TintaSiyasi.com -- Sebuah laporan baru oleh empat badan PBB terkemuka dan Bank Dunia memperkirakan, satu perempuan meninggal setiap dua menit, selama kehamilan atau persalinan. Hal ini tercantum dalam laporan, “Kecenderungan Kematian Ibu Tahun 2000 hingga 2020,” yang disusun oleh WHO, UNICEF, dan UNFPA, bersama Grup Bank Dunia dan UNDESA bidang kependudukan (voaindonesia.com, 24/2/2023).
Data yang diajukan dalam laporan itu harus menjadi peringatan bagi para pemimpin dunia untuk bertindak mengakhiri kematian ibu. Terlebih lagi, salah satu agenda utama SDGs adalah menurunkan angka kematian ibu dan kematian Balita. Namun hingga saat ini, Angka Kematian Ibu (AKI masih di kisaran 305 per 100.000 Kelahiran Hidup, belum mencapai target yang ditentukan yaitu 183 per 100.000 KH di tahun 2024.
Di Indonesia, sebagai bentuk komitmen untuk penyediaan layanan esensial bagi Ibu hamil, Kementerian Kesehatan RI menetapkan pemeriksaan ibu hamil atau antenatal care (ANC) dilakukan minimal sebanyak 6 kali selama 9 bulan. Untuk mendukung aktivitas ini, Kemenkes tengah dalam proses menyediakan USG di Seluruh Provinsi di Indonesia. Yang sebelumnya pemeriksaan USG hanya dapat dilakukan di RS atau Klinik, saat ini ibu hamil sudah dapat melakukan pemeriksaan di Puskesmas (kemkes.go.id, 15/1/2023).
Kemenkes secara bertahap akan memenuhi kebutuhan USG di semua Puskesmas di Indonesia. Hingga nantinya akan terpenuhi kebutuhan 10.321 USG di 10.321 jumlah puskesmas pada tahun 2024. “Nantinya akan terlihat dan terdeteksi lebih cepat pada saat hamil apabila ada kelainan dan risiko komplikasi persalinan yang mungkin terjadi.”
Tingginya AKI ini terjadi karena berbagai sebab. Mulai dari segi kesehatan ibu, akses dan ketersediaan fasilitas kesehatan, hingga support system yang kurang baik. 3 penyebab utama pada kesehatan ibu adalah perdarahan, hipertensi kehamilan dan gangguan sistem peredaran darah (jantung, stroke, dan lain-lain). Meskipun pemeriksaan rutin dapat mendeteksi lebih dini dan antisipasi yang baik namun ini sebenarnya belum menyentuh akar persoalan AKI.
Di balik tingginya angka kematian bayi dan ibu hamil ini sejatinya menunjukkan ada persoalan kesejahteraan rakyat yang belum terwujud. Kesehatan dikomersilkan, biaya hidup makin tinggi hingga kemampuan untuk memberikan nutrisi sehat juga amat sangat terkendala bagi rakyat. Kesehatan bukan dianggap hak rakyat yang ditanggung negara, lapangan kerja semakin sulit dan semakin diperebutkan meskipun upahnya rendah, jauh dari kecukupan apalagi kesejahteraan.
Sumber daya alam yang luar biasa dimiliki negeri ini tidak berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Para elit korporatlah yang leluasa memiliki dan perselingkuhan dengan penguasa menjadikan rakyat tak menikmati kekayaan SDA yang sejatinya dimiliki bersama. Inilah watak sistem kapitalisme liberal, meniscayakan hukum rimba. Siapa yang kuat, ia yang menang dan bertahan, bahkan mendominasi. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa berharap terwujud kesejahteraan ibu dan anak bila sistemnya seperti ini?
Untuk mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak diperlukan adanya perubahan mendasar pada tata kelola kehidupan, tak hanya sistem ekonominya. Dalam Islam, negara diwajibkan untuk menjaga peran strategis perempuan sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan juga ibu generasi. Meski Islam membolehkan perempuan bekerja, Islam tidak menjadikan perempuan sebagai penanggung nafkah dan penyangga pilar ekonomi negara.
Islam menjadikan sumber daya alam sebagai milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk menyejahterakan rakyat. Negara Islam yakni khilafah akan memastikan setiap rakyat, individu per individu, termasuk perempuan dan anak, terpenuhi kebutuhan pokoknya, juga kebutuhannya akan layanan pendidikan dan kesehatan yang optimal.
Khalifah Umar telah memberikan contoh nyata betapa Islam sangat peduli terhadap kesejahteraan anak. Di masa kepemimpinannya, Khalifah Umar pernah menetapkan santunan bagi bayi yang sudah disapih. Namun ternyata kebijakan ini menyebabkan para ibu mempercepat usia penyapihan demi mendapatkan tunjangan dari Khalifah untuk meringankan beban hidup mereka. Melihat hal tersebut, maka khalifah Umar mengubah kebijakannya dengan memberikan santunan kepada semua bayi yang baru lahir. Perubahan kebijakan dilakukan Khalifah Umar demi menjaga dan melindungi anak-anak dan juga menyenangkan hati para ibu yang sedang menyusui.
Sungguh ini adalah teladan mulia seorang kepala negara terhadap rakyatnya, yang mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Tak sedikitpun menganggap rakyat sebagai beban, tapi sebagai amanah yang diurus dengan baik. Kesejahteraan per individu rakyat mudah tercapai, kebutuhan mendasar termasuk layanan kesehatan takkan dikomersilkan. Alhasil dalam sistem yang barokah (Islam kaffah) inilah yang mampu menuntaskan persoalan AKI, menyelamatkan para ibu beserta buah hati calon geberasi pengganti.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Cahyani Pramita, S.E.
Pemerhati Masyarakat
0 Comments