Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Derita Muslim Rohingya, Kapan Berakhir?


TintaSiyasi.com -- Berita tentang kondisi Muslim Rohingya dari Myanmar selalu menyedihkan, menyayat hati dan mengundang air mata. Terusir dari negerinya sendiri dan terlunta-lunta di negeri orang.

Pada penghujung Desember 2022, ratusan pengungsi Muslim Rohingya kembali mendarat di Aceh. Sebanyak 57 orang tiba di Kabupaten Aceh Besar dan 185 jiwa di Kabupaten Pidie (Liputan6, 26/12/2022). Sebelum menuju Aceh, mereka mengaku sempat mendarat di Malaysia namun mendapat penolakan di negeri jiran tersebut. 

Pemerintah Aceh sendiri untuk sementara waktu mau menerima dan menangani pengungsi Muslim Rohingya. Namun tidak bisa menerima mereka menetap selamanya, apalagi sampai memberikan status sebagai warga negara Indonesia. 

Alasan ekonomi dan administrasi kependudukan menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia dan negara-negara lainnya untuk menolak para pengungsi Rohingya menjadi warga negaranya.  

Para penguasa Muslim di seluruh dunia seolah menutup mata dengan kondisi kaum Muslim Rohingya. Etnis Rohingya menjadi korban penindasan dan kezaliman penguasa Myanmar sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, hanya karena mereka menjadi Muslim.

Kaum Muslim Rohingya harus berjuang sendiri agar lepas dari penderitaan dan bisa hidup layak, meski negara bagian Arakan (tempat tinggal etnis Rohingya sebelumnya) dikelilingi negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, seperti Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Brunei.

Sikap nasionalisme dan sekat kebangsaan menyebabkan hilangnya persatuan dan kepedulian terhadap nasib umat Islam di negara lain. Karena menganggap bahwa umat Muslim di negara lain menjadi tanggung jawab pemerintah negara tersebut dan bukan urusan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. 

Penderitaan panjang kaum Muslim Rohingya dimulai sejak terjadinya serangan oleh raja Budha dari suku Birma pada tahun 1784 M yang diikuti dengaan penggabungan wilayah Arakan ke dalam daerah kekuasaannya, agar Islam tidak berkembang di wilayah tersebut.

Hingga kini, setelah ratusan tahun dan silih bergantinya rezim di Myanmar, nyatanya nestapa kaum Muslim Rohingya belum juga usai. Bahkan penderitaan itu makin menjadi-jadi karena ditunggangi kepentingan pribadi negara-negara besar, seperti China dan Amerika Serkat yang mempunyai motif ekonomi di negara bagian Arakan.

Begitu kompleksnya permasalahan pengungsi Rohingya, membutuhkan solusi yang adil dan paripurna. Dan solusi itu hanya didapatkan dari perintah-perintah Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 72, yang artinya:

Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka menjadi kewajibanmu untuk menolong mereka.”

Berdasarkan ayat tersebut, setidaknya ada lima hal yang bisa dilakukan penguasa Muslim terdekat dari Arakan, seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh dan Brunei Darussalam untuk melakukan tindakan-tindakan darurat bagi pengungsi Muslim Rohingya, yaitu :

Pertama. Membuka daerah yang perbatasan langsung atau dekat dengan negara Arakan,sebagai pintu masuk bagi pengungsi Rohingya.

Kedua. Mengirim misi penyelamatan bagi pengungsi yang masih terombang-ambing di lautan

Ketiga. Menerima dan memperlakukan dengan baik, melindungi dan mengurus semua kebutuhan para pengungsi.

Keempat. Melakukan tekanan politik pada rezim zalim Myanmar agar menghentikan semua kekejian dan kebrutalan mereka pada Muslim Rohingya.
 
Kelima. Jika tekanan politik diabaikan, maka harus dilakukan pengiriman kekuatan militer demi tegaknya kehormatan Islam dan kaum Muslim.

Pada akhirnya, penyelesaian masalah Rohingya secara keseluruhan, hanya bisa dilakukan oleh sebuah institusi yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat kebangsaan, apalagi kepentingan ekonomi nasional. Negara itu adalah Khilafah, yang dengan sigap mengerahkan ribuan pasukan demi menolong teriakan seorang budak Muslimah yang dizalimi orang Romawi, tanpa memperhitungkan untung rugi dan berbelitnya jalur diplomasi.

Inilah bukti tingginya kepedulian seorang pemimpin dalam Daulah Khilafah terhadap rakyat yang menjadi amanahnya. Tidak ada lagi sekat kebangsaan (nasionalisme), perhitungan untung rugi dan rumitnya birokrasi yang menjadi penghalang untuk menolong sesama kaum Muslim yang dizalimi.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Pujiati S.R., S.ST
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments