TintaSiyasi.com -- Nahas, gadis berusia (21) tahun inisial W di Bogor tewas akibat gantung diri yang tidak disengaja. Korban hendak membuat konten yang pura-pura bunuh diri. Namun, tak disangka kursi tempat kakinya berpijak terguling dan akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
"Jadi waktu itu, sebelum kejadian itu, dia sambil video call sama temen-temennya, 'mau live nih, gue mau bikin konten ah', tahu-tahu kursinya yang dipakai buat pijakan di bawah itu terpeleset, jadi beneran gantung diri," terang Agus, Kapolsek Leuwiliang Jumat (News.detik.com, 3/03/2023).
Wajah buruk kapitalisme hari ini semakin nampak. Hadirnya media hiburan sebagai bentuk kemajuan teknologi tidak bisa digunakan dengan bijak. Orang berlomba membuat konten media agar unjuk eksistensi diri bisa ditonjolkan. Bahkan terkadang tidak mempedulikan kontennya mendidik atau tidak selama eksistensi diri tetap terjaga. Seolah mereka lupa, mengeksiskan diri secara tidak benar hanya berujung kefatalan.
Sebuah potret generasi berpikir taraf rendah. Ceroboh dan ugal-ugalan. Sama sekali tidak menggambarkan pribadi manusia cerdas dan berahlak. Seharusnya, mereka mendulang berbagai prestasi dan ilmu. Namun, kebiadaban kapitalisme membuatnya lupa akan eksistensi diri yang sesungguhnya.
Pembuatan konten- konten tidak berfaedah atau lelucon hanya menguras waktu, tenaga dan kesia-siaan. Bahkan, nyata merenggut nyawa. Tentu pula konten tersebut tidak hanya berdampak pada diri, tetapi orang lain pun akan terseret dan terkontaminasi dengan hal negatif atau positif di dalamnya. Jika kekerasan, maka rawan anak-anak menirunya. Termasuk bunuh diri tadi, bukan tidak mungkin menjadi bahan inspirasi bagi yang tidak punya arah berpikir hidup jelas. Naudzubillahi mindzalik.
Apalagi, kondisi sekarang hidup serba susah. Ekonomi, lilitan utang, pendidikan dan biaya kesehatan sangat mencekik. Tingkat kewarasan seseorang benar-benar dipertaruhkan. Keimanan dan kesabaran harus mencengkram kuat di dada. Jika tidak, fatal akibatanya. Maka sejatinya, tidaklah patut hal-hal berbaur kekerasan, maksiat, perilaku tidak berfaedah, lelucon dan kecerobohan dipertontonkan. Masalah sudah terlalu banyak. Jangan ditambah lagi!
Tidak hanya itu, sistem kapitalisme mengajarkan materi sebagai sumber kebahagiaan. Banyak cuan, banyak bahagia. Tak heran, aksi pembuatan kontenpun berajang perlombaan meskipun itu tidak mendidik. Terpenting, like, koment dan subscribe berjalan. Makin banyak like, cuan pun mengalir.
Cuan dan eksistensi diri menjadi hal yang diprioritaskan. Arah berpikir generasipun berfokus hanya pada titik ini. Tidak ada rasa peduli atas dampak buruk perilaku mereka. Asalkan eksis, masa bodoh persoalan adab, akhlak, ilmu dan kebaikan-kebaikan lainnya. Demikian cuan, selain karena biaya hidup yang tinggi, mindset bahagia kapitalis melekat kuat di benak. " bahaya gak ada uang." Padahal, banyak yang kaya belum tentu bahagia dan ada yang miskin tetap bahagia.
Bukan keheranan memang, jika membahas sistem kapitalisme. Tolak ukur perbuatan berstandar pada buah pikir manusia. Manusia lemah dan terbatas. Hal buruk kadang dianggapnya baik dan yang baik kadang dianggapnya buruk. Sudah bisa dibayangkan tiap kekacauan yang terjadi.
Berbeda halnya dalam Islam. Daulah khilafah Islamiyah mempunyai standar tersendiri dari Allah SWT. Dalam penjagaan tingkah laku maupun akal. Standar tersebut adalah halal dan haram.
Jika haram, mengancam jiwa serta keselamatan rakyat. Daulah berhak menindak dan menjatuhkan sanksi pengharaman terhadap hal-hal yang berbahaya bagi generasi.
Misalnya, konten-konten berbahaya, bermuatan maksiat, kejahatan, kebodohan, merusak akal dan sebagainya. Akan dilibas, dihapus dan diharamkan untuk ditonton. Tidak cukup disitu, daulah akan melarang keras produksi konten-konten berbahaya atau tidak berfaedah tersebut. Bagi pelanggar, tentu mendapat sanksi.
Generasi dalam daulah akan disibukkan dengan aktifitas berfaedah saja. Misal, menuntut ilmu, berdakwah, meneliti berbagai perkembangan sains dan teknologi. Tidak ada ruang bagi aktifitas sia-sia. Generasi daulah hanya berfokus pada hal-hal yang diridhai Allah berupa kemuliaan dunia dan akhiratnya.
Contoh, generasi muslim pengukir peradaban emas yaitu Ibunu sina bapak kedokteran yang bukunya hingga saat ini menjadi rujukan dunia kedokteran besar di barat. Beliau tidak hanya menorehkan kemuliaan akhirat berupa kesalihan dan ketundukannya pada Allah. Tapi mengukir sejuta ilmu dunia yang sumbangsihnya masih terasa hingga kini. Cerdas dan salih. Demikian, Al khawarismi yang menyempurnakan penggunaan angka Nol dalam dunia Komputasi. Serta masih banyak lagi ilmuwan salih nan cerdas lainnya. Mereka semua terlahir dari perut Islam.
Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam, daulah khilafah Islamiah akan memahankan rakyatnya bahagia sejati yang sesungguhnya. Bahagia yang disandarkan pada Zat Pencipata Allah swt. Yaitu semata-mata meraih ridha Allah swt.
Dengan demikian, tidak ada lagi haus eksistensi ugal-ugalan. Semua bersandar pada hukum-hukum Allah. Hidup tentram di bawah naungan daulah khilafah Islamiyah. Wallahu a'lam bishshawab.[]
Oleh: Arnaningsih, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Comments