Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Memutus Mata Rantai Human Trafficking dengan Islam


TintaSiyasi.com -- Kasus perdagangan orang di negeri ini terus saja terjadi, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri baru- baru ini mengungkap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melibatkan jaringan internasional Indonesia-Kamboja, dengan menangkap dua tersangka. Pengungkapan ini berawal dari penangkapan tiga tersangka TPPO berinisial SJ, JR dan MN pada akhir 2022, kemudian dikembangkan diperoleh dua tersangka berinisial NU dan AN pada akhir Januari 2023 di wilayah Jakarta Selatan. Kedua tersangka ini memiliki peran lebih tinggi dari tiga tersangka sebelumnya, yakni sebagai perekrut dan membantu proses pengurusan paspor kemudian menyediakan tiket perjalanan (Antaranews, 10/2/2023).

Masalah ini bukan kali pertama terjadi, sejak 2019—2021, tercatat sebanyak 1.331 korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan 1.291 (97%) adalah perempuan dan anak. Korban banyak diperdagangkan sebagai pekerja (terutama di sektor rumah tangga), dikawinkan secara paksa, dilacurkan, hingga penawaran adopsi ilegal pada anak-anak. Dan diperkirakan meraup keuntungan hingga puluhan miliar rupiah.


Mengurai Penyebab Perdagangan Manusia

Maraknya perdagangan orang adalah akibat permasalahan ekonomi atau kemiskinan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Mereka melakukan bujuk rayu sehingga banyak warga yang mengambil langkah instan, yaitu menerima tawaran bekerja di luar negeri, padahal itu hanya kedok dari perdagangan orang. Bukannya mendapatkan penghasilan besar, para korban justru dipekerjakan secara tidak manusiawi, tanpa upah, seperti perbudakan. Jika berusaha melarikan diri, mereka diancam akan dibunuh.

Selain itu, lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaffah menjadikan Islam dipahami sebatas ritual. Wajar jika tidak sedikit individu Muslim yang mengalami disorientasi hidup, hingga mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus pada kemaksiatan.

Berbagai permasalahan yang berakar pada rusaknya sistem kehidupan yang dianut menjadikan rakyat mengambil jalan pintas. Di satu sisi mudah terbujuk imbalan materi yang diiming-imingi para pelaku perdagangan orang; di sisi lain, para pelaku perdagangan orang mengambil cara mudah untuk mendapatkan uang atau materi tanpa berpikir apakah yang mereka lakukan itu mencelakakan orang atau tidak? Apakah sesuai syariat atau tidak? Semua dilakukan semata agar bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan agar bisa hidup enak.

Fakta ini menunjukkan bahwa maraknya perdagangan orang, terutama perempuan dan anak, bukan sekadar terkait persoalan kemiskinan, budaya, dan hukum semata, melainkan lebih bersifat sistemis akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap kesengsaraan rakyatnya, melainkan terhadap seluruh kerusakan di berbagai bidang kehidupan. 

Pemerintah memang telah melakukan beberapa kebijakan untuk menyelesaikan TPPO. Pemerintah telah menerbitkan UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO. Juga ada Perpres tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT PP TPPO). Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Dalam pertemuan Bali Process, Menlu Retno Marsudi memberikan tiga solusi untuk TPPO, yakni memperkuat upaya pencegahan, memerangi penyalahgunaan teknologi, dan mengoptimalkan dampak kerja dari Bali Process. Namun, tawaran solusi ini sejatinya tidak menyentuh akar persoalan maraknya perdagangan orang. Komitmen untuk menghentikan perdagangan orang pada pertemuan Bali Process hanya berhenti sebatas acara seremonial yang jauh dari realisasi.

Faktor utama penyebab perdagangan orang adalah himpitan ekonomi yang tidak kunjung terselesaikan. Negara gagal menyejahterakan rakyatnya sehingga rakyat harus berjuang sendiri mempertahankan hidupnya.


Bagaimana Solusi Islam?

Pemberantasan TPPO butuh dukungan sistem. Dukungan tersebut hanya ada dalam sistem Islam. Sistem politik Islam memposisikan penguasa sebagai raain (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) sehingga tidak akan bersikap lepas tangan.

Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam ash-Shultaniyah menyebutkan salah satu kewajiban pemimpin dalam Islam ialah memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap segenap rakyatnya agar mereka merasa aman dari berbagai macam gangguan dan ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Sistem Islam akan melarang pengiriman rakyatnya ke luar negeri sebagai tenaga kerja yang murah dan minim perlindungan. Sistem Islam akan membuka lapangan pekerjaan di dalam negeri secara massal sehingga setiap laki-laki yang mampu akan mendapatkan pekerjaan. Sedangkan kaum perempuan tidak wajib bekerja sehingga mereka kembali ke tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah. Anak-anak juga tidak perlu bekerja karena kebutuhan mereka sudah dipenuhi oleh orang tua atau walinya dan negara.

Selain itu, sistem Islam akan menerapkan sistem sanksi yang efektif sehingga pelaku kejahatan perdagangan orang akan jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Sistem Islam tidak akan segan-segan menghukum warga negara asing yang menjadi pelaku TPPO. Islam tidak akan takut dengan sindikat perdagangan orang internasional. Mereka akan diberantas dengan kekuatan militer. Demikianlah jaminan kesejahteraan dan perlindungan oleh sistem Islam akan memberantas perdagangan orang secara tuntas. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Santi Zainuddin
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments