Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Penghasilan Naik, Perlu Dekonstruksi Paradigma

Tintasiyasi.com -- Awal tahun 2023 sudah mendapat hadiah yang mengejutkan, di mana pemerintah resmi menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) maksimal 35%. 

Melansir dari nasional.kontan.co.id (01/01/2023) Pemerintah telah menerbitkan aturan baru mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Penyesuaian tersebut dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal.

Tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022. Objek pajaknya adalah penghasilan dan tarif nya bersifat progresif, artinya semakin besar penghasilan wajib pajak maka pajak yang dikenakan semakin besar pula.

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dibagi menjadi lima layer. Pertama, penghasilan sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif pajak PPh sebesar 5%. Kedua, penghasilan lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan tarif pajak PPh 15%. Ketiga, penghasilan lebih dari Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta tarif pajak PPh yang dikenakan 25%.Keempat, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar dikenakan tarif pajak PPh sebesar 30%. Kelima, penghasilan di atas Rp 5 miliar dibandrol tarif pajak PPh sebesar 35%. (nasional.kontan.co.id, 01/01/2023)

Pajak telah menjadi urat nadi dalam sistem kapitalisme yang dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis. Pemerintah selalu menargetkan setiap tahunnya terjadi peningkatan dalam penerimaan pajak. 

Selain itu pajak dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional, pembayaran hutang yang membengkak, juga menjadi cara termudah mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit anggaran negara. Fakta di atas mempertegas bahwa sistem kapitalisme yang diadopsi negeri ini lebih condong pada eksploitasi rakyat, bukan bertumpu pada kesejahteraan rakyat. 

Oleh karena itu, disinilah urgensi untuk mendekonstruksi paradigma bernegara, dari yang berorientasi kepada kapitalisme menjadi berasas pada Islam. Dalam Fikih Islam, istilah pajak dikenal dengan Dharibah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum di Kitab al-Amwal fi Daulati al-Khilafah hal 129, bahwa pajak sebagai “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.”

Jika dalam kapitalisme, pajak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara. Berbeda dengan Islam di mana Anggaran Pendapatan Negara tersimpan dalam Baitul Mal yang mendapat pemasukan dari fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur. Juga hasil pengelolaan dari harta milik umum yang memiliki deposit yang besar (seperti tambang). 

Ada juga pendapatan insidental yang pengambilannya tergantung pada kondisi yang ditetapkan oleh syara, seperti ketika tidak ada dana di baitul maka. Maka negara boleh menarik pajak kepada kaum muslim sampai tak kosong lagi, dengan syarat penarikan hanya kepada kaum muslim saja, tidak dari kaum non-muslim dan diambil dari muslim yang kelebihan harta (kaya). 

Begitulah kedudukan pajak dalam pengaturan Islam, tidak diperuntukkan untuk pertumbuhan ekonomi tapi karena ada kondisi tertentu. Negara tidak lagi menjadi pemalak tapi sebagai pengatur urusan umat. Sungguh luar biasa ketika Islam diterapkan. Wallahu’alam bishowab

Oleh: Nabila Sinatrya
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments