TintaSiyasi.com -- Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanees Tuba Helan menilai, perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun berpotensi menyuburkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di desa."Masa jabatan seorang pejabat yang terlalu lama cenderung akan membuat seseorang merasa kedudukannya sangat kuat dan merasa berkuasa sehingga akan mendorong tumbuh suburnya praktik KKN karena berhasil membentuk suatu rezim selama berkuasa," katanya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) (Republika.co.id, 19/1/2023).
Ribuan kepala desa menggeruduk gedung DPR RI menuntut diperpanjang masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Alasan mereka meminta perpanjangan jabatan, karena enam tahun itu sangat singkat dan tidak cukup. Dua tahun untuk perkenalan warga dan empat tahun untuk konsolidasi dan persaingan partai. Jadi para Kades butuh perpanjangan jabatan untuk bekerja dan fokus memajukan desa. Jika pemerintah tidak mengabulkan tuntutan mereka maka mereka akan mengancam membunuh partai di pemilu 2023. Tentu ini menjadi dilema bagi partai jika tuntutan mereka tidak dipenuhi maka suara partai akan hilang dipemilu 2024 nanti dan jika dipenuhi tuntutan mereka maka partai menabrak aturan UU.
Dari sini terlihat kepentingan politik lebih kental dari pada kepentingan kesejahteraan rakyat, mereka menuntut perpanjangan jabatan sedangkan kinerja para Kades banyak yang mines dari prestasi dan cenderung banyak berurusan dengan KPK atas kasus korupsi dana desa, jika pemerintah mengesahkan UU perpanjangan jabatan tidak menutup kemungkinan akan marak praktek KKN dan mereka akan enggan untuk melepaskan jabatan karena sudah merasa kuat dan berkuasa.
Biaya pemilihan Kades yang cukup besar hingga mencapai ratusan juta dengan gaji sekitar 7 juta perbulan membuat mereka tidak puas jika hanya berkuasa 6 tahun. Enam tahun tidak mampu untuk mengembalikan dana yang mereka gunakan kampanye.
Biaya untuk berkuasa di alam demokrasi sangatlah mahal dan siapapun bisa terpilih tanpa memiliki kompetensi untuk memimpin, yang penting memiliki uang maka mereka bisa berkuasa. Kembali lagi rakyat yang akan menjadi tumbal kerakusan para penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya.
Di dalam Islam jelas pemimpin dipilih bukan karena harta dan kekuatan yang mereka miliki, tetapi karena kemampuan dan keimanan terhadapan Allah. Bahkan Islam menentukan syarat untuk calon pemimpin (Muslim, laki-laki, baliq, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan syariat Islam) dan jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugur kewajiban kaum muslim untuk memilih pemimpin.
Islam luar biasa menjaga supaya pemimpin amanah dalam menjalankan tugas. Maka dengan syarat-syarat tersebut menutup kemungkinan pemimpin akan zalim dan korupsi. Bahkan Rasulullah berdoa untuk para pemimpin :
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam. []
Oleh: Lutfiatul Khasanah
Pendidik
0 Comments