Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Jadi Alat Malak, Rakyat Makin Melarat

TintaSiyasi.com -- Resmi berlaku mulai Minggu 1 Januari 2023, pemerintah menerapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan dengan gaji 5 juta harus bayar pajak. Hal ini dilakukan dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal.Salah satunya kebijakan yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan reformasi di bidang perpajakan (kontan.co.id, 01/01/2023).

Dalam laman cnbcindonesia.com (02/12/2022), pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun untuk tahun 2023. Sehingga melakukan berbagai strategi dan kebijakan disusun untuk merespon sejumlah ancaman dan tantangan global tahun depan yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor mengatakan terdapat 4 kebijakan utama yang akan dilakukan pemerintah tahun depan untuk mencapai target penerimaan pajak. Salah satunya kebijakan penetapan pajak yaitu penghasilan 5 juta dikenakan pajak. 

Sedangkan pernyataan Menkeu, bahwa diberikan kelonggaran pajak terhadap beberapa kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya dibebaskan dari kewajiban tersebut. Misalkan rakyat kecil yang tidak punya penghasilan maka tidak bayar pajak. Kelompok masyarakat yang memiliki kriteria penghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Penghasilan di bawah batas tersebut disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Sehingga tidak ada kewajiban untuk membayar pajak (cnbcindonesia.com, 09/08/2022).

Selain itu, Menkeu juga menyampaikan bahwa  masyarakat yang penghasilannya tinggi akan dikenakan tarif pajak yang sangat tinggi juga. Disampaikan juga bahwa pajak itu kayak gotong royong, kalau tidak mampu gak bayar pajak, dan sesuai rate kemampuan mayarakat. 

Lantas, ketika dikatakan bahwa pajak itu seperti gotong royong. Yang menjadi pertanyaan, gotong royong untuk apa sebenarnya? Apakah gotong royong untuk membayar utang negara? Gotong royong menambah APBN negara dan digunakan untuk membangun IKN yang sarat kepentingan para kapital. Disisi lain, memang benar rakyat kecil yang kurang penghasilannya bahkan tidak memiliki penghasilan tidak dikenakan pajak. Bagaimana bayar pajak, untuk memenuhi kebutuhan harian saja penghasilan rakyat kecil tidak cukup, dan ada yang tidak punya uang hanya sekedar untuk makan. 

Padahal, kebutuhan pokok juga dikenakan pajak, dan itu pun yang membeli bukan dari kalangan kaya tapi juga dari kalangan miskin. Kalangan miskin hanya tidak dikenakan pajak penghasilan saja, tapi seluruh kebutuhan hidup yang harus dibeli semua kena pajak, bahkan rumah dan kendaraan yang dimilikinya sendiri juga harus bayar pajak. 

Akhirnya membingungkan, apakah sebenarnya rakyat memang mempunyai rumah dan kendaraan milik pribadi atau hanya menyewa pada negara? Pajak seolah menjadi alat untuk memalak rakyat dan akan didenda jika telat membayar apalagi sengaja tidak membayar. Lantas, pajak sebagai gotong royong bagaimana yang dimaksudkan? 

Pemerintah mengklaim dengan menciptakan bracket baru, dinilai memberikan keberpihakan kepada rakyat yang berpendapatan rendah dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar harus membayar lebih tinggi. Namun tentunya, penetapan Pajak Penghasilan di atas 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.  
Inilah yang terjadi dalam kapitalisme, negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara  berupa pungutan pajak pada rakyat.  Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada. Apalagi rakyat masih berusaha bangkit setelah lama pandemi. Pajak saat ini dijadikan alat untuk memalak rakyat dan rakyat pun semakin melarat. Pajak dalam kapitalisme yang dikenakan atas semua barang, transaksi, dan jasa termasuk dalam pungutan yang diharamkan oleh syariah. Pungutan semacam ini merupakan bentuk kezaliman dan perampasan hak orang lain. Islam melarang segala bentuk kezaliman dan pelanggaran terhadap hak milik orang lain.

Hal ini sangat berbeda dengan paradigma Sistem Islam. Pajak adalah pungutan insidental sesuai kondisi keuangan negara dan hanya dipungut dari rakyat yang kaya dengan syarat yang dibenarkan syariat islam. Hukum asal menarik pungutan (pajak) dari rakyat adalah haram.  Hanya saja, syariah Islam telah menetapkan syarat yang membolehkan Negara menetapkan pajak atas rakyat.  Syarat pungutan pajak dalam islam tentu berbeda dengan negara kapitalis, baik dari sisi latar belakang, tujuan, dan peruntukkannya. 
Perbedaan pajak negara dalam Islam dengan negara kapitalis, yaitu:

Pertama, pajak hanya akan ditarik ketika Negara Islam dalam keadaan darurat bukan keadaan normal. Keadaan darurat yaitu suatu keadaan yang jika Negara tidak menarik pungutan (pajak) akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyat, atau menyebabkan terhambatnya pengaturan urusan rakyat. Keadaan ini bisa saja terjadi ketika harta di Baitul Mal habis, atau tidak mencukupi untuk mengcover kepentingan rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindak kezaliman. 

Kedua, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenai pajak.  Orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup diberi keringanan untuk tidak membayar pajak. Ini berbeda dengan negara kapitalis. Pajak dikenakan dan dipungut secara tidak selektif. Bahkan orang-orang miskin pun harus membayar berbagai macam pajak atas pembelian suatu produk atau pemanfaatan jasa-jasa tertentu.

Ketiga, pajak dalam pandangan syariah Islam adalah pemasukan yang bersifat pelengkap, bukan sebagai pemasukan utama dalam APBN negara. Negara dalam Islam hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta di Baitul Mal tidak mencukupi.  Berbeda dengan negara kapitalis, pajak dijadikan sebagai sumber penerimaan utama negara. Di negara-negara sekuler-kapitalis, seperti Indonesia, pemasukan di sektor pajak mencapai kisaran 70-100% dari total pendapatan negara. Akibatnya, beban pembiayaan masyarakat dan industri semakin meningkat akibat banyaknya pungutan yang harus mereka tanggung. 

Sehingga, tidak ada pengaturan yang terbaik kecuali pengaturan yang muncul dari Pencipta manusia. Jika kembali pada aturan Pencipta, maka tidak boleh menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Negara harus menggali sumber pendapatan dari harta kepemilikan umum, dan pengelolaan aset kepemilikan umum yang pendapatannya dialokasikan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. []


Oleh: Safda Sae, S.Sosio
Aktivis Dakwah Kampus
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments