Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sertifikasi Halal Adalah Kewajiban Negara, Jangan Dikapitalisasi


TintaSiyasi.com -- Produk-produk yang tidak mengantongi sertifikat halal akan dikenai sanksi di tahun 2024. Hal ini ditegaskan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama. Produk-produk ini akan ada masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal yang akan berakhir 17 Oktober 2024.Setelah ini, semua produk harus bersertifikat halal. Bagi yang belum bersertifikat halal akan dikenai sanksi. Sanksi yang diberikan bisa berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran sesuai dengan PP Nomor 39 Tahun 2021.

Berdasarkan UU Nomor 33 tahun 2014 beserta turunannya, ada 3 produk yang harus mendapatkan sertifikasi halal yaitu makanan dan minuman; bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong; produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Selama masa penyesuaian, pemerintah membuka fasilitas Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) untuk produk satu juta UMK. "Ini harus dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Sehati kita buka sepanjangan tahun bagi UMK yang mengajukan sertifikasi dengan mekanisme pernyataan halal pelaku usaha (self declare)," ujar Kepala BPJPH, Kemenag Aqil Irham di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).

Pelaku usaha yang mengurus permohonan sertifikasi halal dengan mekanisme reguler akan dikenakan tarif layanan. Tarif tersebut terdiri dari komponen biaya pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH, penetapan kehalalan produk oleh MUI, dan penerbitan sertifikat halal. Sebagai gambaran, total biaya bagi usaha menengah produk makanan dengan proses/materiel yang sederhana adalah sekitar 8 juta rupiah (Kemenag, 13-3-2022). 

Penetapan peraturan tarif layanan dianggap merupakan wujud komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian tarif serta tranfaransi biaya layanan sertifikasi halal di seluruh Indonesia. Pemerintah beranggapan program ini merupakan komitmen untuk hadir dalam memberikan kenyamanan, keamanan, dan kepastian atas ketersediaan produk halal untuk seluruh masyarakat Indonesia. 

Kapitalisme yang diterapkan saat ini menjadikan sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi yang sudah ditentukan biayanya. Inilah watak kapitalisme yang selalu saja memalak rakyat dengan berbagai cara. Tentu saja ini berbeda dengan sistem pengurusan rakyat dalam negara Islam. 

Dalam Islam setiap individu Muslim diperintahkan Allah untuk memproduksi dan mengkonsumsi produk halal. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 168:

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu." 

Maka setiap individu harus memastikan produk yang ia konsumsi adalah produk yang halal. Tentu saja untuk memastikan sebuah produk halal atau tidak, tidak bisa hanya dalam tataran individu semata. Ini juga membutuhkan peran masyarakat dan negara. Terlebih peran negara mengambil bagian yang penting. Oleh karena itu seharusnya negara hadir sebagai penjamin dari sertifikasi halal pada produk-produk yang dikonsumsi umat.

Negara berperan dalam memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang sudah teruji halal. Dengan begitu akan ada rasa tenang di kalangan kaum Muslim karena ada jaminan bahwa semua produk yang beredar adalah produk yang halal. Bentuknya bisa dengan negara memberikan sertifikat halal secara gratis kepada rakyatnya. Karena hal ini termasuk mengurusi urusan rakyat. 

Langkah berikutnya negaralah yang secara aktif mengawasi setiap produk yang beredar di masyarakat. Dan memastikan hanya yang halal saya yang beredar. Tugas rakyat adalah membuat produk halal sedangkan yang mengawasi adalah negara. []


Oleh: Salma Shakila
Analis Muslimah Voice
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments