TintaSiyasi.com -- Seorang hakim yustisial ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka ke-14 kasus suap di Mahkamah Agung. Lembaga antirasuah menahan tersangka pada Senin (19/12/2022). Adanya penambahan kasus korupsi di Mahkamah Agung menunjukan adanya tindakan menggurita yang dilakukan oleh mafia peradilan (BBC, 20/12/2022).
Kasus korupsi di Mahkamah Agung tidak hanya sekali saja di lakukan, sebelum ditetapkan tersangka terdapat dua hakim lainnya yang juga mengalami korupsi dalam kasus yang sama. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya ada 21 hakim yang telah melakukan korupsi dan suap pengurusan perkara.
Semakin banyaknya hakim di negeri ini terlibat kasus korupsi dan suap membuat miris. Bagaimana tidak, hakim adalah seorang “yang mulia” dalam sistem hukum, bahkan dapat dikatakan hakimlah ujung tombak peradilan hukum, karena di ujung palu yang diketuk ada harapan keadilan yang dapat ditegakkan. Namun, jika melihat fakta yang terjadi, tidak ada harapan keadilan dari palu sang hakim yang sudah terganjal oleh lembaran uang.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), hal ini dia katakan akan menyebabkan citra negara Indonesia menjadi rusak. “Jadi KPK jangan pula sedikit-sedikit tangkap-tangkap, ya lihatlah. Jadi kalau kita mau bekerja dengan hati, ya kalau hidup-hidup sedikit bolehlah, kita kalau mau bersih-bersih amat di surgalah kau” kata Luhut (tirto.id, 21/12/2022).
Pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi sangatlah tidak produktif, bukannya semakin menguatkan kinerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru malah semakin melemahkannya, dan makin lembek perlakuannya terhadap tikus berdasi. Kepala Rumah Tahanan (Karutan) KPK, Ahmad Fauzi mengatakan bahwa meskipun diduga melakukan korupsi, para tahanan tetap berstatus warga negara Indonesia dan memiliki hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. KPK menyatakan, para tahanan tindak pidana korupsi tetap mendapatkan hak kesehatan mental (Kompas, 25/12/2022).
Banyaknya kasus korupsi di lembaga peradilan merupakan akibat adanya kesalahan penggunaan sistem hukum di negeri ini. Aturan dibuat bukannya untuk membuat efek jera melainkan justru membuka peluang untuk terjadinya korupsi. Berbagai hak istimewa diberikan dengan dalih Hak Asasi Manusia. Dengan demikian ingin menjadikan Indonesia bebas dari jerat korupsi hanyalah mimpi dan angan belaka.
Korupsi di Indonesia terbukti sudah sangat parah dan mengingat aparat peradilan pun banyak terjerat korupsi dan suap. Hal ini menandakan rusaknya sistem hukum di Indonesia. Terlebih adanya pernyataan yang beranggapan jika OTT dapat merusak citra bangsa, maka makin masifnya pembelaan terhadap para koruptor dan lemahnya hukum di negeri ini. Sebagai perkara yang bersifat sistemis maka jalan keluarnya pun dapat diselesaikan hanya dengan mengubah aturan sistemnya. Bukan mengubah orang atau personalnya namun yang harus diubah adalah aturan yang diterapkan saat ini. Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan memberikan sanksi saja tetapi juga harus disertai dengan sistem politik dan pemerintahan yang bersih pula.
Dalam Islam korupsi adalah tindak kejahatan. Islam memiliki sistem hukum yang kuat dan mampu mencegah terjadinya korupsi dan memberantas korupsi sampai ke akarnya. Penanaman akidah Islam kepada individu akan menjadi benteng untuk tidak melakukan perbuatan maksiat ini. Khilafah (sistem kepemimpinan Islam) menanamkan budaya amar makruf nahi munkar terhadap rakyatnya sehingga ketika terjadi kasus korupsi bukan hanya uqubat (hukuman) yang memberi efek jera seperti publikasi di depan massa, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, bahkan hukuman mati tetapi juga sanksi sosial dari masyarakat.
Setiap lembaga peradilan akan dicek dan dihitung harta kekayaannya sebelum dan sesudah menduduki jabatannya. Jika terdapat selisih yang tidak wajar maka harus dipertanggungjawabkan. Sistem kepemimpinan dalam Islam sangatlah efektif dan efisien sehingga akan mencegah korupsi dan suap. Solusi dari Islam yakni khilafah mampu mewujudkan negara yang bersih dari tindak kejahatan korupsi, akan tetapi solusi ini hanya bisa diterapkan ketika negara menggunakan sistem Islam, bukan sistem lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Dewi Sri Murwati
Pegiat Pena Banua
0 Comments