TintaSiyasi.com -- Saat ini Indonesia seolah tengah berada pada posisi darurat penculikan, sepanjang bulan Januari 2023 berita tentang penculikan anak kembali mewarnai media Indonesia, mulai dari berita penculikan si Malika di Jakarta Pusat, penculikan Fitriana di Cilegon, penculikan anak di Semarang bahkan berita penculikan dan pembunuhan di Makassar. Sehingga sederet berita ini telah berhasil membuat panik masyarakat Indonesia dan para Ibu pun menjadi resah atas keamanan anak-anaknya. Bagaimana tidak demikian? Seketika rasa ketidaknyamanan mulai muncul dan dirasakan oleh dominan masyarakat Indonesia sehingga bertambahlah jumlah permasalahan di celah hiruk pikuknya kehidupan yang serba sulit saat ini, baik di bidang ekonomi, pendidikan maupun pangan.
Beberapa tahun lalu, berita tentang penculikan pernah muncul di media sebelum wabah corona melanda Indonesia, setelah itu menjadi redup dan setelah wabah corona dinyatakan menghilang kasus penculikan kembali muncul ke permukaan. Di beberapa berita di media Indonesia, tidak sedikit anak-anak di bawah umur hampir menjadi dan diduga sebagai korban penculikan oleh oknum yang tidak dikenal. Sebagaimana di lansir di kompas.com (30 Januari 2023), bahwasanya terdapat seorang siswa kelas 3 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Baturetno Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang di duga hampir menjadi korban penculikan oleh orang tidak dikenal, korban di iming-imingi uang Rp. 50.000. Di Lampung juga demikian, terjadi percobaan penculikan anak di Dusun Karet 8, kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung Selatan, aksi tersebut gagal karena si anak berteriak setelah melihat terdapat anak lain di dalam mobil dalam keadaan terikat dan mulut tertutup (tribunnews.com, 31Januari 2023), dan masih banyak lagi kasus serupa yang bisa kita temui di berita-berita sosial media saat ini.
Menurut safeatlast, sekitar 8 juta anak diculik setiap tahun. Di seluruh dunia, angka pasti sebenarnya sulit diketahui mengingat banyaknya kasus yang sulit diketahui mengingat banyaknya kasus yang tidak dilaporkan di banyak negara (tirto.id, 5 Februari 2023). Sedangkan menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa penculikan anak makin marak, pada 2022 terdapat 28 kasus penculikan anak, angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan pada tahun 2021 (15 kasus) (cnnindonesia, 2 Februari 2023).
Apabila kita tengok lebih jeli lagi, sebenarnya apa motif penculikan ini terjadi dan menjadi marak di Indonesia? Bagaimana seharusnya masyarakat menghadapi perilaku kriminal ini? Lalu bagaimana peran negara sebagai benteng pertahanan kehidupan rakyat dalam menghadapi segala permsalahan terutama usaha menyelesaikan tindakan penculikan sehingga rakyat bisa hidup damai dan sejahtera?
Motif Penculikan
Menurut Kanti Rahmila Msi bahwa berbagai motif penculikan anak menjurus pada satu garis besar, yaitu kemiskinan. Sebagaimana dijelaskan olehnya tentang kasus di Makassar dilakukan oleh Remaja karena tergiur imbalan Rp. 1,2 miliar dari tawaran jual ginjal di media sosial, si korban dengan di iming-imingi uang 50.000 mau ikut saja dengan si pelaku, seperti halnya kasus penculikan di Jakarta dan Cilegon, dimana si anak diajak memulung dan mengemis, sekiranya pekerjaan mudah di dapat tenru saja “profesi” sebagai pengemis dan pemulung tidak akan digandrungi (www.muslimahnews.net, 05/02/2023).
Lain halnya menurut Nathalina Naibaho seorang pengajar Bidang studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) bahwasanya faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan, beliau mengatakan “Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksuak terhadap anak melalui child grooming adalah beberapa faktor lain yang mendorong teejadinya kasus penculikan anak.” (www.netralnews.com, 21/1/2023). Dengan kata lain, menurut Nathalina Naibaho bahwa selain faktor/motif karena ekonomi ada motif lain yang membuat orang melakukan penculikan yaitu motif balas dendam.
Sedangkan menurut Putri Aisyiyah Rachma Dewi sebagai Sekretaris Pusat study Gender dan Anak (PSGA) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) bahwa terdapat beberapa motif atau faktor terjadinya penculikan yaitu karena lengah/lemahnya pengawasan orang tua, lingkungan yang individualis sehingga kurangnya rasa kepedulian, kurangnya peran pemerintah dalam menciptakan keamanan, literasi digital yang kapasitasnya cukup mempengaruhi untuk berbuat kriminal, kondisi ekonomi yang buruk (www.tirto.id, 5/2/2023).
Dari beberapa pemaparan di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwasanya apa yang telah dijelaskan tentang motif yang memicu teejadinya penculikan atau faktor yang mempengaruhi terjadinya penculikan adalah berbagai hal yang pemerintah mampu menanganinya secara langsung jika bekerja secara maksimal untuk kemashlahatan umat atau kesejahteraan rakyat. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah (negara) yang berperan sebagai pihak pembuat kebijakan atau sebagai pihak pengayom, pelindung rakyat dalam menghadapi kasus penculikan yang terjadi di Indonesia?
Kebijakan Negara
Indonesia adalah negara Republik yang notabenenya menggunakan ideologi kapitalisme dengan berpegang pada asas sekularisme. Dua pandangan ini sebagai penyebab timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan rakyat, dan tengah merusak tatanan masyarakat. Bagaimana tidak, pada faktanya masyarakat Indonesia di fokuskan pada pola hidup yang matrealistis dan dalam pelaksanaannya mereka tidak mengikutsertakan agama sebagai tolok ukur dalam menjalani kehidupan. Sehingga, rakyat disibukkan dalam pencarian harta dunia dengan bebas, kerap tidak mempedulikan tentang akibat yang akan mereka lakukan yeesebut merugikan orang lain atau tidak, yang ada dalam pikiran mereka hanya terkait kepentingan mereka sendiri (individualis).
Selain itu negara seharusnya sebagai benteng pertahanan rakyat, malah menjadi pemicu berbagai masalah yang pada akhirnya membuat rakyat bukan makin sejahtera tetapi makin susah atas kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. Katakanlah masalah yang berkaitan dengan bidang ekonomi, sebarusnya negara memberi sarana dan prasarana terbaik untuk rakyat agar rakyat mempunyai kehidupan yang lebih baik, bisa mencukupi kebutuhan hidup dengan baik, tanpa ada kekurangan apalagi kehilangan kapasitas ekonomi mereka. Akan tetapi pada faktanya, negara mempersulit rakyat dalam meningkatkan kwalitas ekonomi mereka melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, dimana negara tengah melegalkan perusahaan untuk memberi upah yang sangat murah pada pekerja, negara melakukan korporasi untuk menguasai kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak rakyat tapi menjadi hak segelintir orang lewat UU Minerba, belum lagi tentang tidak jelasnya aturan pada perusahaan terkait mem-PHK pekerja. Beberapa hal tersebut sangat merugikan rakyat hingga mampu mengakibatkan bertambahnya angka kemiskinan dan timbulnya berbagai perilaku kriminalitas di Indonesia.
Dari segi pemahaman agama sebagai poros kepribadian manusia yakni dengan mempunyai ketakwaan terhadap Allah SWT. Sekiranya rakyat di-riayah oleh negara dengan baik dan benar terkait jati diri manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah di dunia ini, sebagai manusia yang mempunyai tujuan hidup yang jelas dan paham atas apa yang harus dilakukan serta tahu ke mana pada akhirnya kehidupan ini, tentu orang akan berpikir lagi sebelum melakukan kesalahan atau melakukan tindak kriminalitas karena mereka tahu bahwa dengan keimanan yang mereka miliki, Allah SWT sebagai Zat yang menciptakan dan mempunyai 99 nama baik (asmaul husna), Allah SWT pun telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya dan juga Maha mengampuni, sehingga mereka (rakyat) pun akan lebih bisa mengontrol diri dalam menentukan pola sikap terhadap sesama serta tidak melakukan hal-hal yang membuat Allah SWT murka.
Akan tetapi, di negara sekuler yang notabenenya memisahkan agama dengan kehidupan, jelaslah gambaran kehidupan seperti itu tidak akan ditemui. Sejak kecil rakyat yang lahir tidak mengenal agama secara utuh, yang mereka kenal hanya sebagian saja terkait ibadah shalat, sedekah, akhlak. Agama dikenalkan hanya sebatas sewajarnya. Di sekolah, pelajaran agama hanya sebagai pelengkap kurikulum, jika pun dihidangkan pelajaran agama tapi isinya kulit ari saja, tidak secara mendalam dan menyeluruh tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Jika demikian tidak mungkin akidah itu terbentuk dengan utuh dan tertancap kuat hingga mampu mencetak manusia yang berpikir cerdas, tangguh dan berakhlak mulia, selalu mengaitkan segala sikap dan pola pikir pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jadi suatu kewajaran jika rakyat di negara sekuler tidak paham tentang nilai-nilai ajaran Islam, seperti mencari nafkah harus dengan cara yang halal, sesama manusia harus saling menasehati, beekasih sayang dan berbagi, kewajiban negara adalah melindungi dan mengayomi rakyat agar hidup sejahtera dan lain sebagainya, kewajiban seorang ayah adalah menacari nafkah, fitrah seorang ibu adalah di rumah mendidik dan menjaga harta suami, dan lain sebagainya.
Jika membahas kebijakan negara, terkait dengan kasus penculikan bahwasanya payung hukum di Indonesia tidak menjerakan pelaku. Sebagaimana tertulis pada pasal 83 UU 23/2002 tentang perlindungan anak menegaskan bahwa pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan palong sedikit 3 tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp. 300 juta dan paling sesikit Rp. 60 juta. Dengan fakta yang demikian, apakah para pelaku penculikan akan jera?
Penerapan Syariat Islam
Negara yang menerapkan aturan selain dari Allah SWT peran negara yang harusnya sebagai regulator yaiti pembuat aturan, perisai (junnah) dan pengurus rakyat (raain) tidak akan terwujud, karena negara tidak meneraplan syariat Islam secara sempurna. Menurut Islam, negara sebagai garda terdepan dalam melindungi rakyatnya terlebih pada generasi muda sebagai tongkat estafet peradaban (kehidupan), sehingga negara akan melindungi mereka dari bahaya yang mengancam generasi dengan cara memberi pendidikan dengan pemahaman aqidah yang benar dan lurus, baik di sekolah maupun di dalam rumah dan lingkungan masyarakat dan mereka akan dijauhkan dari pengaruh kebudayaan serta pemahaman kufur serta pemikiran liberalisme, guna membentuk pola pikir, pola sikap serta kepribadian yang sesuai Islam dan sebagaimana Allah SWT menghendakinya.
Selain itu terkait perilaku kriminalitas, katakanlah yang marak saat ini adalah penculikan, maka negara akan memberikan sanksi yang menjerakan. Dalam Islam hukum terhadap penculik adalah takzir yaitu hukuman yang ditetapkan oleh khalifah, di mana hukuman tersebut tidak ada dalam Al-Qur'an dan As-0Sunnah atau tidak diatur dalam hudud. Jika sampai terjadi pembunuhan atau perusakan tubuh manusia, maka hukuman qisas yang akan diberikan.
Negara pun mempunyai kewajiban menyejahterakan rakyatnya secara keseluruhan, dengan menciptakan lapangan kerja bagi laki-laki yang fitrahnya adalah sebagai penanggung jawab keberlangsungan hidup keluarga, serta menjamin seluruh kebutuhan rakyta terkait sandang, pangan dan papan juga kesehatan, keamanan dan pendidikan. Dengan demikian, kasus penculikan yang marak di Indonesia ini akan selesai dan tisak akan muncul kembali jika syariat Islam diterapkan dalam kehidupan. []
Oleh: Suyatminingsih
Aktivis Muslimah
0 Comments