Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berantas Virus Perselingkuhan dengan Penerapan Islam Kaffah


TintaSiyasi.com -- Tidak ada manusia yang suka perselingkuhan, apalagi yang menjadi korbannya. Kasus perselingkuhan selalu menjadi bahan yang ramai diperbincangkan. Apalagi jika menerpa publik figur, dapat dipastikan menjadi headline di mana-mana.

Perselingkuhan kini menjadi fenomena. Indonesia menjadi negara kedua di Asia yang terbanyak terjadi kasus perselingkuhan berdasarkan hasil survei aplikasi Just Dating. Sementara Thailand menduduki peringkat pertama negara di Asia yang banyak kasus perselingkuhan.

Sebanyak 50 persen responden mengaku pernah berselingkuh dari pasangannya masing-masing. Untuk Indonesia hasil survei menunjukkan sebanyak 40 persen mengaku pernah menyelingkuhi pasangannya (tribunnews.com, 18/02/2023).

Di tingkat dunia, Indonesia menempati posisi keempat setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Berdasarkan survei yang dilakukan tentang perselingkuhan di Amerika Serikat, setengah dari orang yang sudah menikah berselingkuh setidaknya satu kali selama pernikahan (pikiranrakyat.com, 17/02/2023).

Miris tentunya, jika negeri kita tercinta justru mendapatkan capaian yang tidak bisa dibanggakan. Ini tidak bisa dipandang hanya sebatas masalah domestik yang orang lain atau negara perlu campur tangan di dalamnya. Masalahnya, perkara ini adalah tentang bagaimana peran individu, masyarakat dan negara berkontribusi dalam perannya masing-masing untuk membangun ketahanan keluarga, yang merupakan tempat terbangunnya generasi pembangun peradaban bangsa kedepannya.


Lagi, Kisah Layangan Putus

Sempat viral kisah layangan putus. Satu di antara kisah dugaan perselingkuhan yang dilakukan seorang suami terhadap isterinya. Banyak faktor penyebab maraknya perselingkuhan, di antaranya:

Pertama. Faktor internal seperti minimnya komunikasi dengan pasangan, kurangnya rasa percaya yang semuanya bermuara dari lemahnya pegangan terhadap akidah dan kurangnya ilmu. 

Kedua. Faktor eksternal juga besar pengaruhnya, seperti gaya hidup liberal dan hedonis. Pola pergaulan dan lingkungan yang tidak terjaga, misalnya lingkungan kerja. Kedekatan, sering bersama, dan daya tarik karena naluri yang tidak mampu dikontrol. Maka betapa sering ditemui kasus perselingkuhan dalam lingkungan kerja.

Peran media yang menampilkan banyak tayangan yang mengumbar aurat, gaya hidup mewah, dan sebagainya yang mampu mempengaruhi daya pikir seseorang hingga muncul keinginan untuk mendapatkan hal-hal demikian, hingga mengikis rasa syukur pada apa-apa yang telah Allah SWT anugerahkan kepadanya. Hingga pudarlah rasa cinta terhadap pasangan yang telah sah baginya, tergantikan sosok yang baginya mampu memenuhi hasrat dunianya.

Sistem kehidupan yang tidak berlandaskan dari akidah Islam terbukti telah merusak moral manusia yang hidup di dalamnya. Sekularisme yang menjadi asas kapitalisme yang diterapkan saat inilah yang menjadi akar lahirnya pola pikir dan gaya hidup penuh kebebasan, mengejar kesenangan dunia, menomorsekiankan akidah dan aturan syariat.


Islam, Harapan bagi Terbangunnya Keluarga Harmonis

Dalam Islam, menikah merupakan perkara yang besar, akadnya pun disaksikan oleh para malaikat, bahkan diistilahkan dengan sebutan mitsaqan ghaliza (perjanjian yang kuat).

Bahkan di beberapa kajian fikih, berkaitan dengan pernikahan, ada yang mengkhususkan bab dengan nama bab an-Nikah, maupun kitab tersendiri yang bernama Fiqhul Munaqahat, karena besarnya kepedulian Islam terhadap masalah ini. 

Harapan terbangun keluarga yang harmonis setelah pernikahan pastilah impian semua orang. Namun tak cukup hanya dibebankan pada individu keluarga, diperlukan juga peran masyarakat dan negara.

Pada tataran individu, ketakwaan adalah bekalnya. Individu yang takut dan taat kepada Allah SWT akan menjaga dirinya dari perbuatan yang mendekati zina. Ia akan menjaga matanya, tidak berkhalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahram), pun para wanitanya tidak bertabarruj (berdandan menor) yang mengundang perhatian. 

Seorang suami yang bertakwa akan memperlakukan istrinya dengan cara yang baik. Istri yang taat pada Allah akan senantiasa memenuhi hak-hak suaminya dengan baik, bersolek hanya untuk suami, tidak mudah mengumbar aib rumah tangga.

Masyarakatnya juga tidak takut untuk beramar makruf nahi mungkar. Tidak diam saat ada kemaksiatan, semisal melihat seseorang yang sedang berduaan dengan yang bukan mahramnya, bukan justru membiarkan bahkan memaklumi.

Demikian pula peran pemimpin yang taat akan menjalankan syariat Islam, menutup celah terjadinya perselingkuhan termasuk menutup tempat hiburan malam dan memberi sanksi pelaku zina sesuai syariat Islam.

Adapun sanksi jika terjadi perselingkuhan hingga perzinaan, Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabâirnya memasukkannya dalam urutan dosa besar nomor sepuluh. Disebut dosa besar karena terdapat ancaman atau sanksi yang berat baik di dunia dan atau di akhirat. Jika pelaku zina bertaubat di dunia dan disanksi menurut syariat Islam maka dosanya diampuni dan tidak mendapat siksa di akhirat. 

Namun jika pelaku zina tidak bertaubat dan tidak disanksi dengan hukum Islam maka ia mendapat siksaan yang pedih di akhirat. Ulama ahli fikih (fuqaha) membagi pelaku zina menjadi dua, penzina muhshan (yang telah pernah menikah) dan ghairu muhshan (belum pernah menikah). Bagi penzina muhshan sanksinya di dunia adalah dirajam hingga mati. Teknisnya tubuhnya dibenamkan ditanam setengah bagian, lalu dilempari dengan batu hingga mati, dan pelaksaan eksekusinya dilakukan di tempat ramai.

Dalil mengenai sanksi ini adalah sejumlah hadis, di antaranya hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya berkaitan pengakuan seorang wanita dari Suku Juhainah. Sedangkan bagi penzina ghairu muhshan sanksinya adalah dicambuk sebanyak 100 kali. Dalilnya adalah Al-Qur'an surah An-Nur ayat 2. Jika pelakunya tidak bertaubat di dunia akan siksaan di akhirat berupa siksaan yang dilipatgandakan sebagaimana Allah SWT nyatakan dalam surah Al-Furqan ayat 68-70.

Jika ketiga unsur ini berjalan sebagaimana dijelaskan di atas, maka perselingkuhan tidak akan menjamur sebagaimana sekarang. Ini semua kembali kepada satu perkara besar yang menjamin berlangsungnya ketiga unsur tadi, yakni dari sisi individu, masyarakat, dan negara, adalah dengan diterapkannya aturan Islam yang sempurna.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Linda Maulidia, S.Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments