Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menolak Tua dengan Childfree, Benarkah?

TintaSiyasi.com -- Childfree mewujudkan kebahagiaan pada seseorang dan menjadikan lebih awet muda adalah suatu pendapat yang menyalahi fitrah seorang wanita dan menyelisihi ketentuan Allah Subhanahuwata'ala.

Childfree merupakan satu istilah yang sebenarnya menjadi tren yang sudah cukup lama muncul di sekitar tahun 70 an, hanya baru-baru ini booming setelah diunggah kemudian viral oleh seorang influencer wanita asal Indonesia yang awalnya menempuh pendidikan dan saat ini masih menetap di Jerman.

Tanpa anak atau bebas anak (bahasa Inggris: childfree) adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat.
Penggunaan istilah childfree untuk menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di akhir abad 20. (https://id.wikipedia.org/wiki/Childfree)

Jika mengamati dari latar belakang influencer tersebut, yang datang ke negeri orang dengan tujuan belajar di usia sangat muda (18 tahun) namun belum memiliki pondasi pemahaman aqidah yang kuat, maka salah satu hal yang banyak terjadi pada pelajar/mahasiswa Indonesia adalah mereka mengalami perubahan cara pandang bahkan pemikiran sebagai gejala terjadinya culture shocked (keterkejutan budaya)

Bukan berarti berbasis pada kebiasaan pandangan masyarakat di tanah air, namun budaya (urf) bisa jadi muncul bersumber pemahaman dan aplikasi nilai-nilai dari keyakinan yang dianut masyarakat tersebut. Contohnya adanya suatu pernikahan itu maka (urf nya) akan disusul dengan adanya kehamilan dari sang istri, kemudian kelahiran seorang anak, disusul anak kedua, ketiga dan seterusnya. Maka jika pasangan suami istri sudah beberapa tahun menikah kemudian belum juga dikaruniai seorang anak, maka kemungkinan ada 2 antara belum dikasih rezeki anak oleh Allah Subhanahuwata'ala atau memang menunda memiliki anak. Tapi bukan menjadi kebiasaan (urf) bahwa pasangan suami istri tersebut memang sengaja tidak mau punya momongan (anak).

Yang terjadi pada kasus terkait adalah kebiasaan yang dilihatnya di tanah air, bahwa seorang wanita jika sudah dewasa akan menikah kemudian melahirkan dan mengasuh anak, melayani suami, dan lain sebagainya sebagaimana kehidupan seorang wanita pada umumnya, sekalipun wanita tersebut bekerja atau berkarir. Namun semua yang dilihat tanpa dibarengi bimbingan pemahaman yang benar. Mengapa seorang wanita harus begini atau begitu, seharusnya dasar landasannya dipahami bahwa sesuai fitrahnya maka seorang wanita jika sudah melaksanakan sunnah Rasul yaitu pernikahan selanjutnya harus beregenerasi, kemudian mendidik anak untuk menyiapkan calon-calon pejuang demi kebangkitan Islam segera terwujud. Semua itu bisa jadi tidak pernah termaklumat dalam pemikirannya.

Sehingga begitu berada di negeri orang yang sama sekali kebiasaan (urf) yang berlaku di masyarakatnya sangat berbeda, maka menjadi sangat mudah mengadopsi pemikiran dari tempat dimana tinggalnya berdasar fakta-fakta yang sepintas terlihat modern dan tidak menyusahkan karena cara pandangnya sudah terinfiltrasi oleh cara pandang masyarakat di sana. Contohnya dalam pemilihan pasangan hidup, hanya melihat dari sudut pandang merasa ada kecocokan satu sama lain, karena sama-sama hidup di negeri orang, maka secara perasaan memiliki keterikatan kebangsaan lebih kuat, kemudian memutuskan menikah meskipun menganut keyakinan berbeda pada awalnya. Memutuskan untuk menikah dengan orang yang berbeda keyakinan saja, itu sudah menunjukan bahwa virus sekulerisme, liberalisme sudah merasuk dalam pemikirannya. Dimana sudah memisahkan antara agama dengan kehidupan bermuamalah maupun interaksi sosialnya. 

Meskipun akhirnya sang suami menyatakan masuk Islam atas sebab menikahi calon istrinya yang berkeyakinan berbeda dengannya. Yang menjadi masalah, mengapa jadi semudah itu cara berpikirnya, karena tidak berpegang pada ketentuan syariat, kemudian juga tidak mempertimbangkan apakah nanti jika memiliki anak akan bisa mendapat figur ayah yang bisa mengajarkan agama dengan benar. Sama sekali tidak menjadi poin pentingnya lagi. Bahkan bisa jadi akibat kekhawatiran bahwa anaknya tidak akan mendapatkan didikan Islam dari ayahnya, maka akan membuatnya harus berbuat ekstra, lalu berpikir mudahnya saja, tidak punya anak sekalian. Allaahu A'lam. 

Intinya penyebab kekacauan berpikir seseorang sehingga timbul ide menjadi penganut Chidfree, adalah karena jalan berpikirnya sudah jauh dari panduan hidup seorang yang mengaku Islam ialah Al Qur'an dan Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari peran orangtua nya yang rela melepas anaknya hidup di negeri orang tanpa menanamkan pemahaman aqidah dengan kokoh. Dan yang utama adalah peran negara dalam pengaturan sistem pendidikan anak negeri, harusnya bisa memastikan setiap anak negeri yang belajar di negara lain, sudah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditinjau berdasar hukum syara'. Sehingga setelah selesai menempuh pendidikan jangan sampai justru menebar virus pemikiran salah bagi anak negeri potensial lain.[]

Oleh: Tari Hadrianingsih
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments