TintaSiyasi.com -- Di penghujung tahun 2022 ini, Indonesia kembali menjadi tuan rumah untuk acara penting setelah G20 di bulan November lalu. Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah pada agenda Konferensi Islam tingkat ASEAN yang bertempat di Bali, pada tanggal 21-23 Desember 2022.
Agenda ini diikuti oleh sekitar 140 peserta dari Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, Filipina, Myanmar, Laos, Timor Leste, dan Arab Saudi. Kalangan ulama, akademisi serta pimpinan ormas Islam dari berbagai Negara turut dihadirkan sebagai narasumber. Saat diwawancarai, Dirjen Bimas Islam, Kamaruddin Amin, menyampaikan bahwa konferensi ini akan membahas implementasi moderasi beragama dalam masyarakat muslim serta upaya untuk mencegah ekstremisme dan intoleransi (baca: beritasatu.com, 19/12/2022).
Di tempat lain, tepatnya di Candi Sewu, Prambanan, Jawa Tengah, diadakan pula Peluncuran dan Diseminasi Buku Moderasi Beragama Bahasa Asing oleh Puslitbang Bima Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI pada tanggal 18 Desember 2022 lalu. Tujuannya sama seperti konferensi Islam ASEAN di Bali yakni mencegah paham radikalisme dan menciptakan kerukunan (baca: liputan6.com, 19/12/2022).
Saat ini istilah moderasi beragama sedang digaungkan oleh Kemenag RI sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang disebut sebagai paham radikalisme, ekstremisme, dan intoleran. Sebagai muslim, harusnya kita lebih kritis lagi untuk memahami apa yang dimaksud dari paham tersebut hingga dikampanyekan terus-menerus ini.
Perlu diketahui bahwa di dalam Islam tidak pernah ada istilah-istilah seperti itu. Jika kita lihat bersama, kelompok atau individu yang mendapatkan label radikal, intoleran, dan ekstremis ini justru orang-orang yang mengajak untuk taat kepada Allah, satu-satunya Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta.
Orang-orang yang dituding radikal, justru yang mengingatkan kita untuk menjauhi perilaku yang bisa mengundang azab Allah. Contohnya, mereka yang menolak kampanye L687 dianggap tidak menghargai perbedaan gender, berpakaian syar’i sesuai tuntunan di Al-Qur’an sering mendapat pandangan dan label radikal atau fanatik, aktivitas kajian Islam di beberapa masjid juga dicurigai masyarakat sebagai sarang teroris, ngomong politik Islam di masyarakat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap UUD 45, dan sebagainya.
Setidaknya, ada tiga cara yang digencarkan oleh Barat untuk melancarkan perang istilah ini:
Pertama, Barat mengkriminalisasi sejumlah ajaran Islam, lengkap dengan istilahnya seperti jihad, poligami, jilbab, dsb. Mereka membuat opini bahwa ajaran Islam terlalu mengekang dan tidak sesuai dengan kebebasan yang diinginkan manusia.
Kedua, Barat mengacaukan istilah-istilah dalam ajaran Islam lalu mereka campur dengan pemikiran Barat agar umat Islam kebingungan, seperti menyamakan istilah demokrasi dengan musyawarah, mengganti istilah bunga bank menjadi sumbangan sukarela, dan semisalnya.
Terakhir, mereka membuat istilah baru agar umat berpaling dari Islam. Contohnya, kafir diganti dengan istilah muwathin (warga negara), zina diganti dengan istilah suka sama suka, dan banyak lagi yang lainnya.
Berbagai langkah Barat menjauhkan Muslim dari agamanya memang sangat tampak. Di negara ini pun usaha umat Muslim menuju ketaatan dimaknai dengan fanatisme, ekstremisme, radikalisme. Orang yang mengharamkan riba, L687 dan perzinaan dimaknai ekstrem.
Ditambah lagi dengan adanya peraturan baru oleh dinas pendidikan untuk memakai baju adat daerah di hari tertentu. Bali dengan kultur budaya yang khas juga tidak ketinggalan, para pelajar di Bali diwajibkan memakai pakaian adat Bali di hari tersebut, padahal pakaian tersebut adalah pakaian khusus persembahyangan agama lain yang mana sebagai muslim kita dilarang untuk menggunakannya. Namun, demi asas toleransi dan moderasi beragama, ini pun seolah menjadi wajar.
Maka dengan begitu banyaknya wacana dan berbagai upaya yang telah dilakukan Barat melalui sistem kapitalis-sekuler ini, tidaklah heran jika masyarakat terutama umat Muslim ini semakin jauh dari agamanya. Dari sana, lahirlah umat muslim yang terbentuk dengan rasa takut dan was-was dengan agamanya sendiri. Masalah-masalah yang tampak tiada ujungnya pun seharusnya menjadikan umat Islam sadar, bahwa agenda moderasi beragama ini bukan yang seharusnya dijalani. Justru kembali kepada Islam yang kaffah dan menjalankan syariat secara total adalah bentuk kecintaan kepada Allah SWT dan merupakan solusi bagi setiap permasalahan umat di dunia.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Uthe Setya
Aktivis Muslimah Jembrana-Bali
0 Comments