TintaSiyasi.com -- Utang Luar negeri (ULN) rupanya masih menjadi andalan berbagai negeri muslim dalam menjalankan roda perekonomiannya termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri ULN pada Oktober 2022 masih melanjutkan tren penurunan. Sejak bulan Maret 2022, posisi dan pertumbuhan ULN pemerintah konsisten mengalami penurunan.
Posisi ULN Indonesia pada Oktober 2022 tercatat sebesar USD 390,2 miliar, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada September 2022 sebesar USD 395, 2 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono dalam keterangan tertulis di Jakarta pada Kamis (15/12/2022) menyatakan bahwa penurunan ULN pemerintah disebabkan oleh pergeseran penempatan dana investor nonresiden pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik seiring dengan ketidakpastian di pasar keuangan global yang tinggi.
Pernyataan ini dianggap sebagai satu hal positif, apalagi dianggap posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruhnya merupakan ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah.
Seperti kita ketahui bahwa ULN pemerintah dianggap sebagai satu hal yang wajar dalam sistem kapitalisme, bahkan ULN merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan negara. Seperti dalam memenuhi pembiayaan sektor produktif dan kebutuhan belanja prioritas antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,5 persen dari total ULN pemerintah), sektor jasa pendidikan (16,6persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,3 persen), sektor konstruksi (14,2 persen), dan sektor jasa keuangan dan asuransi (11,6 persen). Dan pemerintah akan terus mengoptimalkan peran dari ULN ini untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi resiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian.
Sebenarnya kita patut prihatin dengan pemerintah saat ini yang masih mengandalkan ULN sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara karena dengan ULN maka dari sisi hubungan luar negeri, utang tersebut dapat menjadi alat pengendali negara pemberi utang. Negara pemberi utang akan membuat kesepakatan dengan pemerintah yang akhirnya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan yang diperlakukan untuk rakyat yang dengan kebijakan tersebut justru menyesengsarakan rakyat, apalagi sudah bukan menjadi rahasia lagi ketika kebijakan yang dibuat justru berpihak kepada para pemilik modal. Jadi jelas dengan ULN negeri ini akan didekte dalam menjalankan roda perekonomian maupun roda pemerintahan.
Sedangkan dari dari sisi dalam negeri, ULN menunjukkan adanya salah kelola sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan sebenarnya bisa menjadi sumber dana ketika dikelola dengan tepat. Namun sistem ekonomi kapitalis telah menjebak negara sehingga negara tidak berdaya dalam pengelolaan SDA karena SDA yang ada sudah dikeruk oleh para pemilik modal.
Hal ini sangat berbeda dengan politik ekonomi Islam. Karena sistem ekonomi Islam akan menjadikan negara Islam kuat, berdaulat dan tidak tunduk kepada asing. Karena negara tidak akan mengambil langkah utang luar negeri untuk menutupi pembiayaan yang harus dikeluarkan negara.
Negara di dalam Islam akan berusaha semaksimal mungkin mengelola SDA milik umum dan negara dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan program-program negara seperti untuk membiayai pendidikan, kesehatan dan pengeluaran lainnya yang itu memang dibutuhkan rakyat.
Negara dalam Islam menyadari bahwa jebakan utang berimbas pada hegemoni negara pemberi pinjaman dan itu akan berdampak pada kesengsaraan rakyat.
Jadi dengan paradigma bahwa utang luar negeri merupakan jenakan negara penjajah maka negara tidak akan tergiur untuk melakukan ULN, apalagi berhutang kepada negara yang jelas memusuhi Islam. Dengan pandangan seperti ini negara Islam akan menjadi kuat dan berdaulat.
Wallahu'alam bishowab
Oleh: Zulia Adi K., S.E
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments