami stunting disebabkan oleh kemiskinan yang sudah sangat parah yang terjadi di negeri ini. Menurut data dari badan pusat statistik (BPS) dari Maret hingga Desember 2022, jumlah penduduk miskin perkotaan meningkat sebanyak 0,16 juta orang dari 11,82 juta orang menjadi 11,98 juta orang. Sementara, jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat sebanyak 0,04 juta orang dari 14,34 juta orang menjadi 14,38 juta orang. Dengan pendapatan sebesar Rp535.547,00/kapita/ bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp397.125,00 (74,15 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp138.422,00 (25,85 persen).

Kemiskinan inilah yang membuat masyarakat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jangankan memilih makanan yang bergizi, bisa makan tiga kali sehari saja sudah bersyukur, bahkan sebagian masyarakat ada yang makan hanya satu kali dalam sehari. Dan kebanyakan masyarakat saat ini merasa khawatir, bukan lagi, 'hari ini mau makan apa?' Tapi 'hari ini mau cari makan di mana?', atau 'mau kerja apa saja asalkan bisa makan'. Sungguh miris.

Kondisi seperti ini, tidak terlepas dari diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem kapitalisme telah memberikan kepengurusan rakyat terutama sumber daya alam (SDA) kepada pihak swasta dalam negeri maupun luar negeri. Mereka diberikan kebebasan untuk menguasai SDA atas nama investasi. Dan para pekerjanya sampai ke buruh-nya pun juga diberikan kepada Asing ketimbang rakyat sendiri. Sehingga, rakyat sangat sulit untuk memperoleh pekerjaan terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Ditambah lagi dengan berbagai macam kebutuhan hidup yang terus meningkat, mulai dari harga sembako yang melonjak naik. Naiknya berbagai tarif, seperti tarif listrik, air, tarif internet, pulsa, tol, pengiriman, BPJS, pendidikan, BBM, pajak. Bahkan pajak akan ditambah terus jenis pungutannya. Laa hawlawalaa quwwata Illa billah.

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia dalam sistem kapitalisme, WHO telah menetapkan batas kebolehan suatu negara mengalami stunting sebanyak 20 persen. Hal ini, menggambarkan seolah-olah kasus stunting memang lumrah didalam sistem kapitalisme dan dipelihara oleh negara dan dunia. Karena itu, masalah stunting tidak akan pernah selesai, akan senantiasa ada dan menjadi sebuah keniscayaan didalam sebuah negara yang menganut sistem kapitalisme yang memang memberikan celah yang tinggi antara yang kaya dan miskin. 

Adapun solusi yang diberikan pemerintah negeri ini terkait masalah stunting juga hanya fokus memperhatikan efeknya bagi pertumbuhan ekonomi, jika stunting tidak segera diatasi. Bukan benar-benar perduli kepada nasib generasi, agar tidak ada lagi anak-anak yang mengalami mal nutrisi, bukan. Tapi lagi-lagi lebih kepada kepentingan para oligarki (kapital) yang menjadi ciri khas kepemimpinan dalam sistem kapitalisme. Mereka (para pemimpin)  khawatir tidak akan ada lagi generasi dimasa yang akan datang yang bisa dijadikan buruh murah bagi para kapital di dunia (Amerika dan sekutunya). (Adararelief.com 14 Januari 2023)

Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme memposisikan negara sebatas regulator, sedangkan seluruh kebutuhan umat diserahkan kepada swasta. Begitu pun sistem pemerintahan kapitalisme yaitu demokrasi telah menghimpun penguasa bermental pedagang yang rakus dan curang. Yang menimbang untung dan rugi dalam kepengurusan rakyat. Jangankan melayani rakyat, mereka malah merampas hak-hak rakyat dan berlaku sewenang-wenang.

Hanya Sistem Islam Solusi Tuntas Masalah Stunting

Jika ingin masalah stunting segera selesai, tidak ada cara lain selain dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam, khilafah. Karena, persoalan stunting bukan hanya karena faktor kekurangan gizi semata, tapi lebih dari itu. Yaitu masalah sistem, karena sistem kapitalisme memang menghilangkan peran Allah dalam pembuatan aturan. Dalam menyelesaikan setiap permasalahan tidak memakai Islam sebagai standar. Sehingga menyelesaikan kasus stunting bukanlah dirasakan sebagai sebuah kewajiban, atau sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. Dan memang kepemimpinan dalam sistem kapitalisme bukan sebagai pelayan umat tapi sebagai pelayan oligarki dengan mengatasnamakan kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Karena, masalah stunting tidak bisa dengan hanya mengatasi permasalahan kemiskinan saja. Sebab, persoalan kemiskinan juga bertautan dengan sistem yang lain. Seperti, sistem pendidikan, ekonomi, sanksi, pergaulan, kesehatan dan sistem tata kota yang diterapkan dalam sebuah negara. Dan negara yang bisa memadukan semuanya hanyalah negara Islam, khilafah .

Sistem Islam khilafah tidak hanya bisa menyelesaikan semua problem kehidupan, tapi juga mencegahnya agar problem tersebut tidak terjadi. Karena itu, khilafah memadukan penerapan syariat Islam yang kaffah, agar permasalahan bisa selesai hingga ke akar-akarnya. Wallahu a'lam bishshowab


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments