Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dalam Kapitalisme, Sertifikasi Halal Jadi Alat Memeras Rakyat

TintaSiyasi.com -- Makanan dan minuman termasuk kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup. Maka dari itu dari masa ke masa, manusia menciptakan beragam jenis makanan dan minuman untuk memenuhinya. Namun, dalam Islam tidak setiap keinginan bebas dipuaskan. Standar kehalalan menjadi syarat mutlak jika tidak ingin melanggar norma yang sudah diterapkan.

Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tentu mempunyai sebuah instansi yang mengatur kewenangan tentang kehalalan suatu produk. Seperti diberitakan oleh CNN pada Minggu (08/02/2023) lalu bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementeriaan agama menyebut ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal pada Tahun 2024. Diantaranya yaitu: makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan minuman, serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. "Adapun jika beredar produk yang belum bersertifikat maka akan ada sanksinya" ungkap Kepala BPJPH Kemendag Muhammad Aqil Irham. Sanksi yang diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan barang dari peredaran. Sanksi tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 Tahun 2021. Aqil menghimbau pada seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal produknya karena masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024. Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya. Sebelumnya, BPJPH Kemendag menyediakan 1 juta sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha. Program ini mulai bisa diakses pada 2 Januari 2023 dan dapat diikuti sepanjang tahun.

Aqil Irham juga menjelaskan, keputusan Kepala BPJPH No 141 Tahun 2021 mengatur bahwa tarif layanan BLU BPJPH terdiri atas dua jenis yaitu: tarif layanan umum dan tarif layanan penunjang. Tarif layanan utama terdiri atas sertifikasi halal barang dan jasa; akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH); registrasi auditor halal; layanan pelatihan auditor; dan penyelia halal; serta sertifikasi kompetensi auditor dan penyelia halal. Untuk tahun 2021, besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00,” ujarnya. Jumlah ini diperuntukan untuk komponen pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen dan penerbitan sertifikat halal (Rp25.000,00), untuk komponen supervisi dan monitoring oleh lembaga pendampingan PPH (Rp25.000,00), untuk komponen insentif pendamping PPH (Rp150.000,00), dan untuk komponen sidang fatwa halal MUI (Rp.100.000,00). “Adapun besaran pembayaran komponen biaya layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha yang dibebankan kepada pemberi fasilitasi pada tahun anggaran 2022 akan disesuaikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara,” lanjut Aqil. Bahkan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal pada BPJPH, Matsuki menghimbau kepada para pelaku usaha Mikro dan kecil agar segera melaksanakan kewajiban bersertifikat halal dengan kriteria produk tidak beresiko atau menggunakan bahan dan proses produksi yang sudah dipastikan kehalalannya.

Bagi warga Muslim, ketentuan mengenai informasi halal atau tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting karena terkait dengan pelaksanaan hukum syariat yang berlaku dalam agamanya. Karena itu ketika ada kesalahan dalam pencantuman kata halal dalam suatu produk khususnya makanan maka akan berdampak fatal terhadap individunya maupun perusahaan yang memproduksi barang tersebut. Dan sayangnya hingga kini masih banyak persoalan yang muncul di lapangan. Di antaranya banyak ditemukan produk makanan di pasaran yang tidak mencantumkan label halal, sehingga banyak Muslim yang terlanjur mengonsumsinya. Ini bukti bahwa himbauan pemerintah di atas hanya dianggap angin lalu dan juga lalainya para instansi terkait dalam pengawasan di lapangan. Namun, sepertinya kesalahan tidak sepenuhnya ditanggung oleh mereka (para pelaku usaha). Besarnya tarif pembuatan sertifikat halal bagi pelaku usaha yang mempunyai modal sedikit menjadi salah satu alasan. Seperti sudah menjadi rahasia umum jika upaya pembuatan sertifikat halal ini menjadi ladang bisnis mengingat bermacam tarif yang diterapkan. Alih-alih menjaga kehalalan suatu produk tapi malah menjurus pada pengumpulan pundi-pundi rupiah. Hal ini menjadi lumrah ketika negara masih menerapkan ekonomi liberal kapitalistik yang menimbang berbagai perkara termasuk sertifikasi halal dengan untung dan rugi.

Lain halnya dengan Islam, para ulama membagi makanan halal dari dua aspek pertama cara memperolehnya dan yang kedua dari zatnya. Bila cara memperolehnya dengan cara halal dan berasal dari zat yang halal maka status makanan itu halal. Halal atau tidaknya makanan yang dikonsumsi seorang muslim sangat berpengaruh bagi seorang muslim. Makanan halal ialah salah satu bagian dari Syariat Islam. Allah berfirman dalam salah satu suratnya, "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi." (QS. Al-Baqarah: 168).

Langkah lain yang diambil dalam Islam adalah membangun kesadaran umat akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal karena sertifikat halal tidak akan bermanfaat jika umat Islam sendiri abai terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi. Lalu masyarakat juga harus ikut berpartisipasi dalam mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar di masyarakat. Mendirikan lembaga pengkajian mutu, membantu pemerintah dan publik mengontrol mutu juga kehalalan berbagai produk. Dan yang paling penting adalah adanya peran Negara sebagai sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan suatu produk. Negara harus memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku usaha yang menggunakan cara dan zat haram untuk memproduksi barang haram, juga kepada para pedagang yang punya andil dalam memperjualbelikan barang haram tersebut kepada kaum Muslim. Tak ketinggalan jika ada kaum Muslim yang dengan sengaja mengonsumsi barang haram pun akan dikenai sanksi sesuai syariat.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Rita Yusnita
Pegiat Literasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments