TintaSiyasi.com -- Advokat dan Ketua Koalisi Persaudaraan Advokasi Umat (KPAU) Ahmad Khozinudin, S.H. mempertanyakan apakah masih relevan untuk menjadikan Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) pada acara bedah buku Pancasila 404: Not Found? karya Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum.
"Menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah masih relevan untuk menjadikan Pancasila sebagai satu grundnorm, yang di atasnya dibangun berbagai produk perundangan? Atau dengan kata lain, masih relevankah menjadikan Pancasila sebagai sumber bagi segala sumber hukum?" tanyanya dalam Bedah Buku Spesial: Pancasila 404: Not Found? di kanal YouTube Prof. Suteki, Rabu (02/02/2022).
Ketum KPAU tersebut juga mempertanyakan dalam konteks teori, apakah norma Pancasila itu masih ada. "Sebab jika satu norma itu ada, maka semestinya norma itu bisa diterapkan," ungkapnya.
“Jika memperhatikan sejarah bangsa Indonesia, Pancasila itu sangat terkait erat dengan corak kekuasaan yang memimpin. Artinya secara norma, Pancasila tidak memiliki kaidah bagus sebagai satu parameter objektif untuk mengukur seluruh kegiatan dalam konteks mengatur tata kelola negara, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan, kegiatan atau kebijakan yang dikeluarkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang harusnya bisa merujuk kepadanya," jelasnya.
Khozinudin menambahkan, banyaknya kontroversi, kontradiksi, dan juga praktik ketatanegaaraan yang dijalankan oleh mereka. "Secara substansi, norma-norma yang diatur dalam produk perundangan justru bertentangan dengan norma Pancasila itu sendiri," ujarnya.
“Tidak jarang mereka yang mengaku Pancasila, tetapi nyatanya justru mempraktikkan tindakan-tindakan yang bisa dipahami anti-Pancasila,” lugasnya.
Ia mengatakan, kalaulah memang benar mereka merujuk pada Pancasila, tentulah tidak mungkin terbit produk perundangan seperti Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang KPK.
“Pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap rezim berbeda. Pertanyaannya, apakah lorong Pancasila itu pernah diterapkan sejak era Soekarno, Orde Baru, dan Reformasi?" tanyanya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, faktanya bahwa Pancasila di era Sukarno digunakan secara represif untuk menghantam lawan politiknya. Pancasila ketika itu ditafsirkan lebih kepada Pancasila yang sosialistik. Di era Orde Baru liberalistik dan sekarang sangat neoliberal.
"Bisa dipahami putusan pemindahan ibu kota negara jika dikaitkan dengan norma Pancasila, sama sekali tidak merepresentasikan sila ke empat Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan," pungkasnya.[] Heni Trinawati
0 Comments