TintaSiyasi.com -- Dalam Al-Qur'an Surat Ali-Imran ayat 97 yang artinya, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, bagi mereka yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari (kewajiaban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu).” Ibadah haji adalah salah rukun Islam yang wajib untuk dijalankan oleh umat Islam bagi mereka yang mampu dan tentunya menjadi sesuatu yang sangat dirindukan oleh umat Islam untuk dapat menginjakkan kakinya di tanah suci Makkah dan Madinah. Negeri yang menyimpan jejak kehidupan dan perjuangan Rasulullah dalam dakwah dan syiar Islam menjadi salah satu keinginan langkah kaki agar bisa berada disana ditambah Allah memberikan jaminan kebaikan bagi siapa saja yang mengunjuginya. Namun pada faktanya berangkat haji saat ini bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, banyak sekali yang perlu dipersiapkan salah satunya adalah finansial yang menjadi problematika bagi umat dan terus menjadi bahan polemik bagi penguasa negeri ini.
Dikutip dari CCNIndonesia.com (20/01/2023), pemerintah Indonesia memalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) jadi sebesar Rp69 juta yang melonjak hingga dua kali lipat dari tahun sebelumnya yakni Rp35 juta. Adapun alasan dibalik kenaikan tersebut adalah untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Menteri Agama Yaqut Cholil, beliau menilai pembebanan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) harus mengedapankan prinsip keadilan. Oleh karenanya pemerintah memformulasikan BPIH dalam rangka menyeimbangkan besaran beban jamaah dan keberlangsungan dana nilai manfaat dimasa depan. Selain itu, pemerintah juga memberi usulan agar biaya hidup (living cost) diberikan hanya sebesar 1000 riyal atau setara Rp4.080.000. Dimana angka tersebut justru menurun sebanyak 500 riyal dari tahun sebelumnya dengan alasan bahwa jamaah haji sudah menerima layanan akomadasi, konsumsi dan transportasi dari Arab Saudi, sehingga pemerintah mengurangi layanan living cost tersebut.
Kanaikan biaya haji ini juga menuai pro dan kontra sebagaimana yang dikutip dari tempo.co, Selasa (24/01/2023) ada beberapa pihak yang setuju dengan alasan menyesuaikan dengan prinsip istitha’ah (kemampuan berhaji dalam konteks biaya yang harus terukur untuk masa haji yang akan datang. Selain itu ada pihak yang menyatakan bahwa kenaikan tersebut wajar mengingat bahwa biaya transportasi dan pelayanan haji naik akibat turunnya nilai tukar Riyal Saudi Arabia (RSA) terhadap Dolar AS. Dan sabagian pihak lain menyebutkan bahwa kenaikan tersebut diusulkan karena adanya peruabahn skema presentase komponen Bipih dan Nilai manfaat. Sedangkan pihak kontra menyatakan bahwa usulan tersebut terlau dadakan dan sangat memberatkan jamaah haji, menurut beberapa pihak kenaikan tersebut akan merugikan pihak jamaah yang akan berangkat tahun ini dikarenakan mereka harus menyiapkan dana tambahan dalam waktu yang singkat. Pihak pengusaha travel juga menyampaikan bahwa banyak calon jamaah haji keberatan dengan usulan tersebut.
Sudah menjadi mindset yang telah tertanam dalam sistem kapitalisme pada negeri ini. Ibadah haji yang merupakan salah satu rukun islam yang wajib untuk dilaksanakan justru menjadi persoalan bagi jamaah yang sudah mampu untuk menjalankannya dikarenakan adanya penambahan biaya dan akan menjadi harapan yang semu bagi orang yang ingin berhaji tapi belum mampu.
Begitu carut-marutnya polemik terkait biaya perjalanan haji yang terus dinaikan setiap tahunnya. Hal terjadi karena negeri ini yang masih menganut asas kapitalisme di mana dari asas inilah terlahir penguasa yang lebih mementing ekonomi daripada penyelenggaraan ibadah. Di tengah persoalan negeri yang belum mampu untuk diselesaikan penguasa negeri ini justru menambah masalah baru yang seolah dianggap solusi nyatanya gagal dalam membantu umat negeri ini.
Kapitalisme memang peradapan yang tandus dan gersang akan nuasa relegiusitasnya. Di mana usulan kenaikan biaya haji ini bukanlah berorientasi pada Ketuhanan melainkan hanya materi semata yang terus dikejar meskipun berbagai pihak menentang jika ini menguntungkan mereka maka mereka akan abai akan persolan tersebut. Inilah tabiat kapitalisme yang mengandalakan keterbatasan akal yang membuat masyarakatnya kesulitan dalam berbagai hal termasuk ibadah yang dijalankan oleh umat Islam itu sendiri
Terlihat jelas bagaimana kapitalisme dalam melayani dan mengurusi ibadah umat Muslim hanya sekadar berorintasi ada materi dan bisnis. Berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh negara Islam yakni khilafah, di mana pemimpin atau khalifah dalam membuat kebijakan sangat memperhatikan kemudahan bagi rakyatnya termaksud dalam ibadah haji.
Dalam negara khilafah terdapat prinsip dasar yang mengatur masalah manajerial dimana didalam kitab Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Ajhizah ad-Daulah Khilafah menyebutkan prinsip tersebut haruslah basathah fi an-nizham (sistem yang sederhana), su’ah fil al-injaz (eksekusi yang cepat) dan haruslah dilakukan oleh orang yang berkompeten.
Negara khilafah dalam menjaga ibadah haji umat Muslim juga akan menyediakan departemen-departemen khusus yang mengurusi ibadah haji mulai dari pelayanan, administrasi hingga kenyamanan jamaah haji dalam beribadah. Departemen haji juga akan menjalin hubungan dengan departemen-departemen lainnya seperti departemen kesehatan, transportasi massal hingga infrasturktur. Selain itu, ibadah haji tidak dijadikan sebagai ladang bisnis sebagaimana yang dilakukan oleh sistem kapitalisme. Untuk biaya akan disesuaikan dengan jarak yang ditempuh oleh jamaah haji ke kota Makkah-Madinah, khilafah juga menyediakan perjalanan haji baik dari darat, laut maupun udara yang ongkos atau biayanya akan disesuaikan tanpa memberatkan para jamaah haji. Inilah gambaran pelayanan yang diberikan oleh Khilafah kepada umat muslim dalam perkara ibadah yang tidak akan pernah kita dapatkan dalam sistem manapun apalagi kapitalisme saat ini.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Sintia Wulandari
Aktivis Muslimah
0 Comments