TintaSiyasi.com -- Negeri Sultan. Sekiranya hal ini tidaklah berlebihan jika disematkan kepada negeri kita tercinta, Indonesia. Kekayaan alamnya sungguh melimpah ruah. Kesuburan tanahnya, hutan yang luas dan lebat, wilayah perairan yang membentang, posisinya yang strategis di jalur perdagangan dunia, membuat Indonesia makin moncer untuk menyandang gelar tersebut. Negeri ini begitu kaya raya sebenarnya.
Namun, sayang seribu sayang. Itu semua hanyalah sebatas mimpi. Kenyataan yang ada sungguh sangat mengiris hati. Mayoritas rakyat Indonesia masih hidup dalam kesulitan. Jangankan hidup bermewahan, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja banyak yang pontang-panting.
Kekayaan alam yang luar biasa nyatanya tidak bisa dinikmati rakyat Indonesia dengan leluasa. Alih-alih mampu menjadi makmur dan sejahtera, negeri ini justru terbelit utang yang menggunung. Anggaran negara pun jebol untuk menutup angsuran utang beserta bunganya. Dikutip dari rmol.id (23/1), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah per 30 Desember 2022 sebesar Rp7.733,99 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan sebesar Rp 179,74 triliun jika dibandingkan posisi utang pada bulan sebelumnya yang sebesar Rp7.554,25 triliun.
Tak pelak, rakyat yang hidupnya sudah susah, makin terjepit. Mereka harus menanggung beban berat akibat pungutan pajak di sana sini untuk menggenjot pemasukan negara. Ke manakah sebenarnya kekayaan alam negeri ini sehingga terjerat utang dan tak mampu menyejahterakan rakyatnya?
Kita melihat bahwa ada kesalahan dalam cara mengelola kekayaan alam sehingga keadaan menjadi sulit seperti ini. Negara tak mampu mengoptimalkan potensi yang telah diberikan Allah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Salah Kelola SDA
Hal mendasar yang menjadi biang keladi kebangkrutan negeri ini adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini mengkerdilkan fungsi negara hanya sebatas pembuat regulasi. Negara tak boleh campur tangan dalam sistem pasar. Bahkan, negara berlaku sebagai sales ekonomi yang menjajakan kekayaan alamnya kepada pihak swasta. Satu per satu kekayaan alam Negeri Zamrud Khatulistiwa ini pun lepas ke tangan swasta, bahkan asing.
Ketidakmampuan dalam mengelola, perilaku korup para pejabat, dan adanya kesepakatan dengan negara pemberi utang menyebabkan kekayaan negeri ini tak mampu dinikmati oleh seluruh rakyatnya. SDA dikuasai segelintir orang yang punya kekuatan kapital sehingga rakyat hanya merasakan ampas-ampasnya. Sungguh miris! Negeri dengan sumber daya alam yang berlimpah, justru rakyatnya hidup susah. Ditambah lagi dengan pajak mencekik dan utang membelit yang harus ditanggung rakyat menjadikan kehidupan makin terpuruk.
Islam, Solusi Sempurna Menyejahterakan Rakyat
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kebebasan penuh terhadap individu menguasai sumber kekayaan negara. Islam memberikan batasan kepada individu untuk memiliki sesuatu. Tidak sembarang benda bisa dikuasai oleh pribadi atau swasta. Asing pun juga tidak diperbolehkan menguasai kekayaan alam dalam negeri sesuai yang ditetapkan oleh syariat.
Tiga hal yang menguasai hajat hidup masyarakat, yaitu api/energi, padang rumput/hutan, dan air tidak boleh dikuasai sendiri. Ketiganya merupakan milik umum yang harus dikelola sebaik-baiknya oleh negara untuk kepentingan rakyat. Negara akan memaksimalkan pengelolaannya supaya bisa memberikan maslahat bagi kehidupan. Seluruh kebutuhan rakyat bisa tercukupi dari hasil pengelolaan SDA yang dimiliki. Melimpah ruahnya kekayaan alam akan mampu memberi manfaat bagi setiap jiwa secara adil dan merata.
Maka, wajar ketika Islam diterapkan pada masa kejayaan Khilafah Islamiah, pendidikan dan kesehatan rakyat dapat diberikan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya. Setiap orang mendapatkannya dengan kualitas prima tanpa ada pungutan, premi ataupun ribetnya urusan administrasi.
Selain itu, negara juga memiliki pendapatan dari pos zakat untuk 8 golongan penerima yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Ada juga pos fa'i dan kharaj yang akan memberikan pendapatan kepada negara. Negara tidak perlu menerapkan pajak karena Baitulmal menyediakan anggaran yang cukup bagi seluruh rakyat. Negara juga tak akan menjadikan pajak sebagai sumber penerimaan utama negara seperti halnya dalam sistem kapitalisme.
Pajak hanya dipungut ketika kas Baitulmal benar-benar kosong. Kondisi ini pun sangat jarang terjadi di sepanjang masa kekhilafahan. Pajak yang diambil hanya dari kalangan orang kaya, tidak semuanya ditarik pajak sebagaimana di sistem kapitalisme sekarang ini.
Sungguh hanya dengan sistem Islamlah kita bisa keluar dari sempitnya kehidupan akibat penerapan aturan sekularisme kapitalisme. Hanya Islam yang terbukti secara empiris dan faktual bisa menciptakan kehidupan yang sejahtera dan makmur bagi setiap jiwa. Selama 13 abad penerapan sistem Islam, kebaikan dirasakan tidak hanya oleh kaum muslim, tetapi juga seluruh dunia. Sudah saatnya kita aruskan sistem terbaik ini agar umat semakin paham dan menyadari akan kebutuhannya terhadap aturan Illahi.
Wallahu a’lam bishshawwab
Oleh: Esti Dwi
Aktivis Muslimah
0 Comments