TintaSiyasi.com -- Jagat maya dihebohkan dengan pengakuan seorang remaja laki karena perjuangan cintanya ditolak pujaan hati. Di setiap kesempatan, remaja ini kerap menampakkan ekspresi sedih dan meneteskan air mata. Hingga warganet menyebutnya sebagai sadboy.
Ya, karena viralnya di media sosial, kini wajah remaja tersebut sudah wira-wiri di layar kaca atau YouTube para artis. Tak henti-hentinya mereka mengulang pembahasan putus cinta si remaja tersebut. Bahkan sudah tercipta banyak syair, puisi, atau sekadar quote singkat yang mewakilinya. Mendung menyelimuti berhari-hari, hujan pun tak pernah alpa mengikuti, begitulah kira-kira kondisi yang sering latah di postingan media sosial remaja saat ini.
Terlepas apakah ini murni sadboy atau hanya ingin tenar dengan membuat konten sedih, merevisi arah hidup remaja menjadi penting untuk dibahas. Pencarian jati diri memang sering dinobatkan pada usia mereka, hingga menjadikan wajar kasus-kasus seperti ini sebagai anggapan yang dibenarkan.
Penyesalan karena putus cinta selalu berputar di kalangan remaja. Pacaran, backstreet, kasmaran, TTM, hingga MBA pun lumrah di kalangan remaja. Tentu, ini karena di usia mereka adalah usia labil yang mengikut apa yang ada di lingkungannya. Inilah hasil dari tontonan sinetron dan K-drama yang melow.
Maka dari itu, perlu menciptakan atmosfer kehidupan yang sehat. Pencarian jati diri sebenarnya bukan dimulai pada masa remaja, tetapi setelah dia menemukan tujuan hidupnya. Tentu ini harus ditanam sejak kecil agar di masa remajanya, mereka sudah bisa menentukan visi misinya dan siap untuk produktif. Mereka pun sudah kuat secara fisik dan psikisnya. Tidak ada lagi masalah mental yang menghampirinya hingga membuat putus asa dan tak berdaya.
Inilah yang dicontohkan oleh para pemuda muslim di masa terbaiknya, masa Rasulullah, para sahabat, dan salafus shalih. Mereka menempa diri mereka dengan bersungguh-sungguh memenuhi perintah Allah dan Rasulullah. Hingga tidur mereka sangat sedikit karena sibuk dengan amal shalih yang tak pernah puas untuk mengerjakannya. Menyerahkan segala daya upaya untuk memenangkan bisyaroh-bisyaroh yang dijanjikan oleh Allah dan Rasulullah.
Memang tidak mudah untuk mencapai itu semua, bahkan Rasulullah dan para sahabat pun juga sering menangis ketika mereka kalah dan buntu dalam menghadapi lawan. Kesedihan mereka inilah yang harusnya ditiru para remaja saat ini.
Sedih karena menyesal tidak bisa menang dalam melawan musuh, sedih karena bukan dia yang menjadi panglima perang, sedih karena tidak bisa membantu kaum muslimin, sedih karena terlambat dalam menunaikan seruan Allah dan Rasulullah, dan sedih karena terlalu banyak berharap surga namun ternyata amal shalih masih kurang.
Tak terhitung berapa banyak air mata Rasulullah dan para sahabat yang tumpah karena meratapi nasib umat Islam. Sudah berapa sayatan kesakitan para pejuang Islam dalam menangkis serangan musuh. Tak ada yang bisa menandingi keistimewaan masa-masa itu.
Bagaimana Shalahuddin al Ayyubi menangis melihat Al-Aqsha yang masih terjajah pasukan salib. Sedih luar biasa, tetapi kesedihannya tidak berlarut-larut. Justru dia bangkit dan menyiapkan seluruh daya upaya untuk merebut kembali Al-Aqsha. Terbukti, dengan persiapan yang matang dan keyakinan yang kuat, di tangan Shalahuddin al Ayyubi lah masjidil Aqsha dapat kembali ke tangan kaum muslimin.
Kisah heroik Muhammad al Fatih dalam membebaskan Konstantinopel juga patut diacungi jempol. Perlawanan yang memakan waktu cukup lama, membuat pasukan hampir putus asa. Al Fatih pun bersedih melihat pasukannya yang sudah kelelahan. Beliau memohon pada Allah untuk ditunjukkan jalan keluar. Beliau mewajibkan kepada seluruh pasukan untuk meningkatkan ketakwaan, menghindari maksiat, berpuasa, tahajud tidak putus, memohon dengan ikhlas dan yakin ada solusi terbaik dari Allah.
Terbukti, kesedihan Al Fatih terbayar dengan ide cemerlang. Yakni membawa seluruh kapal-kapal untuk menyeberangi selat Bosphorus melalui bukit Galata. Sungguh ide yang belum pernah ada di pendahulu-pendahulunya.
Panglima perang terbaik pada masanya, hingga mendapat gelar pedang Allah yang terhunus, Khalid bin Walid juga pernah menjadi sadboy. Meski mendapat gelar agung tersebut, ternyata Khalid bin Walid juga bersedih di ujung ajalnya. Dia menginginkan wafat di medan perang fii sabilillah. Namun ternyata, ajal menjemputnya di atas ranjang. Bahkan sebelum wafatnya, dia memaki dirinya seperti matinya seekor unta tua. Di badannya ditemukan tidak kurang dari 80 luka bekas sayatan selama peperangan. Sungguh, beliau adalah panglima perang yang terbaik.
Kisah Abu Lubabah juga tak kalah menarik. Si sadboy yang menyesal karena keceplosan memberitahu isyarat kepada Bani Quraizhah saat mereka meminta pendapat kepadanya tentang ketundukan kepada Sa’ad bin Mu’adz. Menyadari kesalahannya, Abu Lubabah bersumpah bahwa kedua kakinya tidak akan beranjak dari tempatnya sampai Allah mengampuni dosanya.
Abu Lubabah pergi ke masjid dan mengikatkan tubuhnya pada salah satu tiang, tidak makan dan minum, dia hanya meminta dilepas talinya saat akan sholat saja, kemudia diikat lagi. Peristiwa itu menghebohkan warga Madinah dan berlangsung selama 7 hari 7 malam. Rasulullah pun tidak bisa berbuat apa-apa sampai Allah memberitahu melalui firmanNya jika taubat Abu Lubabah sudah diterima.
Maka turunlah surat At-Taubah ayat 102, “Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Dengan turunnya ayat ini, Abu Lubabah dapat tersenyum lagi dan berterima kasih kepada Allah dan Rasulullah karena telah menerima taubatnya.
Mereka lah contoh the real sadboy yang harusnya diikuti para pemuda Muslim. Menangis dan bersedih tidaklah dilarang oleh Allah. Tetapi kesedihan itu benar-benar menjadi bentuk penyesalan karena tidak optimal menjalankan perintahNya, bukan karena diputus cinta atau hal-hal overthingking duniawi semata.
Wallahu a’lam bish showab.
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
Pemerhati Remaja
0 Comments