TintaSiyasi.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan seorang hakim terkait suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Hal ini menambah daftar panjang hakim yang melakukan tindak pidana korupsi dan suap yang sepertinya sudah menggurita di lembaga peradilan tanah air. Apalagi sebagaimana yang dilansir Kompas.com (19 Desember 2022), menurut Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri, tersangka baru ini merupakan hakim yustisial atau hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding yang ditugaskan pada Mahkamah Agung (MA) atau pengadilan tingkat banding.
Ternyata menurut data.co.id (27 September 2022), isu korupsi yang menerpa lembaga peradilan ini bukan pertama kalinya terjadi. Berdasarkan data KPK, selama periode 2010-2022 sudah ada 21 hakim yang tertangkap melakukan tindak pidana korupsi. Miris dan teramat tragis aparat penegak hukum justru terjerat kejahatan dan melanggar hukum.
Lembaga peradilan memang menjadi lahan subur transaksi mafia hukum. Hukum, keadilan dan kewenangan biasa diperjualbelikan. Istilah mafia peradilan nyata adanya. Begitulah yang terjadi dalam sistem kapitalis sekuler, hukum bisa dipermainkan dan dilanggar karena sanksi pun terkadang absurd, tak tegas dan tak memberi efek jera.
Adanya korupsi dan suap di lembaga peradilan tak dipungkiri karena adanya inisiatif dari orang yang berperkara bisa juga karena adanya permintaan dari hakim atau pejabat lain di pengadilan agar memenangkan suatu perkara, dengan cara mengatur dan melobi putusan sesuai pesanan.
Ternyata, kurangnya integritas di kalangan pejabat peradilan sepertinya menjadi salah satu pemicu banyaknya kasus korupsi dan suap. Mulai dari rekrutmen para hakim sampai minimnya mekanisme pengawasan kinerja hakim, menyebabkan hakim bisa melakukan sekehendaknya, tentu saja tak sendirian tapi dibantu pihak atau pejabat lain.
Padahal, dalam Islam ketakwaan seorang hakim (qadhi) adalah faktor utama. Selain itu akuntabilitas hakim menjadi poin penting ketika diangkat menjadi seorang hakim. Hal itulah yang akan melahirkan sosok hakim yang berintegritas tinggi, kuat memegang teguh prinsipnya sesuai syariat, tak mudah tergiur praktik suap dan korupsi.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Hakim ada tiga macam, satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu, maka ia masuk surga, hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka, dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya ia masuk neraka.” (HR Abu Dawud).
Adanya kesadaran hubungan dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT menjadi pedoman bagi seorang hakim harus dan wajib terikat dengan hukum syarak dalam memutuskan perkara di tengah masyarakat.
Sejatinya, peradilan Islam sangat berbeda dengan peradilan di sistem kapitalis sekuler. Peradilan Islam sangat murah, sederhana dan cepat, tak ada istilah pengadilan berjenjang. Putusan hakim menjadi keputusan tetap yang mengikat bagi para pihak. Putusan itu tidak dapat dibanding ke tingkat yang lebih tinggi. Karena dalam Islam tak ada mahkamah banding dan kasasi.
Tak hanya itu, cepat dan sederhananya peradilan Islam bisa meminimalisir terjadinya praktik suap dan korupsi. Karena sistem sanksi dalam Islam sangat tegas untuk suap dan korupsi, mulai penyitaan harta, pengasingan, hukuman cambuk bahkan sampai hukuman mati. Tentu saja hal itu bisa membuat efek jera bagi pelaku korupsi lainnya. Oleh karena itu saatnya beralih pada aturan Islam yang sempurna mengatur seluruh urusan manusia, dan menuntaskan gurita suap dan korupsi ini. []
Oleh: Eva Susandra, S.H.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Comments