TintaSiyasi.com -- Kaum "pelangi" dewasa ini dirasa makin meresahkan. Seolah menambah masalah baru di negeri ini, bukan hanya hubungan lawan jenis saja yang patut diperhatikan namun sesama jenis pun kudu lebih diwaspadai. Mengingat kampanye LGBT yang makin hari makin masif digencarkan.
Desember lalu, AS berencana akan mengirim Jessica Stern, utusan khusus untuk memajukan hak asasi kaum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, Intersex dan lainnya (LGBTQI+) ke Indonesia. Dalam jadwal semula, Jessica akan berkunjung ke Vietnam mulai 28 November-2 Desember 2022; Filipina dari 3-6 Desember 2022; dan Indonesia pada 7-9 Desember 2022. Namun, kunjungan tersebut batal seturut penolakan sejumlah Ormas Islam di Indonesia.
Dikutip dari Republika.co.id, Dewan Pimpinan Pusat Advokat Persaudaraan Islam (DPP API) mengkritisi lemahnya Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) baru dalam melarang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). DPP API menyarankan ada Undang-Undang (UU) tersendiri guna mencegah LGBT. DPP API menganalisa hanya dua pasal yang berpotensi menjerat LGBT di KUHP baru yaitu Pasal 414 dan Pasal 411 ayat (1). Namun kedua pasal itu memang tak mengatur khusus soal LGBT karena berlaku umum.
KUHP yang disahkan DPR pada 6 Desember 2022 memang tak secara khusus mengatur ancaman pidana terhadap orientasi seksual sesama jenis. Teruntuk pasal 414, pasal tersebut dianggap lemah oleh DPP API karena hanya menyatakan hubungan di depan umum, dengan kekerasan, dan dipublikasikan dengan muatan pornografi.
Lalu, dalam Pasal 411 ayat (1) berpotensi menjerat LGBT. Namun, ancaman pidana itu baru bisa diterapkan kalau ada pihak yang mengadukan atau karena pasal ini bersifat delik aduan. Adapun ancaman pidana penjaranya paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. "Pasal itu juga tidak kalah banci karena selain ancaman hukuman hanya setahun, ini juga delik aduan dari orang tua atau anak," ucap Advokat dari DPP API, Aziz Yanuar, Ahad (8/1/2023).
Larangan perbuatan cabul, baik sesama jenis maupun berbeda jenis di dalam KUHP baru bisa diperkarakan apabila dilakukan karena adanya unsur pemaksaan. Padahal tindakan LGBT dilakukan dengan dasar suka sama suka atau saling rela. Atas dasar itulah, Chandra Purna Irawan selaku Ketua LBH Pelita Umat pun turut menyesalkan tidak adanya larangan tegas di dalam KUHP terkait perbuatan asusila dan tidak sesuai dengan norma kesusilaan seperti LGBT. Chandra menyarankan agar pengaturan terkait larangan LGBT muncul di undang-undang (Repulika.co.id, 22/1/2023).
Perilaku penyimpangan orientasi seksual memanglah masih menjadi polemik di negeri ini. Di sisi lain, para aktivis LGBT kini telah menyasar berbagai platform media sosial bahkan dunia perfilman. Jika sebelumnya para pelaku LGBT selalu menyembunyikan aktivitas mereka, kini mereka telah berani mempertontonkan bahkan mengampanyekan perbuatan mereka agar perilaku mereka mendapat pengakuan publik dan dianggap wajar. Mereka berlindung di bawah nama HAM agar mendapat legalisasi dari pemerintah.
Hal ini terus meningkat seiring dengan momen pandemi yang mengakibatkan meningkatnya penggunaan teknologi terutama sosial media secara tajam. Saat ini, diketahui sudah lebih dari 30 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Pada umumnya, adalah negara-negara yang terpengaruh paham liberalisme Barat. Dengan dukungan demokrasi, tingkah laku mereka makin menjadi.
Absurditas Demokrasi
Di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi, kaum pelangi tidak hentinya diberikan panggung eksistensi. Lihatlah bagaimana Lucinta Luna viral karena oplas transgendernya, sehingga pelaku sejenisnya ikut eksis menunjukkan keberadaannya. Lalu, salah satunya podcast DC yang sempat menjadi pro kontra tempo hari lalu. Mengundang pasangan gay, Ragil asal Indonesia yang telah menikah dan menetap di Jerman. Tidak hanya kontennya yang berani, judulnya pun tak kalah provokatif. “Tutorial Menjadi Gay di Indonesia!” seolah menantang publik di negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Bahkan Menko Polhukam, Mahfud MD, dalam cuitannya merespon pernyataan Said Didu di akun Twitter pada Rabu (11/5), menyebut bahwa pihak yang menayangkan konten dan pelaku LGBT belum dilarang oleh hukum di Indonesia. Mahfud bahkan mempertanyakan undang-undang nomor berapa yang dapat menjerat DC dan pelaku LGBT atas konten tersebut?
Absurd demokrasi kian nampak. Ide sesat kaum pelangi yang merusak fitrah justru dipromosikan atas nama kebebasan berekspresi. Paradigma demokrasi yang mengagungkan liberalisme, nyata mengantarkan manusia bebas menuruti hawa nafsunya, termasuk bebas menikah dengan sesama jenis. Naudzubillah min dzalik.
Podcast DC adalah isyarat kecil yang sesungguhnya harus dipahami bangsa ini, bahwa ada bahaya besar yang mengancam di tengah paham demokrasi yang rusak. Di satu sisi, memberikan kebebasan luar biasa kepada liberalisme, bahkan sampai pada tingkat menuhankan kehendak rakyat. Tapi di sisi lain, begitu membenci para aktivis yang vokal menyuarakan Islam. Mereka akan langsung dicap sebagai radikal dan intoleran. Barat tak ingin umat sadar bahwa Islamlah jawaban atas segala problematika yang ada.
Islam Menjaga Fitrah Manusia
Manusia fitrahnya adalah hidup berpasangan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surah Ar Rum ayat 21 yang artinya: "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang."
Perbuatan liwath (homoseksual) jelas menyalahi fitrah. Rasulullah bersabda, "Sungguh yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth." (HR Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam pandangan Islam, perbuatan ini dikategorikan sebagai dosa besar. Perbuatan keji yang dilaknat oleh Allah SWT. Bahkan karena perbuatan ini, Allah SWT meluluhlantakkan kaum Nabi Luth as. (QS. Hud [11]: 82).
Keseluruhan sifat buruk kaum sodom menunjukkan bahwa mereka sudah rusak akal dan jiwanya, karena Allah telah menghimpun tiga sifat mereka dalam Al-Qur'an; melampaui batas, menyalahi fitrah, dan kebodohan. Mereka tidak mengerti bahaya perbuatan terkutuk itu dan dampaknya terhadap reproduksi manusia, kesehatan, akhlak dan etiket umum dan beragam kemunkaran yang lahir darinya. Mereka pun sudah kehilangan rasa malu dan akhlak yang mencegah diri dari perbuatan keji.
Sebagai upaya preventif terhadap tindakan keji ini, Islam pun secara tegas mengancam para pelakunya dengan sanksi keras, yakni hukuman mati. Sebab tanpa adanya sanksi tegas, para pelaku liwath ini tidak akan pernah jera. Sanksi ini sebagaimana dalam sabda Rasulullah, “Siapa saja yang menjumpai kaum yang melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah pelaku maupun pasangannya.” (HR. Abu Dawud).
Bagi kita yang hari ini tengah digencar oleh berbagai kemaksiatan yang nyata, tidak ada pilihan lain kecuali kembali kepada sistem Islam dengan penerapan syariah secara kaffah. Hukum syariahlah yang akan dijadikan tolak ukur, yang halal diperbolehkan sedang yang haram apa pun bentuknya itu dilarang. Sehingga segala tindak tanduk perilaku kita itu berdasarkan kepada wahyu bukan nafsu.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Purnamasari
Aktivis Muslimah
0 Comments