Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga Bahan Pokok Naik, Nasib Rakyat Tercekik?


TintaSiyasi.com -- Beras yang merupakan sumber makanan pokok masyarakat Indonesia baru-baru ini di sorot oleh bank dunia dimana menurut laporan nya harga beras di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Tenggara.

Dalam Laporan Bank Dunia Indonesia Economic Prospect (IEP) December 2022 mencatat tingginya harga beras di Indonesia. Terkait lonjakan harga pangan di Indonesia Bank dunia menyebutkan bahwa harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dibandingkan harga beras di Filipina. Bahkan harga beras di Indonesia dikabarkan dua kali lipat lebih tinggi dari harga beras di Vietnam, Kamboja,dan Myanmar.

Dikutip dari pertanian.go.id. Indonesia mempunyai ketentuan tentang standar kualitas beras yaitu melalui proses acuan mutu beras SNI 6128:2015, kemudian diperbaharui dengan SNI 6128:2020. Akan tetapi SNI beras bersifat sukarela atau tidak wajib (Tempo, 25/12/2022).

Adanya SNI ‘beras sukarela’ alias tidak wajib sehingga kualitas beras yang beredar di pasar tidak dijamin oleh negara, sedangkan masyarakat sekarang membeli bahan makanan agar yang penting kenyang. Harga pangan yang tinggi dan daya beli masyarakat yang rendah tidak bisa terlepas dari akumulasi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. 

Sebuah fakta harga beras tidak stabil dan cenderung terus meningkat, dan masyarakat mengetahui kondisi tersebut dengan cermat kenaikan setiap rupiahnya. Kebijakan seperti ini tidak bisa pula dilepaskan dari penerapan ekonomi kapitalisme. 

Kebijakan intensifikasi pertanian membuat produktivitas pertanian lemah. Selain itu, mahalnya ongkos produksi bukan karena pengurangan subsidi pada pada pupuk, benih dan sprodi. 

Pada waktu yang bersamaan, kebijakan impor pangan malah dibuka lebar-lebar. Berdampak pada gairah petani untuk menanam pun memudar. Kebijakan ekstensifikasi pertanian yang dak sejalan dengan cita-cita swasembada pangan nasional yang mengambil alih fungsi lahan pertanian besar-besaran untuk pemukiman real estate, ataupun pembangunan jalan dan kawasan industri, malah makin masif. Pada akhirnya terjadilah penurunan produksi yang menyebabkan ketersediaan pangan turut berkurang. 

Selain itu distribusi pangan diserahkan pada mekanisme pasar. Uang menjadi pengendali tunggal dalam distribusi. Akhirnya, pangan hanya akan mengalir lancar pada orang mampu membeli saja. 

Hal ini berbeda dengan sistem Islam dimana kebijakan yang memperkuat kedaulatan pangan, yaitu intensifikasi dengan mempermudah petani dalam produksi. Subsidi bukanlah beban, melainkan satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang akan menjaga ketersediaan. Juga kebijakan ekstensifikasi, pemerintah akan hadir untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Pemerintah akan menjaga agar alih fungsi lahan benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat.

Selain itu, harga bukan satu-satunya pijakan pendistribusian harta. Negara akan bertanggung jawab terhadap pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pangan. Contohnya, negara menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan tanah mati dan pemagaran apabila para petani tidak menggarapnya secara langsung.

Sebagaimana firman Allah SWT bahwa suatu negeri akan sejahtera jika Islam diterapkan secara kaffah.

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96). 

Wallahu a'lam. []


Oleh: Siti Rohmah, S.Ak.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments