TintaSiyasi.com -- Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung penuh dengan drama silih berganti. Dimulai saat awal proyek di 2015 diambil oleh China dari Jepang karena saat itu China dianggap mampu membangun proyek ini lebih murah dan mumpuni. Awalnya China merinci dana sebesar US$ 5,13 miliar atau Rp 76 triliun pada proposal awal, tetapi perlahan berubah menjadi US$ 6,071 miliar lalu melonjak lagi jadi US$ 7,5 miliar atau setara Rp 117,75 triliun (kurs Rp 15.700).
Untuk menambal kekurangan Indonesia mengajukan utang ke Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 550 juta atau Rp 8,3 triliun. Uluran tangan APBN yang menambahkan Rp 3 triliun tak cukup. Pada titik inilah Indonesia seolah kena prank. Sebab, proyek yang dijanjikan bakal murah, tetapi kini harganya mengalami kenaikan dan tidak sesuai dengan kesepakatan awal. (CNBCIndonesia.com, 15/02/ 2023)
Bengkaknya biaya KCBJ menunjukkan perencanaan yang tidak cermat dari pemerintah dalam membangun kerjasama dengan investor. Apalagi untuk proyek yang sejatinya bukan merupakan program prioritas dan bemanfaat untuk banyak orang ditengah ketiadaan dana negara.
Ditambah lagi utang seperti ini juga bisa membahayakan kedaulatan negara dimasa yang akan datang. Padahal, jika diperhatikan secara seksama masih banyak problem prioritas yang menanti solusi tuntas dari negara, seperti menuntaskan kemiskinan, stunting, rumah layak huni, bangunan sekolah, jalan dan masih banyak lagi.
Infrastruktur dalam sebuah negara merupakan organ vital yang harus dijadikan sebagai perhatian utama. Semua yang menyangkut fasilitas kepentingan umum wajib disediakan oleh negara. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana negara membangun infrastruktur berdasarkan skala prioritas dan kondisi keuangan.
Corak pemerintah yang selalu bergantung pada intervensi asing, menyebabkan negara akan selalu disetir oleh para kapital. Mega proyek yang pendanaannya didominasi oleh Kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) tentu merupakan ancaman serius.
Kerja sama dengan swasta akan mengancam kedaulatan negara. Para korporat tidak mungkin 'tulus' membantu tanpa embel-embel. Hal ini terjadi karena, lemahnya sistem perekonomian sebuah negara dan penerimaan kas negara yang hanya mengandalkan pungutan pajak tentu sulit untuk membangun infrastruktur yang mumpuni. (Narasipost.com, 19/10/2021)
Infrastruktur Dalam Pengelolaan Islam
Islam memiliki skala prioritas proyek pembangunan. Juga memiliki sumber dana yang luar biasa yang mampu menyokong proyek-proyek negara. Dengan demikian negara tak bergantung pada negara lain. Bahkan terlibat utang dengan riba, sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Islam mengatur seluruh pengelolaan SDA dengan sangat baik. Seluruh sumber daya alam harus dikelola oleh negara, tidak boleh dikelola oleh pribadi, swasta, apalagi asing. Seluruh hasil dari pengelolaan sumber daya alam disalurkan melalui baitul mall untuk selanjutnya dialokasikan keseluruh umat, untuk menunjang seluruh kebutuhan masyarakat umum maupun kebutuhan primer bagi masyarakat yang kurang mampu.
Dalam negara khilafah (daulah Islamiyah), infrastruktur adalah hak warga negara yang harus disediakan oleh negara. Ini mengacu pada kaidah syara, “suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib." Jadi, fasilitas pendidikan, kesehatan, sarana publik seperti jalan raya, stasiun, terminal akan dibangun untuk menunjang aktivitas rakyat.
Selain itu, satu-satunya sistem pemerintahan yang bertanggung jawab untuk mengurus seluruh urusan umat adalah institusi khilafah, sebagaimana yang diperintahkan dalam nash syar’i. Rasulullah SAW bersabda :
“Imam (kepala negara) laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya).” (HR.Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, mengurus dan memfasilitasi kehidupan rakyat adalah tanggung jawab khalifah. Allah SWT telah membuat seperangkat aturan paripurna dalam sistem negara Islam dan manusia hanya menjalankan saja tanpa perlu membuat aturan yang baru ataupun merubah aturan yang sudah ada.
Aturan ini mengatur seluruh aktivitas bernegara, mulai dari perekonomian, pendidikan, kesehatan, hingga peribadatan. Setiap warga negara akan mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara tanpa ada pembeda antara suku, status sosial, bahkan agama sekalipun.
Tak dapat dipungkiri bahwa membangun seluruh infrastruktur dalam sebuah negara memerlukan dana yang besar. Namun, hal ini bukan menjadi masalah yang berarti bagi khilafah dikarenakan keuangan negara diperoleh melalui banyak sumber pemasukan, di antaranya dari kepemilikan negara, kepemilikan umum, ghanimah, jizyah, fai', 'ushur, kharaj dan khumus.
Selain dana yang cukup, sistem pemerintahan Islam menjamin setiap pejabat menjadikan hukum syara sebagai tolak ukur setiap kebijakan. Hal ini secara tidak lansung meminimalisasi adanya abuse of power dan praktik KKN yang merugikan negara. Setiap pejabat yang diberi kekuasaan akan menjadikan jabatan sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak.
Hal ini bersandarkan pada hukum syariah yaitu sabda Rasullullah SAW. dalam sebuah hadis:
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR.Muslim).
Khilafah akan membangun infrastruktur berdasarkan skala prioritas. Semua infrastruktur yang menunjang aktivitas ekonomi rakyat menjadi prioritas utama. Sedangkan fasilitas umum yang bersifat tidak mendesak akan dibangun ketika semua fasilitas utama sudah dibangun dan keuangan negara dalam keadaan aman.
Beberapa bukti sejarah Islam yang begitu konsen terhadap infrastruktur yaitu pada masa Khilafah Umayyah, yakni khalifah Walid bin Abdul Malik yang pertama yang mendirikan rumah sakit di Kota Damaskus, Suriah pada tahun 707 M (88 H). Istimewanya rumah sakit ini didirikan oleh Walid bin Abdul Malik dengan kas negara dan memberikan pengobatan gratis bagi rakyatnya.
Pada infrastruktur pendidikan, pada masa Dinasti Abbasiyah, pada masa Khalifah Al-Muntansir Billah (1226 M – 1242 M) telah dibangun Universitas Al-Mustansiriyah di Baghdad. Perguruan tinggi ini tidak hanya fokus pada satu studi saja tetapi memiliki sekaligus empat bidang studi, antara lain ilmu Al-Qur’an, biografi Nabi Muhammad SAW, ilmu kedokteran dan matematika.
Pada infrastruktur lainnya, sejarah juga mencatat pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, yakni pada masa Khalifah Abdul Hamid II. Khalifah membangun proyek Hejaz Railway atau jalur kereta api Hijaz sepanjang 1464 km sebagai infrastruktur penunjang transportasi haji.
Jalur kereta ini menghubungkan antara kota Damaskus Suriah dan Madinah yang mampu memperpendek perjalanan dari 40 hari menjadi lima hari saja. Tidak hanya menyingkat perjalanan, kapasitas penumpang juga sangat besar untuk ukuran masa itu, yaitu mampu membawa 300 ribu jamaah dalam satu pemberangkatan.
Begitulah Islam yang membangun infrastruktur berdasarkan kepentingan rakyat, tanpa menyerahkan proyek tersebut pada swasta apalagi asing, melainkan menggunakan kas negara. Keberhasilan khilafah membangun infrastruktur ini masih bisa kita saksikan saat ini sebagai bukti kegemilangan peradaban Islam.
Keberhasilan umat Islam membangun peradaban yang mengungguli peradaban Barat tentu saja karena ideologi Islam diterapkan sebagai sistem bernegara. Khilafah membangun sistem perekonomian Islam yang mampu menopang aktivitas ekonomi umat.
Tidak ada sektor ekonomi non-riil apalagi sistem keuangan ribawi. Roda perekonomian berputar pada sektor riil yang mengalirkan kekayaan tidak hanya pada segelentir orang, tapi pada semua pelaku ekonomi.
Walhasil, keberhasilan sebuah negara membangun infrastruktur sangat tergantung pada konsepsi bernegara. Saatnya kita menjadikan negara Islam yang pernah dibangun Rasullullah SAW sebagai role model. Menjadikan akidah Islam sebagai landasan bernegara.
Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns.
Aktivis Muslimah
0 Comments