Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bacaleg Mantan Napi Korupsi, Hanya di Indonesia?


NewsTintaSiyasi.com -- Begitu banyak 'drama' politik dipertontonkan menjelang kontestasi pemilu 2024. Salah satunya adalah majunya puluhan mantan narapidana korupsi untuk dipilih sebagai calon legislatif 2024. Ada 52 caleg DPR dan 16 DPD yang berstatus mantan terpidana (kumparan.com, 27/08/2023).

Sebenarnya polemik majunya mantan napi sudah mengemuka sejak beberapa tahun lalu dengan merespons para Pemimpin Daerah yang mencalonkan dirinya kembali meski pernah atau sedang berperkara korupsi. Publik mempertanyakan realita seorang bupati yang dilantik dalam lapas. Peraturan KPU (PKPU) memang membatasi hak politik mantan terpidana. Namun pada 2018 MA merevisi ketentuan tersebut dengan alasan klise. HAM atau hak asasi manusia. 

Tentu, berbondong-bondongnya mantan napi korupsi ini dan alasan pembenarannya sulit diterima, bahkan menjadi keheranan publik yang kritis. Bagaimana mungkin sebuah jabatan atau kedudukan yang mewakili lebih dari 100 ribu rakyat dipegang oleh mantan napi? Di sisi lain, pekerjaan-pekerjaan lain menuntut catatan bersih lewat SKCK. 
Apakah ini only in Indoensia'? Atau potret memilukan dan mungkin memalukan ini adalah konsekuensi dari sistem itu sendiri? 

Konsekuensi Pahit

Demokrasi dianggap sebagai sistem politik terbaik manusia di tengah keberagaman, pluralitas suku, ras, dan agama. Selain  itu, demokrasi dianggap lawan dari sistem otoriter. Namun, menilik praktiknya, sistem demokrasi tidak bisa terlepas dari dominasi kekuasaan seorang atau sekelompok orang atau oligarki terhadap rakyat. Hal ini karena demokrasi meniscayakan biaya tinggi untuk pemilu setiap 4 sampai 5 tahun sekali. Kampanye membutuhkan dukungan modal dari para kapitalis, bahkan para kapitalis juga naik menjadi penguasa. Pemilik modal juga menguasai partai politik. Kekuasaan ada untuk melayani kepentingan pemodal. Termasuk mengutak-atik aturan tentang pencalonan sesuai mau pemilik modal. 

Bukankah mestinya rakyat memiliki prinsip dan moral? Prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat, meskipun dalam hal ini, rakyat direpresentasikan sekelompok wakil rakyat. Manusia lah yang membuat perundang-undangan dan hukum. 

Kedaulatan di tangan rakyat membuat nilai-nilai perbuatan: benar-salah, baik-buruk, terpuji-tercela, diserahkan pada manusia. Tidak ada standar kecuali prinsip relativisme dan kebebasan membuat aturan. Hukum dan aturan bisa berubah mengikuti kehendak dan selera. Nilai-nilai relatif itu membuat masyarakat cenderung individualis dan tidak peduli. Bahkan partai politik menjadi sangat pragmatis. Yang penting mereka masih menikmati manfaat. Jadilah kelompok pemodal leluasa mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan mereka. 
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam dimana prinsip utamanya adalah kedaulatan di tangan Syarak. Kekuasaan pada umat yang dialihkan pada pemegang jabatan khalifah, imam adalah dalam rangka melaksanakan syariat. Kekuasaan tidak tersandera oleh pemilik modal dan kekuatan modal mereka. Karena pada akhirnya penguasa dan rakyat harus taat pada syariat. 

Memang di dalam sistem pemerintahan Islam, memungkinkan perbedaan pendapat dan konflik politik atau kesalahan pelaksanaan. Karena yang menjalankannya adalah manusia yang berbeda kepala, tetapi bisa diatasi dengan prinsip mengembalikan setiap masalah pada ketetapan syariat. Kekuasan cenderung steril dari pragmatisme semua pihak, penguasa Islam cenderung amanah. Selain itu, partisipasi politik masyarakat cenderung tinggi dengan aktivitas dakwah politik dan amar makruf nahi munkar. Wakil umat dipilih untuk muhasabah pada penguasa dan mengajukan pendapat. Maka mereka haruslah orang yang taat pada syariat, berilmu, berani, dan peka pada umat. 

Adapun tentang kebolehan eks terpidana, pandangan Islam adalah memastikan mereka sudah menjalani sanksi. Misalnya mereka pernah mencuri, maka hukum syariat adalah potong tangan. Fungsi sanksi dalam Islam adalah sebagai jawazir (pembuat efek jera) dan jawabir (penebus dosa). Seorang yang sudah menjalani sanksi dianggap bersih. Namun untuk dipilih sebagai wakil umat, maka landasan pilihan umat haruslah berdasarkan kriteria syariat, bukan karena uang. 

Dengan demikian sistem Islam memberikan ketetapan dan nilai yang pasti terhadap perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Mari kita kembali pada hukum-hukum syariat secara menyeluruh, kaffah demi lurus dan berkahnya negeri tercinta ini.

Wallahu alam bis shawab.

Oleh: Harmiani Moidady
(Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan)

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments