TintaSiyasi.com -- Belakangan ini, publik kembali dihebohkan dengan isu penculikan anak. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), sejak awal tahun 2023 tercatat ada 28 kasus penculikan anak, angka ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memandang isu ini cukup penting untuk meningkatkan kewaspadaan orang tua. Lain halnya dengan polisi di beberapa daerah yang menyatakan bahwa kasus penculikan anak itu hoaks.
Sekretaris Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UNESA, Putri Aisyiyah Rachma Dewi, S.Sos., M.Med.Kom., membeberkan faktor penyebab anak seringkali menjadi korban penculikan. Pertama, lemahnya pengawasan orang tua terutama ketika berada di luar rumah. Seringkali orang tua disibukkan dengan urusannya sampai kurang memperhatikan lingkungan bermain anak. Kedua, peran masyarakat yang belakangan ini didominasi dengan sikap individualis.
Tak hanya itu, motif lain penculikan adalah kemiskinan, sebagaimana kasus di Makassar yang menculik anak usia 11 tahun dan dan diambil ginjalnya karena tergiur imbalan Rp1,2 miliar. Nasib anak dalam sistem kapitalisme sangat memprihatinkan, anak rentan menjadi korban kejahatan karena kurangnya perlindungan dan keamanan. Padahal perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun aturan yang ada masih belum membuahkan hasil, kasus kekerasan bahkan penculikan terhadap anak masih terus menghantui. Hukum sanksi pun tidak membuat para pelaku jera. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan bahwa orang tua dan keluarga memperkuat pengasuhan terhadap anak agar anak tidak mencari kesenangan di luar tanpa pengawasan. Selain itu, jaminan keamanan negeri ini masih tergolong rendah.
Hal ini menjadi konsekuensi logis diadopsinya kapitalisme, yang melakukan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Penerapan kapitalisme telah gagal dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang luas, sehingga di tengah sempitnya perekonomian membuat ibu ikut mencari nafkah, akibatnya anak menjadi korban.
Selain itu, negara telah abai terhadap keamanan rakyat dan lemah sebagai pelindung rakyat. Kapitalisme membuat keamanan dapat diperjual belikan, artinya hanya orang-orang yang punya uang untuk bisa mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan.
Berbeda dengan sistem Islam yang hanya bisa diwujudkan dalam naungan khilafah. Islam memandang keamanan terhadap rakyat tidak sekadar tanggung jawab dirinya saja, melainkan menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana tertuang dalam Muqaddimah Dutsur Pasal 125: Seluruh kebutuhan pokok setiap individu masyarakat harus dijamin pemenuhannya per individu secara sempurna. Juga harus dijamin kemungkinan setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder semaksimal mungkin.
Kebutuhan pokok komunal bagi masyarakat meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Keamanan menjadi kebutuhan vital yang menyangga penyelenggaraan urusan negara dan rakyat. Bahkan eksistensi sebuah negara akan lenyap akibat ketidakmampuan menciptakan keamanan.
Pada saat Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat pindah ke Madinah, beliau terlebih dulu mengabarkan kepada mereka perlindungan dan keamanan di Madinah. “Sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan untuk kalian, saudara-saudara dan rumah yang kalian akan aman dengannya.” (Sirah Ibnu Hisyam, hlm. 468).
Khilafah juga akan memberikan hukuman takzir bagi pelaku penculikan, hukuman ini ditetapkan oleh khalifah. Dalam khilafah-lah keamanan akan tercipta dan kasus penculikan anak akan usai. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nabila Sinatrya
Aktivis Muslimah
0 Comments