TintaSiyasi.com -- Miris. Satu kata yang menggambarkan kondisi masyarakat hari ini. Ditengah kesulitan mencari pekerjaan, orang yang mendapatkan pekerjaanpun tak luput dari subjek pajak. Wafer dengan lapisan yang banyak terasa tambah nikmat. Bagaimana jika lapisan penghasilan kena pajak (PKP) yang ditambah?
Sebagaimana yang diwartakan www.cnbcindonesia.com, (03/01/2023) bahwa pemerintah melalui UU nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, menambah lapisan penghasilan kena pajak ( PKP) per tahun dari sebelumnya empat lapisan menjadi lima lapisan.
Lapisan PPh bertambah
Berikut ini ketentuan tarif PPh karyawan / pasal 21 terbaru menurut undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
- Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 60 juta dikenakan tarif PPH sebesar 5% per tahun.
- Penghasilan kena pajak lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan pajak 15% per tahun.
- Penghasilan kena pajak lebih dari Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan pajak 25% per tahun.
- Penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 500 juta hingga Rp 5 miliar dikenakan pajak 30% per tahun.
- Penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar dikenakan PPh sebesar 35% per tahun.
Pajak penghasilan ( PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan seseorang dan atau badan usaha dalam satu tahun pajak. Berdasarkan ketentuan di atas maka seorang karyawan dengan penghasilan 5 juta perbulan akan dikenakan pajak sebesar 5%.
Penambahan lapisan tarif ini diklaim memberikan keberpihakan kepada masyarakat kelas menengah bawah. Dan mewujudkan keadilan dengan menetapkan pajak yang lebih tinggi bagi masyarakat yang berpenghasilan besar. Kenyataannya penetapan pajak penghasilan diatas lima juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.
Hingga hari negara masih mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama APBN. Negara akan terus mencari legitimasi dengan mengeluarkan undang-undang untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Semakin lama jenis pajak semakin banyak. Lapisan atau tingkatan objek pajak juga bertambah. Lagi-lagi rakyat dibebani ditengah himpitan hidup yang ada.
Pajak Bukan Pendapatan Tetap Negara
Negara sebagai ra'in (pelayan) masyarakat membutuhkan dana yang banyak agar dapat memenuhi semua kebutuhan setiap individu masyarakat. Baik itu yang dijamin langsung oleh negara seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan serta yang tidak langsung seperti sandang, pangan, dan papan.
Selain itu juga untuk membiayai operasional kenegaraan. Seperti gaji pegawai, tentara dan pembangunan fasilitas umum. Islam telah menetapkan sumber-sumber pendapatan negara yang bersifat mutlak, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya.
Baitul mal menjadi pusat keuangan negara. Semua harta disimpan pada Baitul mal dan didistribusikan sesuai dengan peruntukannya. Islam mengenal kepemilikan. Tidak semua benda boleh dimiliki oleh individu. Ada tiga macam kepemilikan yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum dan negara dikelola oleh negara. Dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat.
Kepemilikan umum dan kepemilikan negara menjadi sumber pendapatan negara. Dengan pengelolaan yang optimal dari keduanya, mampu untuk membiayai pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasional pemerintah.
Adakalanya beban yang dipikul negara sangat besar , sehingga pendapatan tetap negara tidak cukup untuk menutupi pembiayaan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat. Negara diizinkan Syari' menerima sumbangan dari kaum muslimin. Jika sumbangan inipun tidak mencukupi, barulah negara mengambil pajak dari orang kaya sebatas kekurangannya saja tanpa melebihkan sedikitpun.
Kewajiban membayar pajak hanya dibebankan kepada orang kaya yaitu orang yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna, sesuai dengan standar hidup di tempat mereka tinggal.
Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw:
"Mulailah dengan ( memenuhi kebutuhan) dirimu sendiri. Jika masih ada kelebihan untuk keluargamu. Jika masih ada kelebihannya juga maka untuk kerabat-kerabatmu. Dan jika masih ada juga kelebihannya maka.... dan seterusnya dan seterusnya -- dikatakan, antara samping kanan dan samping kirimu."
Pungutan pajak dalam Islam bersifat temporal. Bukan sebagai pendapatan tetap negara. Tidak semua kebutuhan dibiayai dari pajak. Dalam kitab al Amwal Syaikh Abdul Qadim Zallum menyebutkan hanya enam kebutuhan yang boleh dibiayai dari pajak:
Pertama, pembiayaan jihad dan segala yang terkait dengannya. Kedua, pembiayaan industri militer dan pabrik penunjangnya. Ketiga, pembiayaan para fuqoro, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Keempat, pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan lain-lain yang melaksanakan pelayanan masyarakat.
Kelima, pembiayaan untuk suatu kemaslahatan masyarakat yang jika tidak di penuhi menimbulkan bahaya yang akan menimpa kaum muslimin. Keenam, pembiayaan untuk keadaan darurat/ bencana. Seperti gempa bumi, tanah longsor, tsunami, dan lain sebagainya.
Dalam Islam pajak tidak dipungut berdasarkan prosentase. Tidak pula melekat pada barang dan jasa. Negara tidak boleh memungut pajak atas transaksi jual beli, pengurusan surat-surat, gedung, dan timbangan.
Semua konsep pajak diatas hanya bisa dilakukan oleh negara yang berdasarkan Kitabullah. Karena satu sistem berkaitan dengan sistem lainnya. Tidak bisa berdiri sendiri, membutuhkan dukungan sistem yang lain. Misalnya saja konsep perpajakan ini, harus didukung oleh sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem sanksi yang handal dan mandiri.
Sudah selayaknya sebagai umat nabi Muhammad untuk meneladani beliau, termasuk dalam hal meneladani sistem kehidupan yang diwariskan beliau. Dan mengupayakan diterapkannya sistem kehidupan tersebut adalah suatu kewajiban.
Syariah solusi persoalan kehidupan. Aqidah landasan kehidupan.
Wallahu'alam bishowwab.
Oleh: Sikin Maria
Aktivis Muslimah
0 Comments