TintaSiyasi.com -- "Sudah jatuh, tertimpa tangga" ungkapan tepat untuk menggambarkan penderitaan warga Rohingya. Di negara asalnya, Myanmar, tidak diakui status kewarganegaraannya, sebagian mati karena kebiadaban rezim Budha Myanmar, sebagiannya terusir, terkatung-katung ditengah lautan. Di antaranya mampu bertahan, sebagian mati mengenaskan. Bagi yang bertahan, terlunta-lunta menjadi pengungsi sebagai imigran ilegal dari Asia Selatan. Kehadirannya dianggap mengganggu, bahkan tak jarang mendapat penolakan.
Belum lama, dua kapal yang mengangkut 231 warga Rohingya terdampar di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie (BBCNewsIndonesia, 28/12/2022). Kasus ini menambah jumlah pengungsi Myanmar yang mayoritas etnis Rohingya di Indonesia, yakni 707 orang pada September 2021.
Perwakilan UNHCR di Indonesia mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia soal penentuan lokasi khusus imigran Rohingya. Dia menekankan pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong. Meskipun Indonesia tidak punya kewajiban menerina pengungsi karena belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967).
Belum lama juga terjadi tragedi tak kalah mengenaskan, pada 24/22/2022, UNHCR Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi melaporkan, hilangnya sebuah kapal yang berlayar pada akhir November. Diduga 180 penumpang Rohingya tewas tenggelam diinsiden ini.
Juru bicara UNHCR Babar Baloch mengatakan, 2022 salah satu tahun terburuk untuk orang mati dan hilang. Mengikuti kasus pada 2013, ada 900 Rohingya meninggal atau hilang di Laut Andaman dan Teluk Benggala. Pada 2014, terdapat 700 orang tewas atau hilang (Akurat.co, 26/12/2022).
Hipokrisi PBB
Derita rakyat Rohingya berawal sejak tahun 1970-an. Rezim Myanmar meluncurkan operasi militer di negara bagian Rakhine untuk mengusir ‘orang-orang asing’, memicu masalah pengungsi Rohingya pertama. Tahun 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan pasca pemulangan Rohingya semakin memperburuk keadaan. UU tersebut melucuti status minoritas muslim yang diakui. Muslim Rakhine mengalami penindasan, penolakan atas kewarganegaraan, pembatasan ruang gerak hingga pekerjaan. Setelah pemilu pada 1991, rezim militer Myanmar melancarkan operasi lain melawan Rohingya.
Pada 2012, nasionalisme Buddha mendorong kekerasan sektarian menyebabkan lebih banyak orang Rohingya mengungsi. Operasi militer Tatmadaw akhir 2016 dan pertengahan 2017 melewati batas kekejaman masa lalu, mengakibatkan sekitar 800.000 Muslim Rohingya mengungsi. Satu juta orang hidup dalam kondisi sesak di Bangladesh. Sebagian melarikan diri ke negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim.
Mirisnya, dunia bungkam atas tragedi kemanusiaan Muslim Rohingya. Meski PBB senantiasa lantang menyuarakan hak asasi manusia, tetapi gagal memperjuangkan hak asasi manusia warga Rohingya. Solusi pragmatis yang diberikan PBB tidak lebih agar negara-negara ASEAN berbagi tanggungjawab krisis kemanusiaan, seperti menyelamatkan nyawa dan menyediakan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya.
PBB tidak pernah bersikap tegas dan bertindak keras terhadap kejahatan rezim Myanmar. PBB tidak pernah menekan pemerintah Myanmar agar menyelesaikan konflik dalam negeri yang mengakibatkan muslim Rohingya terusir menjadi pengungsi. Inilah hipokritnya PBB, lantang menyuarakan HAM, tetapi mandul dan kosong ketika menyangkut hak-hak kaum Muslim. Masihkah kita berharap dengan lembaga PBB menuntaskan masalah Rohingya?
Solusi Tuntas Rohingya
Universal Declaration of Human Right 1948 yang digawangi PBB terbukti gagal melindungi warga Rohingya untuk mendapatkan status kewarganegaraannya juga hak-hak lainnya dari tindakan diskriminatif Myanmar. Berharap uluran tangan UNHCR dan belaskasih negara-negara ASEAN di penampungan justru menambah panjang penderitaan muslim Rohingya. Konsep negara bangsa telah mematikan rasa persaudaraan sesama Muslim, padahal Nabi SAW pernah bersabda, "Seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya" (HR Bukhari dan Muslim). Juga di hadis lainnya, "Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu seluruh Muslim harus bersatu dalam satu ikatan, yakni ikatan akidah islamiyah dan ukhuwah islamiyah. Ikatan dan rasa persaudaraan yang melampaui sekat-sekat ras, suku, golongan dan bangsa. Umat harus berhimpun dibawah satu bendera dan satu kepemimpinan, yakni institusi yang menerapkan seluruh aturan Allah secara kafah. Umat butuh imam (khalifah) sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi kehormatan, harta, tanah hingga nyawa kaum Muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, menjelaskan, hadis tersebut berisi pujian kemuliaan tugas imam sebagai perisai, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslim, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.” Indikasi pujian, berita dalam hadits tersebut bermakna tuntutan (thalab), tuntutan yang pasti, dan berfaidah wajib.
Sebagaimana masa Khalifah Al Mu'tashim Billah yang menyambut seruan seorang budak Bani Hasyim yang diganggu dan dilecehkan kehormatannya oleh tentara Romawi. Muslimah tersebut berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris: “waa Mu’tashimaah!”. “Di mana kau Mu'tashim…tolonglah aku!” Jeritan Muslimah tersebut sampai ke telinga sang junnah hingga sang khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah. Panjang barisan tentaranya tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki).
Saat ini, betapa banyak kehormatan kaum Muslim yang dilecehkan, betapa banyak darah kaum Muslim tertumpah, dan nyawa yang melayang tanpa ada yang melindungi. Nasib kaum Muslim ibarat anak ayam kehilangan induknya, menjadi rebutan dan santapan musuh-musuhnya.
Oleh karena itu, tugas dan kewajiban utama kaum Muslim adalah mengembalikan junnah (imam) yang hari ini tidak ada. Keberadaan imam akan menghilangkan penderitaan Rohingya juga kaum Muslim di belahan bumi lainnya seperti Palestina, Uighur. Juga akan mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslim seluruhnya.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments