TintaSiyasi.com -- Ratusan orang Rohingya kembali terdampar di Aceh dalam dua hari berturut-turut. Rombongan pertama tiba di Pesisir Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada Minggu (25/12/2022). Kapal yang mengangkut 57 pengungsi Rohingya itu diduga bocor dan rusak, lalu terbawa angin ke perairan Aceh. Keesokan harinya Senin (26/12/2022), sebuah kapal yang berisi setidaknya 174 orang sampai di pesisir Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.
Sekretaris Daerah Kabupaten Pidie, Idhami, berkata saat mengetahui kedatangan para pengungsi ini pihaknya langsung berkoordinasi dengan Bupati dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Perwakilan UNHCR di Indonesia mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia soal penentuan lokasi khusus itu, namun yang ingin ditekankan adalah pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong. (bbc.com, 28/12/2022)
Menurut Babar Baloch selaku juru bicara UNHCR, 2022 adalah tahun terburuk untuk orang mati dan hilang. Ini mengikuti kasus pada 2013 ketika 900 Rohingya meninggal atau hilang di Laut Andaman dan Teluk Benggala, dan pada 2014 dengan 700 orang tewas atau hilang. (Akurat, 26/12/2022).
Terkatung-Katung
Untuk sekian kalinya, muslim Rohingya terdampar tanpa kejelasan status kewarganegaraan. Kali ini, mereka terdampar di perairan Aceh. Pemerintah Indonesia akan menempatkan pengungsi Rohingya di lokasi khusus menyusul ada penolakan dari warga Aceh atas keberadaan mereka.
Salah satu perwakilan UNHCR di Indonesia, Muhammad Rafqi, menuturkan akan siap membantu pemerintah Indonesia terkait pengungsi Rohingya di mana pun mereka ditempatkan, baik di Aceh atau luar Aceh. (BBC News Indonesia, 28-12-2022)
Hingga saat ini, Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967) sehingga Indonesia sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk. Kendati demikian karena alasan kemanusiaan, Indonesia menjadi negara yang bersedia menampung sementara para pengungsi luar negeri, termasuk Rohingya.
Hipokrit PBB
Sejak peristiwa kudeta militer Myanmar pada 1962, penindasan terhadap muslim Rohingya mulai gencar. UU Pemerintah tahun 1982 melucuti mereka dari status kelompok minoritas muslim yang diakui oleh Pemerintah Myanmar. Sebagian besar muslim Rohingya yang tinggal di Rakhine mengalami penindasan melalui pembatasan gerak dan pekerjaan serta penolakan atas kewarganegaraan mereka.
Pada 2011, terjadi peningkatan ketegangan antara kelompok ekstremis Buddha Myanmar dan muslim Rohingya. Hingga 2017, banyak muslim Rohingya yang menjadi korban tindakan kekerasan oleh junta militer Myanmar dan kelompok ekstremis Buddha Myanmar.
Anehnya, pemimpin-pemimpin dunia masih terdiam melihat kejahatan yang dilakukan Myanmar. Dukungan dari seluruh dunia terhadap muslim minoritas Rohingya tidak banyak memengaruhi nasib pengungsi Rohingya yang masih berada dalam ketidakpastian. Pelarian para pengungsi Rohingya ke negara lain seperti Bangladesh, Thailand dan Malaysia seringkali berujung penolakan dari warga setempat.
Komisi Tinggi untuk Pengungsi PBB (UNHCR) beberapa tahun lalu pernah menuding negara-negara ASEAN sedang bermain-main dengan nyawa orang. Juru bicara UNHCR kala itu, Vivian Tan, mengatakan negara-negara ASEAN semestinya saling berbagi tanggung jawab krisis kemanusiaan, seperti menyelamatkan nyawa pengungsi dan menyediakan bantuan kemanusiaan.
Sungguh kontras! Di satu sisi PBB menyerukan berbagi krisis kemanusiaan, di sisi lain, PBB tidak pernah melakukan tindakan tegas terhadap kejahatan pemerintah Myanmar atas Muslim Rohingya. PBB juga tidak memberikan sikap keras terhadap pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negerinya yang membuat muslim Rohingya terusir dari tanah airnya sendiri.
PBB selalu menyuarakan HAM, tetapi gagal memperjuangkan hak kemanusiaan yang semestinya didapat warga Rohingya. Inilah hipokritnya lembaga-lembaga dunia semacam PBB. Hanya mampu mengeluarkan jargon-jargon kemanusiaan yang minim aksi jika menyangkut kepentingan kaum muslim. PBB seringkali memberikan solusi yang pragmatis terhadap kaum muslim minoritas yang menjadi korban kekerasan dan korban perang, seperti muslim Palestina, muslim Rohingya, muslim Tatar di Rusia dll
Solusi Tuntas untuk Rohingya
Sebenarnya keterpurukan di segala bidang yang dialami umat muslim dari seluruh dunia dimulai sejak keruntuhan institusi pemersatu kaum muslim di seluruh dunia yaitu Khilafah. Semenjak Khilafah runtuh tahun 1924, kaum muslim tak henti-hentinya mendapatkan serangan dari musuh-musuh Islam dari segala aspek kehidupannya. Sumber daya alamnya dirampok, kehormatan Islam diinjak-injak dengan dalih kebebasan berbicara dan berpendapat, pemimpin-pemimpinnya di suap dan dikendalikan, pengemban dakwahnya dipersekusi bahkan dipenjara dan dibunuh, serta berbagai problem lainnya. Oleh karena itu, solusi tuntas yang fundamental bagi pengungsi muslim Rohingya (juga bagi kaum muslimin di seluruh dunia pada umumnya) adalah dengan mengadakan kembali institusi yang pernah menaungi dan melindungi kaum muslimin pada masa dahulu, yaitu Khilafah.
Allah Ta’ala berfirman :
{Ù‡ُÙˆَ الَّØ°ِÙŠ Ø£َرْسَÙ„َ رَسُولَÙ‡ُ بِالْÙ‡ُدَÙ‰ Ùˆَدِينِ الْØَÙ‚ِّ Ù„ِÙŠُظْÙ‡ِرَÙ‡ُ عَÙ„َÙ‰ الدِّينِ ÙƒُÙ„ِّÙ‡ِ ÙˆَÙ„َÙˆْ ÙƒَرِÙ‡َ الْÙ…ُØ´ْرِÙƒُونَ}
“Dialah (Allah Ta’ala) yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya (agama itu) atas semua agama (lainnya), walupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. (QS At Taubah:33)
Umar bin Khattab r.a dalam pidatonya yang sangat terkenal sesaat setelah membebaskan Baitul Maqdis dari tangan penjajah yang tetap diingat sepanjang masa : “Kita adalah umat yang telah Allah Subhaanahu Wa Taaalaa berikan kemuliaan dengan Islam, maka jika kita mencari kejayaan dari selain Islam, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kita.
Rohingya adalah bukti nyata sebagai etnis yang tidak mendapat pengakuan kewarganegaraan oleh negeri asalnya. Muslim Rohingya membutuhkan pelindung dan perisai hakiki, yaitu junnah yang mampu menjaganya dari perlakuan diskriminasi, penindasan, dan penganiayaan. Rohingya dan negeri muslim lainnya memerlukan pemimpin dan rumah yang mampu menjamin nyawa kaum muslim dan kehormatan Islam.
Rohingya dan umat muslim dunia membutuhkan ikatan akidah dan ukhuwah Islamiyyah yang menjadikan umat ini bersatu tanpa memandang sekat-sekat bangsa, suku, dan ras. Semua ini hanya akan terwujud dalam negara Khilafah yang mempersatukan umat Islam dari berbagai bangsa, melindungi umat dari kejahatan, membela kaum yang terusir dan tertindas dari tanah kelahiran, serta menyatukan seluruh negeri-negeri dalam satu naungan, yaitu dalam naungan Khilafah.
Khilafah akan membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dan kezaliman. Sebagaimana sabda Nabi ï·º, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Oleh: Cita Rida
Aktivis Muslimah
0 Comments