TintaSiyasi.com -- Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi digital termasuk dalam sektor keuangan, melahirkan metode baru dalam pembayaran yang disebut dengan paylater atau bayar nanti. Fitur ini sangat memudahkan sebagian orang yang ingin membeli barang sebelum mereka memiliki uang, pembayaran dapat dilakukan belakangan layaknya menggunakan kartu kredit.
Produk dari fintech ini menawarkan kemudahan mendapatkan pinjaman atau berutang untuk membeli barang yang diinginkan secara cepat dan instan. Namun, di balik kemudahan tersebut belum adanya regulasi yang mengikat dari pemerintah sehingga dapat memunculkan dampak negatif yang menghantui dan bersifat jangka panjang.
Dikutip dari republika.co.id (15/11/2022), Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia (Redaxi), Irmawati Puan Mawar, menjelaskan skema paylater mirip dengan kartu kredit yang memberikan batas berbelanja. Namun, skema ini memberikan jaminan yang lebih rendah dari kartu kredit sehingga mampu menarik minat konsumen.
Dengan segudang kemudahan yang ditawarkan menjadikan paylater banyak diminati masyarakat termasuk kaula muda. Sistemnya yang mudah dan dapat diakses secara digital membuat gaya hidup generasi muda lebih efektif. Tidak heran, jika banyak pemuda yang mengajukan paylater padahal belum memiliki pendapatan.
Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021, menunjukkan bahwa jumlah pelanggan baru paylater meningkat sebesar 55% selama pandemi. Hanya saja pengguna fitur paylater gagal bayar acap kali berulang terjadi. Sebagai contoh, pengguna media sosial Twitter sempat membagikan tangkapan layar yang menunjukan tagihan paylater yang membuatnya merasa sesak membayar.
Data OJK menunjukan bahwa karakter pengguna yang kesulitan membayar tunggakan kredit menjadi makin muda. Selain itu, kredit macet paylater juga telah mencapai 7.61% pada September lalu.
Menurut Indef sendiri, kasus-kasus pinjaman macet makin banyak terjadi pada pengguna berusia di bawah 19 tahun yang belum berpenghasilan. Proses pengajuannya yang mudah serta persyaratannya yang minim membuat banyak orang dapat lolos, meskipun realita profil keuangannya sebetulnya tidak layak untuk diterima.
Peneliti Indef, Nailul Huda, dalam bbc.com, 29/12/2022, menyatakan bahwa Gen Z sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi dan cenderung memilih fasilitas kredit melalui platform online seperti paylater dibandingkan dengan kredit perbankan. Menurutnya pula, penyaluran kredit jenis ini pun banyak tertuju pada sektor konsumtif seperti pembelian gawai, fashion, dan lain-lain.
Entah disadari atau tidak gaya hidup hedonisme dan konsumtif telah melanda generasi muda saat ini. Di sisi lain konsumerisme dan hedonisme tersebut telah dimanfaatkan oleh rentenir gaya baru untuk menjerat mangsa.
Kemudahan akses dalam meminjam uang membuka peluang bagi generasi untuk memenuhi keinginannya demi gaya hidup ala Barat. Parahnya negara terkesan memfasilitasi jeratan haram tersebut dengan berbagai dalih seperti alasan terdaftar di OJK, bunganya yang rendah, dan tanpa syarat penghasilan. Alhasil, pinjaman berbunga melalui paylater dianggap sebagai hal yang biasa. Padahal faktanya jeratan menggurita ini akan membahayakan masa depan pemuda.
Tentunya hal seperti ini akan berbeda jika hidup di bawah naungan Islam. Terjebak paylater tidak akan terjadi, karena pemuda akan terhindarkan jebakan yang membahayakan ini. Pemuda terjaga keimanan dan terjamin kehidupannya sehingga aman dari godaan gaya hidup Barat.
Sistem yang diterapkan hari ini telah menjadikan para pemuda muslim menempatkan standar kebahagiaan pada materi semata. Alhasil, mereka berlomba-lomba untuk membeli barang bermerek atau trendi demi memenuhi keinginannya mengejar standar fashion hari ini, tanpa melihat cara yang ditempuh apakah halal atau haram.
Oleh karena itu, penerapan kapitalisme ini hanya mencetak generasi hedonis dan konsumtif yang menjadi persoalan utama. Budaya konsumtif berujung pada praktik riba ini, sebenarnya mudah diberantas dengan sistem yang benar dan sahih. Karena sesungguhnya bunga dalam pembayaran paylater adalah riba, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:
ÙˆَاَØَÙ„َّ اللّٰÙ‡ُ الۡبَÙŠۡعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ الرِّبٰوا
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Sebab dalam paradigma Islam nantinya akan dibentuk pemuda dengan iman dan takwa melalui sistem pendidikan Islam yang berbasis pada akidah, maka individu akan dididik agar memiliki kepribadian yang mencerminkan Islam sehingga melahirkan pola pikir dan pola sikap yang islami pula.
Individu dan rakyat akan dibina berdasarkan gaya hidup yang tertera didalam syariat. Membeli barang sesuai dengan kebutuhan dan tidak membeli barang sia-sia yang hanya menumpuk tanpa manfaat. Tidak akan ada perilaku konsumtif untuk foya-foya hanya demi eksistensi diri dan pengakuan. Sebab, nantinya mereka akan paham bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan.
Hal ini dapat terjadi karena negara menerapkan sistem ekonomi yang layak yaitu sistem ekonomi Islam, yang akan mampu melindungi rakyatnya dari praktik riba dan akan menjauhkan segala hal yang berbau riba baik dalam lembaganya, pekerjaannya, maupun aplikasinya sehingga tidak memberi peluang sedikit pun akan adanya praktik riba.
Di samping itu, negara dalam sistem Islam juga akan menjamin kesejahteraan kepada rakyat dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok, meliputi sandang, pangan, dan papan. Rakyat tidak akan takut kesulitan dalam membeli segala kebutuhan pokok, karena negara akan menyediakan lapangan kerja bagi pencari nafkah.
Dengan begitu masyarakat akan mampu hidup sejahtera tanpa harus menyentuh hal-hal yang berbau riba, cukup dengan pengaturan yang sahih dan layak ditegakkan yaitu aturan Islam. Pemuda tidak perlu lagi repot mengikuti gaya hidup barat, tetapi akan fokus pada pendidikan yang berkualitas sehingga mampu menjadi tombak peradaban di tengah umat.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Fajrina Laeli, S.M.
Aktivis Muslimah
0 Comments