TintaSiyasi.com -- Awal tahun lalu, Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dimana prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022. Walaupun mengalami penurunan, angka tersebut masih jauh dari target pemerintah yaitu 14%. Untuk itu, tahun 2023 ini pemerintah masih menjadikan penanganan stunting sebagai program nasional (prognas).
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi stunting, yang terbaru adalah kampanye untuk gemar makan ikan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, pemerintah daerah perlu terus menggencarkan kampanye untuk mengajak masyarakat gemar makan ikan guna mencegah dan menurunkan prevalensi stunting.
Ikan memiliki kandungan protein hewani yang sangat tinggi dan diperlukan untuk mendukung perkembangan otak anak sehingga sangat baik untuk mencegah dan mengatasi stunting. Apalagi sebagai negeri Bahari dengan 70% wilayahnya terdiri dari lautan, maka cukup masuk akal bila pemerintah meminta rakyatnya untuk banyak mengkonsumsi ikan. Sebagai hasil laut yang melimpah seharusnya ikan menjadi bahan makanan yang murah, sesuai dengan prinsip ekonomi semakin banyak ketersediaan barang, maka harganya akan cenderung murah dan stabil. Namun kenyataannya harga ikan masih sangat tinggi.
Mahalnya Harga Ikan di Negeri Bahari
Ketika masih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pernah mengatakan jika mahalnya harga ikan di pasaran lantaran biaya logistik distribusinya mahal. Seperti yang kita tahu, sentra penangkapan ikan di Indonesia rata-rata berada di wilayah timur Indonesia, sementara konsumen terbanyak ada di Pulau Jawa (60 persen penduduk Indonesia bermukim di Jawa). Sehingga diperlukan distribusi yang cukup jauh.
Sebenarnya pemerintah sudah berupaya mencarikan solusi melalui Menteri Perhubungan dengan adanya tol laut. Namun fakta di lapangan, keberadaan tol laut belum bisa menekan biaya distribusi. Banyak monopoli kontainer di tol laut yang membuat harga-harga tetap mahal lantaran distribusinya dikuasai oleh satu pihak atau dimonopoli pebisnis yang memiliki akses langsung dengan kekuasaan ataupun kepala daerah setempat.
Sementara di daerah tangkapan ikan di sekitar pulau Jawa, misalnya di Juwana, Pati, Jawa Tengah. HPP (harga pokok penjualan) ikan juga mahal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan HPP ikan mahal, tapi yang cukup krusial adalah frekuensi penangkapan ikan dalam satu malam yang hanya bisa dua kali karena kapal tangkap yang digunakan masih sederhana.
Belum lagi, masalah eksternal lainnya seperti banyaknya kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia dan mencuri kekayaan laut kita. Tidak hanya itu, di Maluku Utara (salah satu provinsi penghasil ikan terbesar di Indonesia) lautnya mulai tercemar industri tambang. Nelayan di Halmahera Timur misalnya, harus melaut lebih jauh lagi agar bisa mendapatkan ikan banyak. Sementara kalau melaut lebih jauh, konsekuensinya adalah konsumsi solar yang lebih banyak juga, ujung-ujungnya adalah pembekakan biaya logistik.
Selain itu, adanya iming-iming harga ikan yang lebih tinggi di luar negeri, membuat para pengusaha lebih memilih untuk mengekspor ikan dibandingkan memenuhi kebutuhan rakyat kecil. Walhasil, harga ikan masih tetap mahal sehingga tidak terjangkau oleh orang tua anak yang mengalami stunting karena sebagian besar mereka termasuk dalam kriteria penduduk miskin.
Untuk menyelesaikan masalah stunting tentu harus diselesaikan dari akar masalahnya. Pada tahun 1998, UNICEF telah menyusun analisis masalah gizi, termasuk stunting, dimana akar masalah yang menjadi sektor hulunya adalah sistem ekonomi dan politik yang diterapkan di suatu negeri.
Seperti yang kita ketahui, saat ini sistem ekonomi maupun politik yang diterapkan di dunia ini adalah sistem kapitalisme. Sistem ini membuat segala kebijakan lebih berpihak pada para kapitalis, pemilik modal dan oligarki. Demi mendapatkan keuntungan berlimpah, seringkali mereka melakukan efisiensi tenaga kerja. Akibatnya rakyat sulit mencari pekerjaan hingga timbullah kemiskinan. Kemiskinan ini membuat mereka sulit untuk mencukupi kebutuhan pangan, sanitasi maupun pelayanan kesehatan. Muncullah anak stunting karena asupan gizi yang kurang dan sering sakit. Maka cara yang paling tepat untuk mengatasi stunting adalah dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang mensejahterakan dan peduli terhadap generasi, yaitu sistem Islam.
Politik Ekonomi Islam Menyelesaikan Masalah Stunting
Politik ekonomi Islam dengan paradigma ruhiyah yang mendasarinya, mewajibkan negara atau penguasa memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara orang per orang. Islam mengatur pemenuhan kebutuhan rakyatnya dengan mewajibkan setiap laki-laki untuk bekerja mencari nafkah keluarganya dan negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Apabila kepala keluarga tidak mampu, kerabat dekatnya yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya juga tidak mampu ataupun tidak mempunyai kerabat dekat, kewajiban tersebut beralih ke Baitulmal dari kas zakat. Apabila dari kas zakat tidak ada, wajib diambil dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum muslim secara individu membantu orang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya hingga mencukupi.
Syariat Islam juga memandang bahwa sumber daya alam masuk dalam kepemilikan umum yang pemanfaatannya sebesar-besarnya untuk rakyat. Aset yang tergolong kepemilikan umum tidak boleh sama sekali dimiliki individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang.
Sumber daya alam tersebut akan menjadi salah satu pemasukan bagi Baitul mal disamping sumber pemasukan negara lainnya, seperti jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah, usyur, zakat, sedekah, hibah, dll. Pemanfaatan dana Baitul mal itupun digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pangan, air bersih, fasilitas Kesehatan, dll. Sehingga rakyat akan sejahtera dan tidak akan ditemukan anak-anak stunting. Sistem Islam kaffah tersebut hanya akan terwujud dalam daulah Khilafah Islamiyah. Wallahua’alam bishowab.
Oleh: Kamilah Azizah
Aktivis Muslimah
0 Comments