TintaSiyasi.com -- Sejak manusia dilahirkan, Allah sudah membekali dengan gharizah na'u. Yaitu naluri untuk mempertahankan jenis atau melestarikan keturunan. Salah satu bentuk dari gharizah na'u ini adalah naluri seksual.
Namun apa jadinya jika naluri seksual ini muncul pada anak-anak, sementara akalnya tidak cukup cerdas dengan tsaqafah islam sehingga tidak bisa menilai mana yang haram dan mana yang halal?
Sementara, sesuai fitrahnya manusia akan mencari cara untuk menyalurkan nalurinya. Sehingga tidak mengherankan jika angka kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak-anak pun semakin meningkat.
Salah satu kasusnya adalah kasus pemerkosaan bocah Taman Kanak Kanak (TK) di Mojokerto oleh 3 anak Sekolah Dasar (SD) yang terjadi diawal tahun ini. Korban disetubuhi oleh teman sepermainannya secara bergiliran. Selepas kejadian, Korban tidak menceritakan kepada orang tuanya. Namun salah satu teman Korban bercerita kepada pengaruh korban dan meneruskannya kepada orang tua korban. Dan hingga saat ini kasusnya ditangani oleh Polres Mojokerto. (liputan6.com, 20/1/2023)
Sementara itu, pada kalangan remaja pengajuan dispensasi nikah dini di KUA pun semakin meningkat. Yang menjadi alasan utamanya adalah karena hamil sebelum menikah. Dari total 176 anak yang diizinkan menikah dini di Ponorogo, ada 125 anak yang menikah karena hamil duluan, bahkan sebagian lain sudah melahirkan. Sedangkan 51 anak lainnya memilih nikah dini karena alasan sudah punya pacar dan memilih nikah daripada melanjutkan sekolah (detik.com, 17/1/2023). Naudzhubillah min dzalik.
Sungguh sangat miris kerusakan moral yang tengah terjadi pada generasi penerus kita saat ini. Bahkan sudah semakin tidak masuk di akal.
Naluri seksual pada anak-anak akan muncul jika mendapat stimulus dari luar. Stimulus ini dapat berupa tayangan-tayangan atau games yang menampilkan aurat tanpa malu; atau interaksi lawan jenis yang bukan mahram seperti bergandengan tangan, berpelukan bahkan berciuman. Atau bahkan dari konten-konten pornografi. Dan pada saat ini, konten-konten seperti ini dapat begitu mudah di akses, baik melalui media ibu maupun media sosial.
Disinilah seharusnya orang tua berperan aktif, terutama ibu. Karena ibu adalah _madrasatul ula_, sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ibu bersama dengan ayah menjaga, membimbing dan membekali anak-anak dengan akidah dan tsaqofah Islam. Sehingga setiap perilaku anak akan sesuai dengan syariat Islam. Anak akan memahami mana yang halal dan mana yang haram.
Namun karena faktor ekonomi, ibu pun dituntut untuk ikut serta mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sehingga tidak sedikit ibu yang mengesampingkan perannya sebagai madrasatul ula. Dampaknya adalah kontrol terhadap anak semakin kendur, dengan akidah yang juga semakin luntur.
Selain faktor ekonomi, faktor pendidikan pun harus bertanggung jawab atas kerusakan moral yang terjadi pada anak-anak dan remaja. Sistem pendidikan di negeri ini jauh dari akidah Islam. Meskipun tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan memiliki budi pekerti yang luhur, namun faktanya agama (Islam) justru dipisahkan dari kurikulum pendidikan. Hal ini sebagai bentuk penerapan dari sistem sekularisme pada dunia pendidikan.
Kurikulum pendidikan di negeri ini tidak menjadikan agama sebagai landasannya. Hal ini terlihat pada draft Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) yang lebih mengarusutamakan aspek pragmatis, yakni sekadar pertimbangan pasar dan ekonomi. Di mana yang menjadi pertimbangan utama penyusunan PJPN adalah perubahan teknologi, perubahan sumber-sumber ekonomi Indonesia, kondisi demografi Indonesia, serta kondisi pasar kerja dunia global. Dengan demikian, SDM yang akan dihasilkan adalah SDM yang nir moral. Sehingga tidaklah mengherankan jika anak-anak dan para pemuda perilakunya kelak tidak lagi memperhatikan standar agama (Islam) berupa halal dan haram.
Disinilah seharusnya negara mengambil perannya sebagai perisai yang melindungi rakyatnya melalui kebijakan-kebijakannya. Karena berlandaskan pada sistem kapitalisme liberalisme, kontrol negara terhadap media baik penyiaran maupun sosial menjadi lemah. Pada sistem liberalisme, setiap orang dianggap memiliki kebebasan untuk berekspresi dan menyuarakannya. Dan negara tidak boleh membatasi meskipun nilai-nilai yang ditampilkan jauh dari akidah Islam dan justru menggerogoti moral generasi bangsa.
Sungguh tampak jelas kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem bathil kapitalisme, sekularisme dan liberalisme. Sistem yang lemah dan penuh borok di dalamnya, sebagai hasil buatan manusia yang juga lemah dan penuh keterbatasan. Sistem-sistem ini hanya menghasilkan kerusakan dan kesengsaran pada manusia dan dunia. Dan sudah seharusnya umat kembali pada sistem yang hakiki, yang datang dari Allah SWT, yakni Islam.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam memberikan solusi yang mendasar dan tuntas melalui tiga pilarnya. Islam akan membangun ketakwaan individu melalui penerapan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga anak-anak dan remaja akan berkepribadian Islam dan berakhlak mulia. Sistem Islam akan menciptakan lingkungan yang kental dengan tradisi amar makruf nahi mungkar, sehingga kontrol masyarakat jika melihat kemaksiatan akan terjaga.
Negara Islam akan menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya, memastikan rakyat terpenuhi segala kebutuhannya. Sehingga para ibu dapat tetap menjalankan perannya sebagai madrasatul 'ula, tanpa terbebani untuk membantu mencari nafkah.
Negara Islam pun akan menegakkan syariat Islam secara kaffah. Negara Islam akan menghentikan peredaran pornografi dan pornoaksi, kemudian memberikan sanksi tegas kepada pembuat, pelaku dan pengedar konten pornografi dan pornoaksi. Yakni sanksi ta'zir berupa penjara selama 6 bulan. (Buletin Dakwah Kâffah Edisi 278)
Jika seorang anak yang belum mukalaf (akil, balig, dan punya daya pilih) melakukan kejahatan/kekerasan, hanya akan di-ta’dib dan orang tua akan ditakzir jika lalai. Jika seseorang sudah mukalaf, meski berusia di bawah 18 tahun, ia tidak lagi terkategori “anak” sehingga bisa dikenai sanksi hukum sesuai jenis kejahatannya.
Demikianlah Islam memberikan solusi terbaik melalui penerapan syariah Islam secara kâffah. Karena Islam bukan hanya agama, melainkan ideologi terbaik yang diturunkan oleh Allah SWT.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb
Oleh: Esti Budiarti
Aktivis Muslimah
0 Comments