Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korupsi Makin Menjadi, Coba Ganti Solusi?

TintaSiyasi.com -- Bagaikan jamur di musim hujan. Bukannya hilang justru makin menggurita. Itulah gambaran kasus korupsi di negeri ini. Bahkan bukan hanya menggerogoti tubuh lembaga pemerintahan namun kini tak sedikit pula yang mulai terkuak di lembaga peradilan.

Kasus terhangat terjadi di lembaga Mahkamah Agung (MA) belum lama ini. Seorang hakim yustisial berinisial EW telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas kasus suap pengurusan perkara di MA pada Senin (19/12) yang lalu. EW ditetapkan sebagai tersangka ke-14 pada kasus tersebut. Sebelumnya KPK juga telah menetapkan Hakim Agung GS, Hakim Yustisial sekaligus asisten GS yakni PN, Hakim Agung nonaktif  SD dan Hakim Yustisial ETP. 

Maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan ini menurut mantan Hakim Agung, Gayus Lumbuun disebabkan oleh proses persidangan yang tertutup sehingga menjadi celah bagi hakim untuk "bermain" dalam memutuskan perkara. Sehingga beliau berharap agar persidangan kasasi di Mahkamah Agung bisa berjalan "lebih transparan". 

Dengan terkuaknya kasus suap ini menandakan buruknya sistem peradilan negeri ini. Lembaga peradilan yang seharusnya memberikan keadilan hukum nyatanya kini telah ternodai dengan adanya kasus korupsi. Bila lembaga peradilan sudah seperti ini, kemanakah lagi rakyat akan mencari keadilan? 

Namun demikian, di tengah maraknya kasus korupsi, pernyataan kontraproduktif justru keluar dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia memandang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Karena menurutnya OTT dapat merusak citra bangsa Indonesia. Bahkan ia meminta agar KPK memperbaiki kinerjanya dan tidak ingin KPK lebih sering melakukan OTT dan berupaya toleran. 

“Jadi KPK jangan pula sedikit-sedikit tangkap tangkap, ya lihat-lihatlah. Jadi kalau kita mau bekerja dengan hati, ya kalau hidup-hidup sedikit bolehlah, kita kalau mau bersih-bersih amat di surgalah kau,” kata Luhut.

Pernyataan tersebut ternyata didukung Menkopolhukam Mahfud MD. Eks ketua Mahkamah Konstitusi itu juga menilai digitalisasi lebih baik daripada pelaksanaan OTT yang kerap menghebohkan publik.

Menanggapi pernyataan tersebut Peneliti PUKAT UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai, pernyataan Luhut bersifat kontraproduktif dan tidak baik bagi pemberantasan korupsi.

Tak hanya itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur juga menilai, pernyataan Luhut sebagai bukti eks menkopolhukam itu toleran dengan aksi korupsi dan berbahaya bagi Indonesia.

Melihat kondisi seperti ini maka pantas saja kalau kasus korupsi tak kunjung henti. Bagaimana akan melahirkan hukum yang menjerakan para koruptor bila ternyata pandangan terhadap kejahatan yang satu ini masih berbeda antara satu pejabat dengan pejabat lainnya.

Lantas mengapa bisa demikian? 

Ini karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme-sekulerisme dalam mengatur kehidupan termasuk dalam menetapkan aturan dalam pemberantasan korupsi. Karena paham sekulerisme inilah, nilai-nilai agama dibuang jauh-jauh dan tak dijadikan acuan dalam menetapkan sebuah aturan. Karena peran agama dinihilkan, maka digunakanlah akal sebagai standar dalam menetapkan sebuah aturan. Karena akal manusia bersifat lemah dan memiliki banyak keterbatasan, maka tidak heran banyak lahir pandangan dan aturan-aturan yang sarat akan kepentingan. Disinilah celah korupsi mulai terjadi. 

Ditambah dengan kapitalisme yang mendewakan materi dan menjadikan standar kebahagiaan hanya sebatas pada terpenuhinya materi maka tak sedikit yang menjadi gelap mata dan akhirnya melakukan korupsi. Alhasil mimpi negeri bebas korupsi nampaknya akan tetap menjadi sebuah ilusi.

Oleh karena itu, bila kita menginginkan perubahan di semua lini, maka harus ada upaya untuk merubah semua ini. Dan perubahan menuju arah kebaikan itu hanya akan terwujud bila Islam dijadikan landasan dalam setiap aspek kehidupan. Sebab Islam bukan hanya sekedar agama ritual, tapi juga memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan, termasuk dalam masalah pemberantasan korupsi ini. 

Sebab Islam menjadikan Al Qur'an dan Sunnah sebagai dasar dalam menetapkan sebuah aturan, termasuk aturan untuk memberantas korupsi di lembaga pemerintahan dan peradilan. Dengan demikian Islam memiliki standar yang jelas dan terukur dalam memandang setiap persoalan. Tidak berubah mengikuti zaman dan akan senantiasa mampu menyelesaikan persoalan manusia sampai akhir zaman. Hal ini karena Al Qur'an dan Sunnah bersumber dari Allah Sang Pencipta manusia juga seluruh perangkat yang ada di dunia, sehingga lebih memahami karakteristik manusia dan pasti tak akan membuat kedzaliman dalam menetapkan sebuah aturan bagi manusia. 

Dan bila kita mengkaji Al Qur'an dan Sunnah maka akan kita dapati beberapa dalil yang bisa dijadikan tuntunan dalam memberantas korupsi di negeri ini, diantaranya: 

Pertama, Islam memerintahkan penguasa untuk menggaji para aparaturnya dengan sistem penggajian yang layak, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Abu Dawud,  “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”. 

Dengan sistem penggajian yang layak diharapkan dapat menutup celah awal kasus korupsi tersebut. 

Kedua, Islam melarang aparatur negara untuk menerima suap dan hadiah selama mereka menjalankan tugasnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap”

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yakni Rasulullah SAW bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran”. 

Ketiga, Islam juga memerintahkan kepada penguasa untuk memeriksa kekayaan para aparaturnya. Apabila ada penambahan kekayaan yang tidak wajar dan aparatur tersebut tidak mampu menjelaskan sumber penambahan kekayaannya tersebut, maka penguasa berhak untuk menyita kelebihan harta tersebut dan memasukkannya ke Baitul mal. 

Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan yang bertugas mengawasi keuangan para aparatur negara. Ketika didapati ada aparatur negara yang memiliki penambahan kekayaan yang tidak wajar dan tidak mampu membuktikan sumber penambahan tersebut, maka tidak segan-segan kelebihan harta tersebut akan disita dan dimasukkan ke Baitul mal. 

Keempat, adanya teladan dari pemimpin. Diantara kisah yang paling masyhur tentang keteladanan pemimpin yakni sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab, suatu ketika beliau pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar. Hal ini beliau lakukan karena unta milik putranya tersebut kedapatan digembalakan bersama unta lainnya di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Khalifah Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Beliau lantas memerintahkan putranya untuk menjual unta itu dan menyerahkan keuntungannya kepada Baitul Mal. 

Kelima, adanya mekanisme pengawasan dari masyarakat dan negara. Dalilnya dapat kita temukan di dalam Al Qur'an surat Ali Imran ayat 104. 

"Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Keenam, penerapan sistem sanksi yang tegas oleh negara. Syeikh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat menjelaskan bahwa khianat ini (korupsi) bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan penghianatan yang dilakukan seseorang yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang tersebut, karenanya sanksi Uqubat untuk para koruptor adalah ta'zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat atau ringannya sanksi ta'zir akan disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Untuk sanksi paling ringan bisa berupa nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku dihadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yakni hukuman mati.

Sanksi uqubat ini akan memiliki efek jawabir dan zawajir. Efek jawabir sebagai penebus dosa bagi pelaku kelak di akhirat. Sedangkan efek zawajir sebagai pencegah orang lain untuk melakukan hal serupa di kemudian hari.

Namun demikian, pemberian hukuman adalah pintu terakhir yang akan dilakukan setelah seluruh rangkaian pencegahan dilakukan dengan sebaik-baiknya. 

Dengan solusi inilah, diharapkan korupsi akan mampu dihilangkan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Wallahu'alam bishowab

Oleh: Nuril Izzati
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments