Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Relevansi ‘Sejahtera’ Melalui Pertumbuhan Ekonomi Maluku

TintaSiyasi.com -- Sampai saat ini, dunia masih meyakini, angka pertumbuhan ekonomi merupakan indikator penting mengukur tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi  pertumbuhan ekonomi, berarti semakin tinggi pula pendapatan masyarakat. Hal ini juga berarti, kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, karena kebutuhan hidup terpenuhi.

Namun, keyakinan tersebut tampaknya harus mulai didobrak, melihat kenyataan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan.
Dikutp dari laman malutpost.id, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek., Engelina Pattiasina mempertanyakan relevansi pertumbuhan ekonomi sebagai indikator mengukur tingkat kesejahteraan rakyat.

Hal ini bisa dilihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi Maluku Utara (Malut) sebesar 27% seolah tak terasa nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurutnya, multiplier effect yang muncul dari pertambangan nikel di Malut tidak berdampak serius pada enonomi rakyat, tapi hanya segelintir pelaku (10/2/2023).   
Pencapaian Prestius?

Sebelumnya, Gubernur Malut Abdul Ghani Kasuba juga mengeluh di depan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi Malut tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Menanggapi keluhan tersebut, Sri Mulyani meminta adanya evaluasi pembangunan baik dari anggaran APBD maupun APBN. Dengan demikian, masyarakat tidak merasa terisolir dan bisa merasakan manfaatnya secara langsung (detik.com, 21/12/2022).

Bagi siapapun yang tidak menjalani kehidupan di Malut, mendengar berita pertumbuhan ekonomi sebesar 27% pada kuartal III tahun 2022, merupakan pencapaian yang prestisius. Provinsi Malut mendapat ranking satu, dan tampak selaras dengan prestasi mentereng lainnya. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan Malut sebagai provinsi paling bahagia di Indonesia tahun 2021.

Namun, ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian, di antaranya :

Pertama, BPS Malut mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 82,13 ribu orang (6,37%), naik 2,26 ribu orang atau 0,14% poin terhadap Maret 2022. Garis Kemiskinan pada September 2022 sedikit naik yaitu Rp544.278,- per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp423.139,- dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan Rp121.138,- (malut.bps.go.id).

Jika dikalkulasikan, Garis Kemiskinan Makanan Rp423.139,- dibagi 30 hari didapati angka Rp14.105,-. Padahal, satu porsi makanan di wilayah Maluku Utara saja, rata-rata harganya Rp20.000,-. Terlepas dari itu, dari 10 kabupaten/kota di Maluku Utara, persentese penduduk miskin tertinggi diraih Kabupaten Halmahera Timur yaitu 13,14% disusul Halmahera Tengah 12%, dan Halmahera Barat 8,43% (malut.bps.go.id). Miris. Daerah paling miskin justru daerah yang memiliki banyak hasil tambang .

Kedua, tingkat pertumbuhan ekonomi Malut cenderung menitikberatkan pada ekonomi makro terkait hasil pengelolaan tambang. Sementara terkait transaksi ekonomi antar individu masyarakat (mikro) kurang disentuh. Akhirnya, ranking satu tingkat pertumbuhan ekonomi tak dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal ini juga berarti, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tak lagi relevan dengan tingkat kesejahteraan rakyat.

Ketiga, perhatian pemerintah di sektor pertanian dan perkebunan kurang tampak. Harga kopra, pala maupun cengkeh sebagai komoditas unggulan masyarakat Malut relatif stagnan. Hal ini karena ketiga komoditas tersebut lebih banyak dijual dalam bentuk bahan mentah. Dibutuhkan banyak inovasi dalam pengolahan hasil pertanian dan perkebunan menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi guna meningkatkan nilai jual. Dengan demikian, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat.

Keempat, arah dan tujuan kebijakan investasi dalam pengelolaan tambang kabur. Pemerintah mengundang investor untuk mengelola tambang dari hulu sampai hilir, tapi tidak dibarengi regulasi yang jelas terkait pemerataan pemanfaatan hasil tambang.

Pemerintah terkesan mendewakan kebijakan investasi untuk menyolusi segala permasalahan ekonomi negeri, termasuk pengelolaan tambang. Padahal, telah nyata bahwa pengelolaan tambang di tangan swasta / asing pada akhirnya lebih menguntungkan investor.

Kelima, upaya membangkitkan pertumbuhan ekonomi di sektor tambang menciptakan polemik baru. Seperti diketahui, membuka lahan tambang harus menggunduli hutan alam. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Malut mencatat, pertambangan nikel menjadi penyebab hilangnya 16.000 hektar hutan alam dalam 15 tahun terakhir (betahita.id, 8/9/2022). Artinya, hutan alam Malut hilang 1 hektar lebih setiap tahunnya dan mengancam kehidupan satwa langka seperti Burung Kakatua Putih dan Kasturi Ternate.

Keenam, terjadi pengabaian ekologi demi membangkitkan pertumbuhan ekonomi. Penggundulan hutan alam jelas berpotensi terjadinya bencana ekologis. Belum lagi, permasalahan izin pembuangan limbah tailing di laut dalam. Selain mengancam lingkungan dan biota laut, mata pencaharian nelayan terancam. Ikan sebagai salah satu sumber protein turut tercemar yang justru berbahaya bagi kesehatan manusia. Namun, pengelolaan tambang masih terus berjalan, seolah-olah jika dihentikan, perekonomian Malut akan mati.

Harusnya Sejahtera dan Bahagia
Masyarakat Malut seharusnya memang layak sejahtera dan menjadi paling bahagia. Betapa tidak? Sumber Daya Alam (SDA) di bawah tanah, di atas tanah dan lautan begitu melimpah. Tanah yang subur bisa menghasilkan aneka bahan makanan pokok, sayuran, buah, dan hasil perkebunan lainnya. Jika dikelola dengan baik, kebutuhan pangan masyarakat bisa terpenuhi dengan harga terjangkau.

Sementara itu, hasil pengelolaan SDA yang hakekatnya milik umum, bisa digunakan untuk menggratiskan biaya kesehatan dan pendidikan.
Di sisin lain, masyarakat butuh refresing untuk menenangkan pikiran kala jenuh dan lelah. Wilayah Malut dikelilingi gugusan pulau dan wisata alam yang membuat setiap netra merasa dimanjakan dengan keindahan. Masyarakat tak perlu pusing mencari tempat healing. Tak perlu jauh-jauh menghamburkan cuan karena tempat wisata alam masih berada dalam jangkauan. Jika dilihat dari potensi SDA dan keindahan alam, masyarakat Malut layak menjadi paling bahagia.

Sayangnya, SDA justru lebih banyak dikelola swasta. Hingga kesejahteraan rakyat masih menjadi PR pemerintah baik pusat maupun daerah. Keluhan berbagai elemen masyarakat seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah. Glorifikasi pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan masyarakat, tapi hanya dinikmati elit pejabat. Prestasi yang begitu dibanggakan hanya ilusi. Tentu, dibutuhkan suatu formula yang tepat hingga angka pertumbuhan ekonomi bisa relevan dengan kondisi yang dirasakan rakyat bawah.

Cara Pandang Sebuah Negara

Suatu kebijakan akan lahir dari worldview suatu negara, yaitu cara pandang menyeluruh terhadap alam semesta, manusia dan kehidupannya. Wordview negara-negara di dunia saat ini cenderung memisahkan manusia dengan kehidupan dunia. Tak heran jika kebijakan yang lahir tak lagi memperdulikan lingkungan, alam maupun dampaknya bagi manusia. Sebaliknya, lebih mengutamakan sebanyak-banyaknya perolehan materi. Dampak jangka pendek maupun panjang terhadap kehidupan manusia, dan alam tak lagi dihiraukan.

Memang, materi bukan sumber utama kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan seseorang dan sebuah keluarga bisa berawal dari tercukupinya materi hingga bisa merasa sejahtera. Seseorang dikatakan sejahtera, setidaknya ia mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, baik sandang, pangan, papan, pendidikan serta kesehatan. 

Dari sini, tampak urgensi peran negara dalam pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.  Mengingat, masalah ekonomi, pendidikan maupun kesehatan terkait erat dengan penerapan sebuah sistem yang menjadi wewenang pemerintah. 

Begitu pula, Islam memiliki pandangan yang berbeda terkait alam semesta, manusia dan kehidupan. Islam memandang ketiga hal tersebut berasal dari Pencipta, dan akan kembali kepada Pencipta yaitu Allah Swt. Oleh karenanya, regulasi yang dilahirkan pemerintah justru melibatkan aturan Pencipta, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Asas lahirkan aturan dalam Islam adalah halal haram, bukan manfaat atau materi.

Islam memiliki aturan paripurna terkait, tata kelola bidang pertanian, perkebunan, kelautan, pengelolaan SDA dan lain sebagainya. Regulasi yang dilahirkan oleh negara yang berlandaskan Islam tak sekadar mengejar manfaat tapi lebih mengutamakan hukum Sang Pencipta, Allah Swt. Dengan demikian, segala regulasi yang dilahirkan justru akan menyelamatkan manusia dan alam semesta. 
Wallahu’alam bish showab.[]
 
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Pemerhati Kebijakan Publik
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments