Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ibadah Haji, Tersandera Kepentingan Bisnis

TintaSiyasi.com -- Mengejutkan. Beberapa waktu lalu Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji atau BPIH tahun ini naik jadi Rp69 juta per jamaah. Jumlah ini naik hampir dua kali lipat dari biaya haji tahun lalu yaitu Rp39 juta. Usulan tersebut disampaikan Menteri Agama dalam rapat kerja sama Komisi VIII DPR pada Kamis 19 Januari (Kompas.com 20/1/2023). 

Sebagian kalangan menilai usulan tersebut memberatkan umat. Hal itu disampaikan oleh anggota DPR Komisi Agama Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bukhori menyatakan PKS tidak sepakat dengan usulan pemerintah tersebut. Ia mengatakan fraksinya mengusulkan agar kenaikan biaya haji berada pada angka Rp 50 jutaan. Lebih lanjut, PKS menilai menilai usulan menaikkan biaya haji 2023 menjadi Rp 69 juta menyulitkan masyarakat bawah. Jika pun masyarakat akhirnya tetap setuju untuk berangkat, mereka akan menggerutu. Menurutnya pemerintah mestinya memaksimalkan diplomasi kepada Arab Saudi agar bisa menekan kenaikan biaya haji (Tempo.co, 20/1). 

Hal senada juga juga disampaikan oleh Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Daniel Johan. Menurut Daniel, pihaknya bakal memanggil Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas karena usulan kenaikan biaya haji 2023. Partai baka meminta penjelasan Yaqut soal alasan kenaikan tersebut. Ia menyebut pihaknya meminta agar Kementrian Agama benar-benar menghitung biaya haji secara detail dan akurat. Sehingga tidak memberatkan umat. Apalagi, saat ini umat semakin sulit hidupnya karena pendapatan berkurang akibat Covid-19 (Tempo.co, 20/1). 

Tak ayal rencana kenaikan biaya haji ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Pasalnya disatu sisi, Mentri Agama beralasan bahwa prinsip istitha'ah atau kemampuan menjalankan ibadah haji memang dikedepankan dalam menentukan biaya haji tahun ini. Sehingga, baginya umat islam menjalani ibadah haji bila mampu saja. Padahal, kuota haji Indonesia 2023 telah ditetapkan sebesar 221.000 orang berdasarkan MoU antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi pada 9 Januari 2023 lalu. Kuota ini terdiri dari 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus. Namun disisi lain, nyatanya pemerintah Arab Saudi telah berupaya memfasilitasi lebih banyak jamaah umrah. Dikutip dari www.arabnews.com pada 17 Januari 2023, pemerintah Arab Saudi telah mengurangi biaya asuransi komprehensif sebesar 63 persen untuk jamaah umrah di luar negeri. Diketahui Kementrian Haji dan Umrah mengurangi biaya asuransi dari SR235 (Dh229,79) menjadi SR87 (Dh85) alias turun 63 persen mulai dari 10 Januari 2023. Membingungkan bukan? 

Dari fakta di atas tampak sekali jika pelayanan penguasa kapitalisme dalam mengurusi ibadah kaum muslim hanya berorientasi pada bisnis semata. Ya, penguasa kapitalisme memang selalu berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya. Sehingga, mereka memandang makin banyak kuota jamaah haji maka akan semakin banyak keuntungan yang didapat. Padahal selain bernilai ibadah mahdhah, haji memiliki makna politis dan syiar agama islam. Makna politis ini tampak pada bersatunya kaum muslim ketika wukuf di Arafah. Dimana kaum muslim di seluruh dunia diikat oleh akidah yang sama,  Alqur'an yang sama, kiblat yang sama. Tidak ada perbedaan kelas dan strata. Seluruh kaum muslim berkumpul di Arafah untuk menyerukan seruan yang sama yakni bacaan talbiyah, tahlil, tahmid, takbir, dzikir dan do'a. 

Adapun, makna syiar agama terlihat dari serangkaian prosesi ibadah haji itu sendiri. Dengan berkumpulnya kaum muslim di satu tempat, melakukan ibadah yang sama, dan mengumandangkan seruan yang sama. Hal ini menunjukkan kehebatan islam dalam menyatukan pemeluknya. Sayangnya, makna ibadah haji dikerdilkan oleh penguasa kapitalisme hanya sebatas ibadah ritual semata. 

Sungguh berbanding terbalik dengan pelayanan ibadah haji dalam sistem islam di bawah naungan Khilafah. Penguasa dalam sistem ini adalah pelayan umat. Setiap kebijakan mereka senantiasa diupayakan agar memudahkan urusan rakyatnya termasuk perkara ibadah. Untuk mengatur penyelenggaraan haji selain terkait dengan  syarat wajib dan rukun haji, Khilafah juga akan memastikan masalah hukum ijra'i yang terkait teknis dan administrasi termasuk cara dan sarana. Sebab, prinsip dasar Khilafah dalam mengatur manajerial adalah sistemnya sederhana, eksekusinya cepat, dan ditangani oleh orang yang profesional. 

Karena itu, sebagai satu negara yang menangani lebih dari 50 negeri kaum muslim maka Khilafah akan mengambil kebijakan berupa : Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurusi haji dan umrah mulai dari pusat hingga daerah. Tugasnya mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan kedaerah asal. Dalam melaksanakan tugas ini departemen haji akan bekerja sama dengan departemen kesehatan untuk mengurus kesehatan jamaah. Termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal. 

Kedua, ongkos naik haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti penguasa kapitalis saat ini. Besar kecilnya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para jamaah dengan tanah haram (Makkah-Madinah). Serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembalidari tanah suci. Khilafah akan menyediakan opsi rute baik dari darat, laut, dan udara dengan biaya yang berbeda. 

Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Negara Khilafah merupakan satu kesatuan negeri-negeri kaum muslim. Sehingga, untuk melakukan kunjungan dari satu wilayah ke wilayah lain hanya perlu menujukkan kartu identitas bisa berupa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku bagi kaum muslim yang menjadi warga negara kafir baik kafir harbi hukman maupun fi'lan. 

Keempat, pengaturan kuota haji dan umrah maka Khilafah akan menggunakan data base warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji. Dalam soal ini Khilafah akan memperhatikan dua hal yakni kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Serta kewajiban ini hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu. 

Oleh karena itu, dengan sejumlah kebijakan diatas maka setiap orang akan bisa berkunjung ke Baitullah tanpa terhalang mahalnya biaya perjalanan. Wallahu a'lam.

Oleh: Teti Ummu Alif
Pemerhati Masalah umat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments