TintaSiyasi.com -- Ratusan Muslim Rohingya kembali terdampar di Aceh dalam dua hari berturut-turut. Rombongan pertama tiba di Pesisir Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada Minggu (25/12/2022). Kapal yang mengangkut 57 pengungsi Rohingya itu diduga bocor dan rusak lalu terbawa angin ke perairan Aceh.
Keesokan harinya Senin (26/12), sebuah kapal yang berisi setidaknya 174 orang sampai di pesisir Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.
Sekretaris Daerah Kabupaten Pidie, Idhami, berkata saat mengetahui ketibaan para pengungsi ini pihaknya langsung berkoordinasi dengan bupati dan kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Perwakilan UNHCR di Indonesia menekankan bahwa pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong (BBC, 28 Desember 2022).
Awal mula penyebab terjadinya konflik Rohingya adalah adanya perbedaan status, pemerkosaan, tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, adanya diskriminasi budaya, ketimpangan sosial, dan puncaknya saat konflik antar etnis ini diberitakan secara internasional pada bulan Juni-Agustus 2012. Pada mulanya, konflik yang terjadi antara etnis Rohingya dan Rakhine belum banyak diketahui oleh dunia luar.
Puncak dari konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis. Bahkan tentara dan polisi Myanmar diduga ikut memprovokasi kedua etnis dan turut menyerang perkampungan Rohingya.
Sesungguhnya Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk karena sampai saat ini belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967).
Anehnya PBB tidak mendorong negara lain yang tergabung didalamnya untuk membantu pengungsi Rohingya, atau bahkan memaksa dan menekan negara lain, mengingat posisi PBB di dunia.
PBB juga tidak menekan pemerintah asal pengungsi rohingya, yaitu Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negeri yang membuat warga muslim Rohingya diusir dari negerinya sendiri.
Padahal sejatinya tujuan utama PBB dibentuk adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antar bangsa melalui penghormatan hak asasi manusia, serta membina kerjasama antar bangsa dalam pembangunan bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan sikap PBB terhadap pengungsi Rohingya yang sampai saat ini harus menerima pahitnya diskriminasi pemerintah Myanmar yang mengusir mereka dari negaranya sendiri.
Disisi lain, PBB justru sangat gencar menyuarakan dan mendukung program-program yang memang merupakan bagian dari propaganda Barat, salah satunya trend “Boy Lover” atau BL yang merupakan produk turunan dari L6BT. Dimana trend ini sangat tidak sesuai dengan fitrah manusia bahkan menyimpang.
Para pelaku BL maupun L9BT sampai detik ini masih terus berupaya semaksimal mungkin, agar tujuan mereka memerangi pemikiran kaum muda dapat berjalan mulus sesuai rencana. Tak tanggung-tanggung untuk melancarkan kampanye ini mereka memperoleh dana yang disokong oleh lembaga internasional yaitu UNDP.
UNDP (United Nations Development Programme) atau (Badan Program Pembangunan PBB) adalah organisasi multilateral yang paling besar memberikan bantuan teknis dan pembangunan di dunia, terutama bagi negara-negara berkembang, berpusat di New York City. Dan juga sebagai organisasi terbesar dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. UNDP merupakan lembaga donor yang berasal dari Komunitas internasional seperti lembaga keuangan, lembaga internasional dibawah United Nations (UN), NGO internasional, dan institusi internasional lain seperti International City Country Management Association (ICMA).
Terlihat jelas bagaimana sikap hipokrit lembaga dunia ini. Abainya PBB terhadap konflik yang terjadi di Myanmar ini justru akan mendorong pengambilan solusi pragmatis dengan menampung pengungsi dari Rohingya. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa solusi persoalan Rohingya tidak akan terselesaikan secara tuntas, dan pengungsi Rohingya akan terus terlunta-lunta.
Mereka butuh tegaknya khilafah yang akan melindungi dan membela kaum muslim yang diusir dari tanah airnya sendiri. Bukan hanya itu, khilafah juga akan meredam konflik antar etnis yang terjadi antara etnis Rohingya dan Rakhine.
Ini telah terbukti selama kurang lebih 13 abad lamanya. Yang mana pada masa daulah Islamiyah, Islam telah memainkan peranan penting dalam membawa ajaran Islam keseluruh pelosok dunia (2/3 dunia) sehingga mampu menguasai Persia, Iraq, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Pada waktu itu masing-masing bangsa memiliki ras, etnik, dan suku-suku yang saling berlainan satu sama lain.
Demikian pula halnya dengan bahasa, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan agamanya saling berlainan. Namun ketika mereka semua hidup dalam naungan pemerintahan Islam, kemudian memahami Islam secara keseluruhan, pada akhirnya mereka berduyun-duyun masuk Islam dan menjadi Ummatan Wahidah (umat yang satu) yaitu umat Islam, sehingga tidak ada lagi konflik antar etnis maupun agama diantara mereka.
Hal ini juga dikarenakan dalam Islam kita dituntut untuk cinta dan benci hanya karena Allah, sehingga ketika kita mencintai ataupun membenci seseorang maupun suatu kaum akan berlandaskan ridha Allah semata. []
Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns
Aktivis Muslimah
0 Comments