TintaSiyasi.com -- Kemiskinan adalah penyebab berbagai penyakit kriminal. Perdagangan manusia salah satunya. Hari ini masih menghadapi permasalahan perdagangan manusia. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan orang-orang miskin untuk meraup keuntungan.
Dalam pertemuan Bali Process di Adelaide, Australia yang diadakan pada Jumat kemarin, yakni 10 Februari 2023, Menteri luar negeri RI Retno Marsudi membahas tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TTPO). Beliau menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah irreguler migrant. Data Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan ada 10.9 juta orang di Asia Pasifik terancam terusir tahun ini disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kesulitan ekonomi, adanya konflik, hingga perubahan iklim (antaranews.com, 11/02/2023).
Adanya kebutuhan hidup manusia menuntut untuk dipenuhi. Namun hari ini, sulitnya akses untuk bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok membuat orang nekat melakukan apa pun. Termasuk diiming-imingi bekerja di luar negeri dengan gaji yang lumayan besar. Modus kejahatan yang dilakukan para tersangka perdagangan orang ini dengan menawarkan dan menjanjikan pekerjaan seperti buruh pabrik, customer servis, telemarketing ataupun operator komputer, tetapi pada faktanya para korban tidak mendapatkan pekerjaan tersebut.
Biang masalah ini adalah karena penerapan kapitalisme. Dalam sistem ini, orang-orang miskin akan dimanfaatkan oleh para kapitalis atau pemilik modal untuk dimanfaatkan dari segi mana pun. Halal dan haram bukanlah standar perbuatan dalam kapitalisme. Maka wajar, jika masalah perdagangan manusia tidak bisa diselesaikan dalam sistem ini.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam punya solusi dalam pemberantasan perdagangan manusia. Yang harus diperhatikan pertama kali adalah bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi agar manusia tidak mengalami kesulitan dalam hidupnya.
Politik ekonomi Islam menjamin terealisasinya semua kebutuhan pokok setiap orang secara menyeluruh. Kemudian memudahkan akses untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kesanggupan sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat. Islam mensyariatkan laki-laki yang telah balig dan mampu wajib bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, lalu kemudian menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Sedangkan, perempuan tidaklah wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokoknya karena nafkah mereka ditanggung oleh suami atau ayah mereka. Dalam kasus perdagangan orang, kebanyakan perempuanlah yang menjadi korban. Perlindungan terhadap perempuan hampir tidak ada sama sekali. Demi terpenuhinya kebutuhan, mereka rela untuk keluar negeri meskipun pada akhirnya mereka tertipu dan terperdaya.
Allah SWT berfirman, “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 233).
Jika dalam realitasnya ada laki-laki yang tidak sanggup untuk mencari nafkah, karena cacat mental atau fisik, sakit-sakitan atau sudah usia lanjut maka Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu mereka.
Allah SWT berfirman, “Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan waris pun berkewajiban demikian...” (TQS. Al-Baqarah [2]: 233). []
Oleh: Endah Sefria, S.E.
Pemerhati Ekonomi
0 Comments