Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Obsesi Kekuasaan Berujung Oligarki dalam Demokrasi

TintaSiyasi.com -- Belum reda isu perpanjangan 3 periode presiden Joko Widodo, baru-baru ini muncul isu senada berupa perpanjangan masa jabatan Kepala Desa. Dilansir dari Kompas.com, pada Selasa (17/01/2023) lalu, ratusan Kepala Desa menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat dalam rangka menuntut revisi Undang-Undang no.6 Pasal 39 Tahun 2014 tentang Desa. Mereka mengajukan perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun per-periode. Tak hanya itu, mereka juga mengancam DPR terkait andil suara di Pemilu 2024 mendatang jika aspirasi mereka tidak segera diangkat ke forum legislasi.

‘’Kami masih menunggu apakah di tahun 2023 ini revisi UU Desa masuk program legislasi atau tidak. Maka kami warning parpol yang tidak memperjuangkan aspirasi ini, pada pemilu 2024, suara bisa nol di desa’’, ujar Ketua Perkasa Kabupaten Pamekasan Farid Afandi saat dihubungi pihak Kompas, 21 Januari lalu.

Respon Masyarakat

Isu perpanjangan masa jabatan ini sontak menuai pro dan kontra di tengah-tengah publik. Pasalnya, mereka para pemimpin desa menyatakan bahwa 6 tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk mengoptimalkan pembangunan desa. Mereka mengaku jika durasi 6 tahun belum mampu membentuk konsolidasi antar elemen desa, sehingga membutuhkan waktu tambahan yang lebih lama.

Beberapa wakil rakyat pun lantas menyetujui aspirasi tersebut. Mereka sependapat bahwa 6 tahun adalah waktu yang relatif kurang dan belum efektif. Diantaranya ada Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, juga Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Bahkan, presiden Joko Widodo juga diklaim sepakat untuk mengubah masa jabatan kepala desa, melalui pernyataan dari politikus PDIP Budiman Sudjatmiko di Istana Negara, 18 Januari lalu (Tirto.id).

Tak sedikit pula tokoh rakyat yang mengkritik dan mengecam isu ini. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, masa jabatan kekuasaan pejabat negara yang terlalu lama dapat menimbulkan sifat koruptif. Contoh nyatanya bisa kita lihat di era Orde Baru. Dan benar saja, terbukti dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan hasil pemantauan tren korupsi semester I 2022, 134 dari 252 kasus yang terungkap adalah kasus penyalahan anggaran. Data terbanyak berasal dari desa yakni 62 dari total 192 kasus. Angka korupsi desa pun mengalami kenaikan secara konsisten dengan total tersangka pada 2021 sebanyak 245. Lebih tinggi dari 2020 yang hanya 172 kasus.

Output Demokrasi

Bisa kita lihat bahwa adanya obsesi kekuasaan seperti ini merupakan buah dari penerapan sistem demokrasi di Indonesia. Tumbuh subur dalam naungan Kapitalisme, demokrasi bukannya mewakili dan memihak rakyat, namun justru memperbudak dan menyengsarakan rakyat. Sebaliknya, demokrasi dijadikan wadah oleh para elit politik untuk memanen hasil monopoli mereka. Jabatan dan kebijakan diperlakukan layaknya komoditas dagang, diperjualbelikan demi meraih kepentingan bisnis dan korporasi para pemiliknya.

Bertahun-tahun disuarakan, nyatanya demokrasi telah gagal dalam mengendalikan situasi politik dunia. Para pakar politik sendiri telah melakukan berbagai penelitian dalam penerapan demokrasi di berbagai belahan dunia. Tak pernah ada bukti konkret bahwa demokrasi mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat. Yang ada justru ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang berpotensi kehancuran. Kecacatan sistem ini semakin tampak sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun. Bagaimana tidak, menggunakan liberalisme sebagai asas adalah suatu kesalahan besar dalam berpolitik. Kekuasaan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan memperkaya diri, sekalipun harus dengan merampas hak dan wewenang rakyatnya sendiri.

Politik dan Kekuasaan Menurut Islam

Berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki perspektif yang mulia terhadap politik dan kekuasaan. Dalam Islam, politik adalah ri’ayatu syu’unil ummah (mengurusi segala kepentingan rakyat) baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, sosial, pendidikan, maupun pemerintahan. Sedangkan kekuasaan adalah sarana untuk menjalankannya, dengan pengertian bahwa kekuasaan merupakan sebuah Amanah yang akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Dengan memahamkan perspektif ini di tengah masyarakat, niscaya mustahil adanya para pemegang kekuasaan yang bersifat koruptif dan haus jabatan. Karena mereka sadar bahwa jabatan bukanlah suatu kenikmatan, melainkan sebuah tanggung jawab yang amat berat pelaksanaannya. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Imam adalah ra’in (penggembala) dan ia bertanggungjawab atas rakyatnya’’. (HR Bukhari).
Selain itu, adanya kekuasaan dalam Islam bertujuan untuk menegakkan hukum Allah dan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini akan menutup kemungkinan terbentuknya pemerintahan oligarki dan rezim otoriter. Karena para pemegang kekuasaan pasti sadar bahwa politik bukanlah ajang untuk memenuhi kepentingan pribadi, sedangkan kekuasaan bukanlah alat untuk meraih keuntungan korporasi, melainkan sebagai ladang pahala demi meraih ridho Allah semata.

Perspektif seperti ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam, sebuah kepemimpinan yang membawa Khilafah Rasyidah menuju kepada gemilangnya peradaban dunia selama 13 abad lamanya. Maka jika ingin menanamkan perspektif tersebut di tengah masyarakat, satu-satunya cara adalah dengan menggunakan Islam sebagai asas dalam bernegara. Tak lain dan tak bukan adalah dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwwah di bumi Allah. Wallahu a’lam.

Oleh: Zahira F.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments