Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ambiguitas Feminisme: Antara Klaim dan Fakta, serta Upayanya dalam Menjauhkan Umat dari Syariat

TintaSiyasi.com -- Feminisme merupakan paham yang diwujudkan dalam sebuah gerakan sosial berbasis gender untuk menuntut adanya kesetaran hak antara laki-laki dan perempuan. (feminism: ide/paham dan gerakan, feminis: aktivis).

Gerakan ini dilatarbelakangi oleh masa lalu kelam nasib perempuan jauh sebelum era modern. Beberapa filsuf Yunani yang dikenal sebagai “The Gang of Tree” yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles serta banyak filsuf Barat lainnya dianggap berperan besar dalam membentuk pola pikir barat (western mind) terhadap kaum muslimin dan merubah wajah dunia Islam, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sehingga menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak merdeka.

Filosof Demosthenes, memandang perempuan hanya berfungsi untuk melahirkan anak. Dalam masyarakat feodalis Eropa, abad ke-18 perempuan pun ditempatkan pada posisi yang sangat rendah, sumber godaan dan kejahatan, tidak memiliki hak dan terpinggirkan. Dan banyak pandangan Barat lainnya tentang perempuan yang menunjukkan bahwa perempuan adalah kaum lemah, tak berdaya bahkan tak layak untuk hidup. (Fika Komara, Empowering Muslimah, 2018:27)

Dari cara pandang tersebut, terciptalah aktivitas sosial yang tidak “setara” diantara laki-laki dan perempuan. Disparitas ini dirasakan di semua aspek kehidupan perempuan : di dalam rumah tangga, kehidupan sosial serta hukum dan pemerintahan. Perempuan tidak memperoleh jaminan atas hak asasiyahnya seperti hak pendidikan, bersuara dan berpendapat, hak kepemilikan, hak memperoleh kedudukan di masyarakat, hak berkarya atau bekerja bahkan hak hidup dan hak atas tubuhnya sekalipun. Di satu sisi, mereka dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan laki-laki.

Perempuan mengalami takanan mental dan sosial karena mereka tidak bisa hidup sesuai fitrahnya. Mereka pun tidak bisa melakukan apa-apa, karena takdir telah menggariskan mereka lahir sebagai perempuan, mahkluk tanpa hak hidup. Itulah pandangan dalam ajaran di luar Islam terhadap perempuan.

Selain itu, adanya penerapan sistem kehidupan berkasta (borjuis) di kalangan masyarakat Barat dan Eropa kala itu, menambah penderitaan perempuan sehingga membuat perempuan semakin yakin bahwa disparitas antara laki-laki dan perempuan harus dihilangan dari permukaan bumi agar tercipta keadilan.

Inilah yang menyulut perempuan untuk membentuk gerakan pembebasan di kalangan perempuan yang disebut sebagai gerakan feminis dengan slogan khasnya “gender equality”. Gerakan ini beresonansi dengan transformasi wajah dunia memasuki revolusi industri. Jilid baru peradaban barat inilah yang menjadi titik tolak barat menemukan ruh nya hingga mencapai puncak kejayaannya melalui ide/pemahanan dan penjajahannya terhadap negara-negara di dunia, termasuk paham feminism dan Hak Asasi Manusia. 

Eksistensi Feminisme

Dalam sejarahnya, gerakan feminisme mengalami pasang surut. Hingga menemukan titik tolak ketika terjadinya era modernisasi di Eropa dan Barat. Setelah menemukan koloninya yang se-frekuensi juga embrio yang kondusif untuk pertumbuhannya, kaum Feminis mencoba merangkak ke permukaan dengan mengangkat isu-isu sensitif perempuan dan Hak Asasi Manusia untuk dijadikan dalil pembenaran akan pentingnya kesetaran gender dan perlunya pemberdayaan perempuan.

Feminis juga tidak segan-segan mengkritisi doktrin agama yang dianggap turut berkontribusi dalam melemahkan peran dan posisi perempuan serta mengekang hak perempuan dalam kehidupan. Feminis berulang kali menunjukkan kebenciannya terhadap syariat Islam yang selama ini mendoktrin perempuan agar ‘tunduk’ kepada kaum laki-laki. 

Bagi kaum feminis, memperjuangkan kesetaraan gender adalah sebuah keharusan untuk mengangkat nasib manusia dari keterpurukan dan penindasan. Pendekatan yang mereka gunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan perempuan yang diklaim sebagai akibat ketidak-adilan gender adalah dengan melibatkan perempuan terlibat secara aktif mengatasi persoalannya sendiri.

Misalnya melalui keterlibatannya dalam program pengembangan masyarakat atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, peningkatan pendidikan, maupun melalui upaya melibatkan diri dalam fungsi kekuasaan sector publik. (Fika Komara, Empowering Muslimah, 2018:28)

Gerakan feminisme ini mendapat respon positif dari pemerintah (negara-negara Barat dan Eropa) karena adanya kesamaan motif dalam membentuk sistem sosial dan kehidupan. Penguasa negara Barat berhasrat ingin menguasai dunia dengan prinsip kapitalismenya. Sedangkan feminism hendak menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang berdaya secara materi. Kesamaan pemikiran dan perasaan ini dimanfaatkan oleh (penguasa) Barat untuk menjadikan feminis sebagai kendaraan Barat dalam merealisasikan ambisinya.

Gerakan feminisme makin eksis setelah mendapat legitimasi dari Barat hingga berhasil menempati posisi/divisi khusus perempuan di Lembaga internasional bergengsi PBB. Divisi ini secara massif mengkapampenyakan program-programnya ke dunia internasional diantaranya konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW : The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang ditetapkan pada 1979 dan  Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing (BPfA : Beijing Platform for Action) pada September 1995.

BPfA sendiri diadopsi oleh 189 negara, termasuk mayoritas pemerintah di dunia Muslim yang sepakat untuk mengimplementasikan berbagai ketentuan dan komitmen-komitmen di dalam deklarasi tersebut. Ada sinergi dan seruan kuat antara PBB, feminism, pemerintahan Barat, berbagai gerakan perempuan dan lainnya untuk mereformasi atau menghapus ketentuan-ketentuan (syariat) Islam yang diberlakukan di negeri-negeri muslim. 
(Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir, Beijing+25 : Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar, Mei 2020)

Klaim Feminisme

Setelah berhasil mendapat ruang di hati umat dan negeri Muslim, Barat menggandeng feminis, LSM dan media untuk terus mengkampanyekan ide kesetaraan gendernya sebagai solusi atas problem perempuan. Sepak terjang feminism sekian periode, mereka klaim telah berhasil membawa kaum perempuan memperoleh apa yang ia dambakan, yakni kesetaraan hak dalam kehidupan sosial, hukum dan pemerintahan.

Dalam bukunya “Feminisme : Sebuah Kata Hati“, Gadis Ariva membuka sambutannya dengan provokasi untuk berterimakasih kepada kaum feminis. Ia mengklaim bahwa hasil kerja para feminis telah banyak memajukan perempuan. 
Hari ini telah banyak perempuan beraktivitas di luar rumah, mengisi ruang-ruang sosial sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan telah berhasil memperoleh posisinya setara dengan laki-laki. Perempuan juga tidak lagi tunduk pada norma-norma konservatif yang mengekang perempuan hingga membuatnya lemah tak berdaya di dalam rumah.

Dalam kampanyenya, feminis menjanjikan jaminan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan. Feminism menggunakan kacamata materialisme dan menafikkan agama di seluruh propagandanya. Feminis mengatakan bahwa untuk menghapus diskriminasi perempuan, maka harus dihilangkan sekat atau disparitas hak antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki boleh bekerja, maka wanita harus diberikan hak bekerja. Laki-laki menjadi pemimpin atau penguasa, maka begitupula wanita harus mendapat posisi untuk menjadi penguasa.

Laki-laki memiliki hak kepemilikan harta, maka selayaknya perempuan juga berhak memiliki hak kepemilikan harta. Laki-laki memiliki hak mengenyam pendidikan hingga jenjang yang tinggi, maka tidak boleh ada pembatasan bagi perempuan untuk memperoleh hak dalam pendidikan. Feminis terus menuntut adanya kesamaan simetris dan presisi hak antara laki-laki dan perempuan. Hingga tuntutan tersebut menabrak norma-norma agama yang telah disakralkan. 

Fakta Nasib Perempuan Berdaya ala Feminis

Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi CEDAW melalui Undang-Undang RI No. 7 tahun 1984 dan BPfA. Dalam siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peringatan Kampanye Internasional Hari 16 Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (25 November – 10 Desember 2022), melaporkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2012 – 2021 (10 tahun) menunjukkan sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan pada Januari sd November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah sosial. Jumlah pengaduan masih akan terus bertambah termasuk ke Lembaga pengadaan layanan yang dikelola masyarakat UPTD P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). 

Laporan teranyar dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan yang dipublikasikan Komnas Perempuan melalui laman resminya mencatat ada sejumlah 338.496 kasus kekesaran berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian ; pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.

Dalam sebuah diskusi publik bertajuk ‘Menyambut Hari Buruh Migran Sedunia’, Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi mengatakan ada sebanyak 816 kasus perdagangan manusia dan 699 kasus perempuan migran yang dimuat dalam Catatan Tahunan 2017-2020. 

Penulis jurnal medis The Lancet, Christophe Gulmoto dari Universitas Paris Descartes mengatakan sekitar 240 ribu anak perempuan yang meninggal setiap tahunnya di India yang ditemukan menjadi korban diskriminasi ini tidak termasuk kasus aborsi setelah USG menunjukkan bayi yang dikandung berjenis kelamin perempuan.

Selama sepuluh tahun terakhir, angka bunuh diri wanita muda Korea Selatan meningkat sekitar 5 (lima) persen pertahun. Menurut Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara industri maju, dengan sekitar 14.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri pada 2018.

Hal ini disebabkan beberapa factor : kemiskinan, pengangguran, ketidaksetaraan gender, konflik generasi, rumah tangga dengan satu orang, pola asuh yang buruk, kesejahteraan sosial yang tidak memadai dan mungkin -yang terpenting- persaingan/tekanan sosial, demikian yang disebutkan oleh Soong Nang, pakar epidemiologi sosial Universitas Chung Ang kepada media jurnalistik DW. 

Di Finlandia, negara yang turut meratifikasi CEDAW, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2005, kekerasan terhadap perempuan tidak berkurang dari tahun 1998 (The Coalition of Finnish Women’s Associations, 2008). Polisi Finlandia mengestimasikan bahwa setiap tahun 6.000 sampai 10.000 perempuan menjadi korban kekerasan. 

Di Jepang, banyak wanita karir memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan mereka. Secara umum banyak sekali perempuan yang mengalami gangguan di tempat kerja. Dalam laporan yang dirilis pemerintah Jepang, hampir 1/3 perempuan di Jepang pernah mengalami gangguan seksual ketika bekerja dan memperoleh diskriminasi gender baik verbal maupun fisik. Survey yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan setempat menemukan bahwa 30% resoponden kepegawaian penuh dan paruh waktu mengaku pernah diganggu secara seksual di tempat kerja, sementara pekerja penuh waktu angka meningkat 35%.

Survey tersebut juga berisi lebih dari 9.200 perempuan usia 25-44 tahun yang bekerja, 40% nya pernah disentuh secara tidak menyenangkan dan 17% nya diajak secara paksa untuk berhubungan seksual. 

Di Eropa dan Barat, data statistik dari berbagai organisasi menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Organisasi anti kekerasan seksual, Jaringan Nasional Pemerkosaan, Penyalahgunaan dan Incest (RAINN), yang berbasis di Washington D.C., memiliki kesimpulan yang lebih akurat bahwa kasus kekerasan seksual di AS terjadi setiap 98 detik.

Ada sekitar 80.600 tahanan, 18.900 personel militer, 60.000 anak-anak dan 321.500 warga sipil mengalami kekerasan seksual atau perkosaan setiap tahun. Sebanyak 90% korban adalah perempuan. 
Di Eropa, menurut kantor statistik Eurostat, pada 2015 polisi mencatat 215.000 kejahatan seksual, dengan 80.000 kasus berupa pemerkosaan. Statistik ini diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya yang menyumbang angka yang tidak sedikit dari kasus pelecehan seksual yang korban terbesarnya adalah perempuan. 

Dari beberapa kasus di atas, cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa kerja keras kaum feminis tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya memperpanjang dan memperkeruh masalah perempuan. Kebijakan PBB melalui konvensi CEDAW dan BPfA nya hanya menjadi hitam diatas putih, diskusi yang berhenti di meja bundar solusi yang jauh panggang dari api.

Sedangkan di lapangan, mereka kembali kepada kepentingan pragmatisnya masing-masing. Bahkan dalam sebuah forum feminis muda se Asia Pasifik di Bangkok pada 22-26 November 2019 yang diselenggarakan badan khusus PBB untuk ekonomi sosial Asia Pasifik UNESCAP, kaum feminis meluapkan kekecewaannya dengan mengatakan :

“We are angry. 25 years since Beijing, we are far from reaching gender equality. Inequalities of wealth, power and resources are greater than ever before. “

Upaya Feminis dalam Memfitnah Islam
Meskipun kegagalan feminis dalam menyelamatkan nasib perempuan begitu jelas di depan mata bahkan feminis menjadi contributor terbesar yang menyeret perempuan ke dalam jurang predator, namun feminis punya beribu alasan untuk menafikkan fakta tersebut.

Salah satunya dengan melempar kesalahan dan menuduh syariat Islam. Islam menjadi agama satu-satunya yang selalu dipertentangkan dengan feminism (dan memang alaminya seperti itu). Islam dan feminism sampai kapanpun tidak akan bisa disandingkan, dikompromikan atau disatukan. Keduanya lahir dari benih yang berbeda dan saling bertolak belakang.

Syariat Islam, merupakan seperangakat aturan yang berupa wahyu yang Allah turunkan kepada ummat manusia. Sedangkan feminism merupakan ide yang lahir dari kecacatan, kedangkalan dan keterbatasan akal manusia untuk membuat aturan dalam mengatur kehidupannya. Selamanya, ide feminis tidak akan mampu menyelesaikan problem perempuan. Justru, ide-ide yang mereka usung akan menghasilkan problem baru bagi perempuan.
Islam dengan syariatnya yang komprehensif, telah memberikan gambaran dan aturan jelas terkait perempuan.

Bahkan dalam kitab suci Al Qur’an, terdapat satu surat yang diambil dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti perempuan, yakni surat an Nisa’. 
Surat an Nisa’ turun setelah peristiwa perang Uhud. Pada saat itu muncul permasalahan terkait janda dan anak yatim, juga tentang permasalahan waris. Surat an Nisa’ adalah surat terpanjang setelah surat al Baqarah dalam hal jumlah ayat dan kata (Ayu Paranitha, Revive Your Dakwah, 2021: 118).

Tak hanya di surat An Nisa’, di surat lain pun Islam masih menyinggung pembahasan perempuan seperti aturan menutup aurat bagi perempuan yang dimuat dalam surat al Ahzab : 49 dan an Nuur : 31. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan perhatian begitu luar biasa terhadap perempuan.

Syariat-syariat tersebut yang coba diframming sedemikian rupa oleh para kalangan feminis sebagai faktor kemunduran perempuan. 
Ada sebuah bait yang merepresentasikan pandangan seorang faminis terhadap peran keibuan, sebagai berikut :

Dunia ibu, dunia perempuan, adalah dunia perlawanan dalam diam,
Dunia pemberontakan dalam kepatuhan,
Dunia hening di tengah ingar-bingar keramaian dan kekacauan hidup,
Dunia kesendirian dalam ruh dan sunyi,
Dunia penyerahan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan 
(Maria Hartiningsih, Kompas, Juni 2011)

Kalangan feminis tanah air juga kerap mengutip narasi Saparinah Sadli dalam bukunya Gelap Terang Hidup Kartini, “Kartini memberontak terhadap feodalisme, poligami dan adat istiadat yang mengungkung perempuan. Dia yakin pemberian pendidikan lebih merata merupakan kunci kemajuan.” (2013:8)
Kartini selalu dijadikan role mode tokoh emansipasi wanita yang berhasil mengeluarkan perempuan dari kegelapan.

Dalam artikelnya yang dimuat di website Jurnal Perempuan, Angger Wiji Rahayu menyebutkan bahwa menjadi perempuan mandiri, memilih dan bersikap, satu-satunya cara melawan. Bukan hanya kekerasan terhadap perempuan yang dilawan, namun peran kultural yang telah usang pula harus dilawan. Bukan hanya oleh perempuan, tapi oleh system, kebijakan yang setara dan dimulai dari pola pikir yang adil.

Dari bebarapa cuplikan narasi diatas, secara tidak langsung feminis mengatakan menjadi ibu bagi perempuan adalah profesi terbelakang yang tidak produktif. Kaum feminis juga menentang konsep membatasi hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dengan batas pernikahan. Mereka menggambarkan ini sebagai mengekang kebebasan, kebahagiaan dan kesenangan perempuan, serta menyerukan pembebasan seksual dari perempuan.

Mereka juga mendukung hak perempuan untuk melakukan aborsi, dengan alasan bahwa kontrol reproduksi penuh untuk perempuan merupakan prasyarat bagi apapun yang menyerupai kesetaraan. (dr. Nazreen Nawaz, Mengkritik Feminisme, 2019:80)

Bahaya Laten Feminisme

Pemberdayaan perempuan yang diusung feminis bukan hanya bahaya dalam tataran ide. Gerakan ini telah ditunggangi oleh kepentingan kapitalis global memerah potensi perempuan untuk menyelamatkan perekonomian Barat yang tengah dilanda krisis. Sehingga bahayanya akan merata memasuki seluruh sendi kehidupan manusia karena dengan otoritas yang dimiliki kapitalis global mampu memaksakan kebijakan di seluruh negara tentang konsep pemberdayaan perempuan ini. (Empowering Muslimah, Fika Komara, 2018:34) 

Feminis menjadikan pencapaian materi sebagai standar berdayanya perempuan. Perempuan dikatakan berdaya jika ia mampu menghasilkan pundi-pundi materi yang dengannya ia bisa melakukan (membeli) segala kebutuhannya. Selain itu, feminis memukul rata bahwa hak antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Ketika perempuan mampu menyetarai laki-laki dalam kedudukan dan hak, maka sejatinya ia adalah perempuan merdeka.

Feminis tidak bisa mengindera lebih jauh bahwa adanya pemaksaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan akan membuat perempuan menyimpang dari fitrahnya, sedangkan setiap yang menyimpang dari fitrah akan menimbulkan masalah atau kerusakan.

Diantara bahaya yang ditimbulkan dari paham ini yaitu ancaman terhadap ketahanan keluarga. Peran kodrati perempuan adalah bekerja mengurus suami dan melayani kebutuhan anggota keluarga. Allah karuniakan fitrah bagi perempuan yang tidak dimiliki laki-laki yakni mengandung, melahirkan dan menyusui.

Pekerjaan ini mewajibkan perempuan selalu dalam posisi aman dan terbebas dari ancaman. Sehingga rumah adalah tempat paling aman bagi perempuan dalam membesarkan generasi manusia sehat. Jika perempuan terlibat dalam aktivitas di luar rumah untuk bekerja menari nafkah, hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi psikologi perempuan serta menggeser peran-peran kodrati perempuan di dalam rumah. 
Wanita yang lebih suka ke luar rumah, akan menjadi fitnah bagi laki-laki lain.

Bisa jadi ia akan menjadi korban pelecehan, atau bisa juga ia yang akan menjadi pemicu terjadinya perselingkuhan sebagaimana marak terjadi hari ini. Kondisi seperti ini (fitnah di luar rumah) sangat rentan memicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran keluarga di dalam rumah.

Abainya Pendidikan Orang Tua Terhadap Anak

Adanya gelar ibu sebagai sekolah pertama bagi anak tidaklah salah. Sebab, begitu anak lahir ke dunia maka orang yang pertama ia butuhkan adalah ibu. Kehadiran ibu membawa ketenangan bagi buah hati. Dari air susunya, mengalirkan nutrisi terbaik. Dekapannya, memberikan keamanan dan menentramkan jiwa. Ibu membersamai pertumbuhan anak hingga mencapai baligh. Selama jangka waktu tersebut, ibu berkontribusi penuh dalam pembentukan karakter/kepribadian anak.

Jika perempuan sibuk dengan aktivitas di luar rumah, maka porsi (waktu) ia bersama buah hatinya akan berkurang. Semakin jauh hubungan orang tua (terutama ibu) dengan anak, maka akan semakin susah seorang ibu mengatur anak. Anak akan kehilangan bonding atau kedekatan batin dengan ibunya. Ia akan kehilangan keharmonisan di dalam rumah bersama orang tua, sehingga ia lebih memilih pergaulan di luar rumah bersama lingkungannya. Jika sudah demikian, orangtua akan kehilangan kesempatan untuk melahirkan dan mendidik generasi terbaik karena mereka dilalaikan dengan kesibukan lain.

Ancaman terhadap keamanan perempuan 
tak sedikit dampak dari adanya pemberdayaan perempuan dan keterlibatannya di luar rumah sering kali harus dibayar mahal. Melihat kasus-kasus yang telah disebutkan di atas, semakin mempertegas bahwa posisi perempuan di luar rumah memberikan peluang besar terjadinya ancaman terhadap kehormatan perempuan. Perempuan harus berjuang melindungi dirinya dari potensi ancaman di luar. Tak ada pelindung baginya, selain dirinya sendiri.

Melalaikan Peran Negara dalam Mengurus Rakyat

Keluarnya perempuan dari rumah untuk membantu perekonomian negara merupakan sesuatu yang terlalu berlebihan. Ekonomi dalam level negara, tidak bisa di dongkrak dengan kekuatan individu per individu, apalagi oleh perempuan. Ekonomi negara mengharuskan adanya manajemen ekonomi atau finansial mikro dan makro yang melibatkan dukungan kekuatan sistemik. Selamanya perempuan akan berada dalam taraf ekonomi ‘pas-pasan’ dan tidak memberikan dampak apa-apa kecuali hanya sedikit untuk diri dan keluarga kecilnya, selama system ekonomi yang diterapkan adalah system ekonomi kapitaslime.

Model sistem kapitalisme ini sudah lazim diketahui oleh siapapun, bahwa system ini hanya akan menghidupi 1% kalangan kapitalis dan membunuh 99% populasi. 
Dengan terlibatnya perempuan dalam aktivitas ekonomi, akan mengalihkan peran negara yang seharunya menjadi pelayan dalam mengurus rakyat terutama wali bagi perempuan, namun ini hari negara hanya menjadi peran regulator.

Rakyat dibiarkan mengurus diri mereka masing-masing, perempuan dan anak-anak dibiarkan berjuang mencari nafkah yang tak sebarapa sedangkan negara lepas tangan dari tanggung jawabnya dalam meri’ayah ummat. Jika sudah demikian, maka perhatian masyarakat hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan perutnya semata tanpa terpikirkan oleh mereka visi-visi besar dalam menciptakan peradaban Islam mulia.

Mengaburkan pemahaman ummat muslim dan mengalihkan fokus mereka
Inilah yang dikhawatirkan jika ummat muslim terbuai dengan ide/pemahaman yang menyimpang dari syariat, maka tujuan hidupnya pun akan teralihkan. Identitas muslim sebagai khairu ummah akan hilang dengan sendirinya bersamaan dengan hilangnya (pangabaian) penerapan syariat Islam dalam kehidupan dan beralihnya ummat kepada pemahaman diluar Islam. 

Umat Muslim hari ini telah kehilangan gambaran penerapan syariat Islam dalam kehidupan. Mereka hanya menyaksikan sisa hukum Islam yang diterapkan dalam domain individu. Munculnya peradaban Barat bersama dengan pemahaman yang mereka usung, membuat ummat muslim silau terhadap ‘kemajuan peradaban’ Barat. Meskipun beberapa muslim menyadari motif dibalik perang pemikiran ini, namun tak sedikit yang gagap dan latah dalam meresponnya. Feminisme masuk dunia Islam secara halus hingga berhasil menjadi qonuun (Undang-Undang) yang di adopsi dan diterapkan kaum Muslim.

Umat rela disetir dengan hukum kufur hingga mereka harus membayar mahal dampak yang diakibatkannya. Feminisme tidak memberikan sesuatu kecuali kerusakan dan kehancuran pada perempuan dan generasi muslim. Gerakan feminism bukan lagi gerakan sosial, namun ia sudah menguat dan membesar menjadi gerakan berbasis ideologi kapitalis-sekuler.

Oleh: Tri Handayani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments