Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Negeri Kaya Banyak Utang


TintaSiyasi.com -- Indonesia dengan berjuta keindahan dan pesonanya meninggalkan kesan yang mendalam bagi siapa saja yang datang dan tinggal di sini. Negeri yang memiliki kekayaan yang berlimpah, tanah yang sangat subur, sumber daya alam, hasil pertanian, hasil laut, rempah-rempah, hutan yang luas sebagai paru-paru dunia, tempat wisata alami dan masih banyak lagi lainnya. Semua itu merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT yang wajib kita syukuri dan kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Di balik keindahan dan kekayaan Indonesia, ternyata dengan bertambahnya tahun, utang Indonesia makin menggunung dengan bunga yang sangat tinggi.

Menurut mantan Menteri Keuangan RI Fuad Bawazier, pemerintah kurang apik menjaga dan mengelola keuangan negara terlebih melakukan simulasi utang yang dikatakannya tidak bijak alias ugal-ugalan.

“Tidak mampu bikin simulasinya. Kasihan generasi atau pemerintah yang akan datang yang harus pusing tujuh keliling mengatasi utang yang ditinggalin ini,” kata Fuad kepada Kantor Berita Politik RMOL.

Kemenkeu Sri Mulyani menjelaskan, utang Indonesia mencapai 7.000 triliun, masih dalam taraf aman. Alasan negara berutang untuk pembiayaan APBN, lantaran kebutuhan belanja yang cenderung meningkat sedangkan pendapatan belum cukup untuk membiayai kebutuhan. Disebabkan karena peningkatan kebutuhan pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, memberikan subsidi masyarakat (bansos, minyak), dan lain sebagainya.

Selama ini sumber pendapatan APBN yang utama dari pajak. Ketika pajaknya dinilai sudah tidak bertambah, maka alternatifnya adalah utang. Untuk membayar utang, pemerintah akan terus-menerus menggencarkan pajak. Pasti ujungnya adalah mengurangi subsidi, sehingga masyarakat akan terbebani sekali dengan utang ini.

Utang pun pasti ada embel-embelnya, entah itu misalkan barter dengan project, ikut campur dalam membuat undang-undang maupun dengan riba atau suku bunga yang sangat tinggi.

Demikianlah jika negara mengadopsi sistem kapitalis sekuler melahirkan kebebasan kepemilikan, termasuk kepemilikan terhadap sumber daya alam. Para investorlah yang bisa mengeksplor, mengeksploitasi dan meraup pundi-pundi uangnya. Sementara masyarakat harus membeli semuanya dengan harga yang tinggi, harapan rakyat mendapatkan kesejahteraan hanyalah impian.

Negara hanya sebagai regulator, yang memuluskan jalan pemilik modal dengan membuat berbagai aturan atau undang-undang yang berpihak kepada pemilik modal.

Membangun infrastruktur pun dengan mengandalkan utang, investasi asing maupun swasta dengan berbagai perjanjian yang jelas merugikan negara dan berpotensi mengancam kedaulatan negara. 

Sebagai contoh membangun infrastruktur kereta api cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang belum selesai, masih perlu suntikan dana investor sehingga yang awalnya hak guna usaha 50 tahun diperpanjang menjadi 80 tahun. Miris, sama halnya negeri ini dengan sukarela dijajah asing selama 80 tahun kedepan. Rakyat dapat menikmati KCJB jika mampu membayar dengan mahal, lagi-lagi rakyat yang dikorbankan di negeri yang tersohor kekayaannya.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, pendapatan negara bukan dari pajak ataupun utang, melainkan dari sektor kepemilikan umum, sumber daya alam, hutan, air dan lain sebagainya. 

Pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah SAW: "Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api." (HR Ibnu Majah). Kemudian, Rasul SAW juga bersabda: "Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah).

Berdasarkan hadis di atas maka, negaralah yang mengelola semuanya dan hasilnya masuk ke Baitul Mal. Kemudian dialokasikan pada pos pembiayaan seluruh kepentingan masyarakat demi mewujudkan kemaslahatannya.

Ini bisa kita buktikan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, negara kesulitan mendistribusikan zakat karena seluruh masyarakat telah terpenuhi kesejahteraannya.

Demikianlah Islam menetapkan pengelolaan sumber daya alam, maka kedaulatan, ketahanan kemakmuran dan kesejahteraan negara pun akan terwujud. []


Oleh: Yesi Wahyu I.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments