Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Negara Memalak Rakyat Melalui Pajak?

TintaSiyasi.com -- Mengawali pergantian tahun, masyarakat kembali mendapatkan kado penambah beban kehidupan. Setelah sebelumnya terjadi kenaikan bahan pokok. Pada 1 Januari 2023 pemerintah menerapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan.

Pemerintah telah menerbitkan aturan baru mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Penyesuaian tersebut dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal. Salah satunya kebijakan yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan reformasi di bidang perpajakan. (Kontan.co.id, 01/01/2023) 

Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022. Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak. Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak.

Namun untuk warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, maka dikecualikan dari pengenaan PPh. Seperti yang diketahui, PPh di Indonesia telah mengalami perubahan sejak adanya UU HPP pada 1 Januari 2022.

Adapun secara lengkap, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dibagi menjadi lima layer. Pertama, penghasilan sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif pajak PPh sebesar 5%. Dengan demikian, karyawan dengan gaji Rp 5 juta per bulan harus membayar pajak PPh sebesar 5%. Kedua, penghasilan lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan tarif pajak PPh 15%. Ketiga, penghasilan lebih dari Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta tarif pajak PPh yang dikenakan 25%. Keempat, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar dikenakan tarif pajak PPh sebesar 30%. Kelima, penghasilan di atas Rp 5 miliar dibandrol tarif pajak PPh sebesar 35%.

Tentu ini menjadi keresahan bagi masyarakat, yang berstatus karyawan bergaji Rp5 juta ternyata juga terkena PPh. Jika dihitung dengan ketentuan terbaru, karyawan bergaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, setiap tahunnya terkena PPh Rp300 ribu per tahun atau Rp25 ribu per bulan. Padahal kita mendapati pengusaha kaya beromzet triliunan rupiah justru malah mendapat keringanan pajak di tengah kondisi perekonomian serba sulit. Dengan gaji yang ada saja, belum tentu bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak. Terlebih lagi harga pangan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS, serta sejumlah fasilitas umum (kesehatan ataupun pendidikan), semua terhitung mahal dan tidak sebanding dengan gaji. 

Pemerintah mempertegas bahwa tujuan PPh ini adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sehingga, aturan PPh pada karyawan bergaji Rp5 juta ini adalah untuk negara yang diperuntukkan untuk rakyat juga. Pemerintah terus menghimbau agar rakyat taat bayar pajak agar roda pemerintahan bisa berjalan.

Sri Mulyani mengatakan bahwa pada dasarnya pajak adalah oleh dan untuk rakyat. Pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai sektor publik (BBM, Listrik,LPG 3kg). Juga membiayai fasilitas umum ( sekolah, rumah sakit, jalan raya, transfortasi, dll). Semua itu disubsidi menggunakan pajak. Bahkan gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semua bersumber dari pajak. Meski pemerintah mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Namun, tidak semua rakyat merasakan kebermanfaatan pajak. Karena apa yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak, pada kenyataanya tetaplah mahal. Seperti layanan pendidikan, kesehatan dan yang lainnya. 

Perlu kita ketahui, bahwa pajak dalam sistem demokrasi adalah sumber utama pendapatan negara. Sehingga negara akan terus berupaya untuk menambahnya, termasuk pungutan pajak pada rakyat yang jelas sangat membebani kehidupan mereka. Meski pemerintah mengklaim dengan menciptakan bracket baru, memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah. Sedang yang memiliki pendapatan yang lebih besar, juga membayar pajak lebih tinggi. 

Dalam rangka untuk menaikkan pendapatan negara, pajak terus digenjot. Padahal pajak telah menambah beban rakyat, di tengah kehidupan yang serba sulit hari ini. Ironis memang, negeri yang kaya SDA, namun pemasukan utamanya justru berasal dari pajak. Atas nama liberalisasi kepemilikan, SDA negeri ini dikelola oleh asing. Merekalah yang meraup keuntungan dari kekayaan alam tersebut. Asing untung, sementara rakyat buntung. 

Paradigma ini berbeda dengan  sistem Islam.  Pajak dalam Islam disebut dharibah. Dharibah tidak menjadi tumpuan utama kas negara. Pada pelaksanaannya tidak dibebankan kepada seluruh rakyat. Tetapi, hanya kepada kaum muslimin yang kaya saja. Pengambilannya pun bersifat insidental sesuai kondisi keuangan (kas) negara, misalnya pada saat kas kosong atau saat memerlukan dana yang mendesak. Dharibah berakhir setelah keperluan tersebut telah selesai atau kas negara telah terisi kembali.

Sepanjang sejarah penerapan sistem Islam, sangat jarang mendapati kondisi kas negara (baitulmal) yang kosong. Karena baitulmal memiliki sumber pemasukan melimpah, yaitu dari fai dan kharaj, juga kepemilikan umum dan sedekah. Kepemilikan umum, yang dikelola oleh negara dan kemanfaatannya dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat. Tidakkah kita menginginkan diterapkannya sistem ini? Wallahu’alam bishowab

Oleh: Nor’alimah, S.Pd
(Pendidik dan Pemerhati Generasi)

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments