Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Suara Hati untuk Papua

TintaSiyasi.com -- Bumi Cenderawasih berduka, bukan untuk yang pertama atau mungkin juga bukan yang terakhir kalinya. Berbagai masalah datang silih berganti seolah tiada hentinya melanda masyarakat Papua. Masalah kemiskinan, keamanan, hingga bencana alam seperti gempa bumi yang terjadi belum lama ini.

Padahal, Papua berjuluk “Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi” lantaran melimpahnya kandungan sumber daya alam di sana. Papua justru sering memanas akibat berbagai konflik antarsuku, politik, dll. Lantas, kemana angin surga itu berembus? 

Problem ‘Abadi’ Kemiskinan

Kemiskinan seolah menjadi problem abadi di Papua. Data kemiskinan menyelimuti Papua sejak lama. Provinsi Papua memimpin provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di tanah air pada September 2022. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Bumi Cenderawasih tercatat mencapai 26,56%.

Secara nasional, angka kemiskinan di Indonesia tercatat mengalami peningkatan per Januari 2023 lalu. Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, persentase penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57%, naik dibandingkan Maret 2022 yang besarnya 9,54%. (CNBCIndonesia,23/01/2023)

Belum lagi gempa yang terus melanda Papua, sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia tanggal 9/2/2023, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Kamis sore, mengungkapkan tak kurang dari 1.079 gempa pada periode 2 Januari hingga 9 Februari 2023, di Jayapura, Papua.

Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan alasan terjadinya lebih dari 1.000 gempa yang menggoyang Jayapura, Papua, sejak awal Januari 2023 lalu. Kondisi batuan yang ada di wilayah tersebut adalah tipe batuan rapuh, sehingga sangat sensitif bergetar.

Di samping itu, Dwikorita mengungkap, ada pelepasan energi terjadi perlahan-lahan. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menjelaskan bahwa kawasan gempa di Jayapura merupakan wilayah yang rawan pergeseran akibat kondisi batuan rapuh sehingga gempa dapat terjadi.

Teror KKB

Selain kemiskinan, rasa was-was juga menyelimuti Bumi Papua. Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terus-menerus melakukan teror tanpa bisa dihentikan secara total dan diberangus keberadaannya. Seolah mati satu tumbuh seribu. Sehingga keamanan warga pun terganggu.

Gerombolan KKB melakukan aksi pembakaran pesawat Susi Air setelah sebelumnya melakukan insiden penembakan terhadap empat pesawat lainnya. Tak hanya itu, ulah KKB lainnya adalah menyandera belasan pekerja puskesmas, dan mengintimidasi puluhan warga berbagai usia.

Operasi kemanusiaan menjadi berita lumrah di Papua. Dikutip dari liputan6[dot]com, 10-2-2023, Tim gabungan TNI dan Polri berhasil mengevakuasi 25 warga dari Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan yang menjadi korban intimidasi KKB.

Pihak aparat juga telah berhasil menyelamatkan 15 pekerja puskesmas yang disandera KKB. Polda Papua mencatat, pada 2022 ada sekitar 90 kasus kejahatan yang dilakukan KKB. Dari catatan itu, sedikitnya ada 53 korban meninggal dunia, baik warga sipil, TNI, maupun Polri.

Pembangunan Infrastruktur Terancam
Buntut dari masifnya teror KKB, pembangunan infrastruktur di Papua pun terancam. Ulah KKB di Papua tentu merugikan banyak pihak. Tak hanya warga sipil, investor dan perusahaan pun merasa tidak aman. Padahal, pembangunan infrastruktur akan dapat memberi keuntungan bagi masyarakat Papua ke depannya.

Proyek Trans Papua misalnya, yang merupakan pembangunan jalan telah merenggut banyak korban akibat penyerangan dari anggota KKB. Berdasarkan catatan kepolisian, pada 2018 silam korban penyerangan di distrik Yigi Kabupaten Nduga mencapai 31 orang. Tidak sampai di situ, kasus penyerangan kembali terjadi pada September 2022, ketika empat pekerja proyek Trans Papua di Kampung Mayerga, Distrik Maskona Utara, Papua Barat tewas oleh KKB (CNNIndonesia, 9/2/2023).

Pembangunan infrastruktur telekomunikasi Palapa Ring Timur pada 2022 pun tak luput dari serangan KKB di Distrik Beoga. Setidaknya delapan orang karyawan PT Palapa Timur Telematika (PTT) tewas. Saat itu,  sedang dilakukan perbaikan tower. KKB menyerang pekerja PT Puncak Tukup Naul yang tengah membangun puskesmas di Beoga Barat pada November lalu. Dari empat orang korban, satu orang meninggal dunia dan satu orang mengalami luka tembak.

Tanpa KKB saja, pembangunan di Papua sudah begitu sulit dilakukan lantaran faktor geografis dan struktur tanah dan medan Papua yang tidak stabil. Jika ditambah dengan ulah KKB, dapat dibayangkan kesulitan itu menjadi berlipat ganda, menguras tenaga, waktu, dan juga biaya.

Kembalikan ‘Surga’ Papua

Sungguh, persoalan Papua begitu kompleks. Karenanya, dibutuhkan peran sungguh-sungguh dari negara dan dukungan masyarakat untuk bisa menuntaskannya. Adanya campur tangan internasional di Papua justru menambah kadar persoalan. 

Perlu diketahui, eksistensi KKB alias OPM sejatinya adalah kelompok separatis yang mustahil ditumpas karena berjejaring dengan negara-negara kapitalis besar. Sebut saja Inggris, yang telah memberikan suaka politik terhadap pemimpin kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda. Posisinya kini “aman” dengan tinggal di pengasingan negeri Britania Raya. Tak berbeda dengan Inggris, AS dan Australia pun setali tiga uang.

Mereka sengaja menggunakan senjata HAM untuk memelihara konflik di Papua. Tujuan liciknya agar hegemoni mereka atas tanah surga Papua tetap langgeng. Kalau sudah begini, bukan hanya karena bebalnya mereka, tetapi juga karena lemahnya kita.

Di sinilah relevansinya keberadaan negara yang independen dan kuat untuk melawan hegemoni asing berikut propagandanya tentang HAM. Papua membutuhkan pemimpin negara yang mampu mengelola kekayaan alamnya secara mandiri untuk kesejahteraan penduduknya. Hari ini pengelolaan SDA itu berlangsung secara rakus atas nama investasi. Semua itu lahir dari falsafah kapitalisme sekuler, yang merusak hakikat kepemilikan rakyat menjadi kepemilikan segelintir korporat. 

Padahal, di hadapan konstitusi negeri ini saja, pengelolaan SDA yang dilakukan Freeport misalnya, sudah termasuk pelanggaran berat. Yakni melanggar pasal 33, ayat 2-4. ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara."

”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4). Ulah Freeport justru menunjukkan pertentangan yang kasat mata. Kerusakan lingkungan kini menghantui masyarakat di sekitarnya. Inilah bukti bebalnya mereka.

Terlebih menurut islam, falsafah ini jelas bertentangan dengan amanat pengelolaan harta milik umum, yang rinciannya terdapat secara gamblang dalam kitab-kitab klasik para ulama.  Artinya, dibutuhkan perubahan paradigma dalam mengelola SDA dari kapitalisme neoliberal.

Dan itu hanya ada pada Islam.  Allah Taala berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).

Jika kapitalisme terus menerus sesumbar soal kesejahteraan dan keadilan, maka Islam telah lebih dahulu menunjukkan bukti yang belum pernah ada tandingan. Teori kesejahteraan ala kapitalisme sudah sepatutnya dieliminasi dari ruang-ruang pikir bangsa ini lalu diganti dengan pemahaman terhadap Islam kaffah untuk menapaki jalan kesejahteraan dan keadilan yang lebih realistis dalam mengembalikan ‘surga’ tanah Papua, Indonesia, dan dunia seluruhnya.

Oleh: Pipit Agustin
Aktivis Muslimah


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments