Universitas Pancasakti Bekasi Krisis multidimensi yang terjadi pada akhir-akhir ini menunjukan kemunduran moral kaum muslimin, banyak kriminilitas atau kejadian-kejadian yang terjadi belakangan. Mulai dari hancurnya moral generasi muda Muslim, tidak merasa malu membuka aib sendiri, kurang terjaganya kesucian seorang muslimah, mudahnya menghilangkan nyawa saudaranya sendiri, hancurnya benteng keluarga karena perselingkuhan, bahkan kasus menantu dan mertua dibanten yang berbuat zina sedang viral dimedia sosial. Belum lagi efek yang di rasakan akibat tingkah polah yang sudah melewati norma agama seperti terjangkitnya virus HIV dan bermunculan macam penyakit yang tak berkesudahan. Satu hal yang sangat miris bahwa semua kejadian-kejadian tersebut di lakukan dan menimpa kaum muslimin. Sungguh hal ini bertolak belakang dengan Firman Allah SWT bahwa kaum muslimin adalah umat yang terbaik di antara manusia. Yakni dalam QS Ali Imran : 110
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”
Menilik dari problematika kaum muslimin tersebut kita bisa mengevaluasi apa penyebab dari semua itu. Padahal satu sisi mereka menyatakan beriman namun disisi yang lain mereka begitu mudah melakukan kemaksiatan. Lalu bagaimana sebenarnya keimanan kaum muslimin di peroleh?
Sebelum membahas proses keimanan kita harus memahami terlebih dahulu bahwa manusia ketika beranjak dewasa yang ditandai oleh kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai berpikir tentang ‘keberadaan-Nya’ di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu, bahkan harus ia jawab.
Jawaban tersebut akan menjadi landasan kehidupan pada masa-masa selanjutnya. Selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia seolah ‘tersesat ‘ tanpa tujuan jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan tenang. Karena sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering disebut sebagai ’uqdatul kubro’ (masalah/simpul yang sangat besar). Pertanyaan mendasar tersebut berupa: dari manakah asal manusia dan alam semesta beserta isinya ini ? untuk apa manusia dan alam semesta beserta isinya ini ada ? akan kemana manusia dan semesta ini, dan bagaimana kehidupan setelah ini ?
Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, -- terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia menjalani kehidupan di dunia ini dengan ‘landasan’ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar ‘landasan’ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‘landasan’ tersebut.
Islam Menjawab Tuntas Uqdatul Qubro
Dalam proses beriman kita harus memahami bahwa Islam dibangun diatas satu dasar aqidah yang menjelaskan dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat Pencipta (Al-Khalik) yang menciptakan ketiganya, serta segala sesuatu lainnya dari tidak ada menjadi ada. Dialah Allah SWT, wajibul wujud dan azali. Sementara manusia, dan semua kehidupan bersifat terbatas, lemah serba kurang dan saling membutuhkan. Siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan adanya Al-Khalik dengan memperhatikan benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup dan diri manusia sendiri. Oleh karena itu, ajakan untuk memperhatkan apa saja yang ada disekitar kita terdapat dalam al-Qur'an agar mendapatkan bukti nyata dan menyakinkan adanya Allah SWT. Ada ratusan ayat dalam Al-Qur'an yang memberikan pemahaman untuk meyakinkan dan memastikan akan adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur.
Allah berfirman dalam Surat Ali -Imran (3):190
اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal."
Iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal Fitri pada setiap manusia. Namun, iman yang muncul dari perasaan tanpa dikaitkan dengan akal tidak dapat bertahan lama. Faktanya, perasaan sering menambah-nambah dan menghayalkan sesuatu yang diimani, yang justru pada akhirnya menjerumuskan pada kekufuran dan kesesatan. Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT., namun tidak mungkin manusia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan Indra dan akalnya. Meskipun akal tidak bisa menjangkau Zat Allah dan hakekat-Nya, namun pada hakekatnya iman itu adalah percaya pada wujud Allah dengan memperhatikan makhluk-Nya.
Karena keterbatasan manusia, kita wajib berserah diri terhadap semua yang di kabarkan Allah SWT. tentang apa saja diluar jangkauan akal manusia.
Beragama adalah naluri dan suatu yang fitri pada diri manusia. Agar manusia bisa menjalankan ibadah dengan benar, manusia perlu sebuah aturan yang benar agar tidak terjadi kekacauan dalam beribadah, maka aturan ini harus datang dari Al-Khalik yang menciptakan manusia. Agar aturan ini sampai ke tangan manusia, maka harus ada seorang rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Kita juga harus meyakini bahwa Al-Qur'an itu datang dari Allah yang dibawa oleh Rasullulah Muhammad SAW. Dalam Al-Qur'an sendiri telah menantang mereka, orang arab untuk membuat karya sepuluh surat, bahkan satu surat yang menyerupai yang ada dalam Al-Qur'an. Mereka sudah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Dan terlebih, setiap Hadist jika dibandingkan dengan ayat manapun dengan Al-Qur'an, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad Saw, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadist. Oleh karena itu tidak seorangpun bangsa arab yang menuduh Al-Qur'an itu perkataan Muhammad, atau mirip dengan gaya bahasanya.
Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan bahwa Al-Qur'an disadur dari seorang pemuda Nasrani, Jabr. Namun, tuduhan ini telah ditolak keras oleh Allah dalam firmanNya di Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 103.
وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ اِنَّمَا يُعَلِّمُهٗ بَشَرٌۗ لِسَانُ الَّذِيْ يُلْحِدُوْنَ اِلَيْهِ اَعْجَمِيٌّ وَّهٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِيْنٌ
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur'an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, padahal ini (Al-Qur'an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas”.
Dan karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Qur'an, berdasarkan dalil aqli dapat diyakini secara pasti bahwa Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul. Inilah dalil aqli tentang iman kepada Allah, kerasulan Muhammad Saw dan bahwa Al-Qur'an itu merupakan Kalamullah. Jika kita telah beriman kepada Allah SWT yang memiliki sufat-sifat ketuhanan, kita wajib beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya, meskipun terhadap perkara-perkara ghaib yang diluar jangkauan akal dan panca indra manusia. Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan di padang mahsyar, surga dan neraka, hisab dan siksa. Kita juga wajib beriman terhadap adanya malaikat, jin dan syaitan, serta apa saja yang diterangkan Al-Qur'an dan hadist yang qath'i.
Jadi keimanan atau aqidah harus diperoleh melalui proses berfikir agar bisa mengakar kuat dalam keyakinan kita. Keimanan kita tidak bisa di peroleh hanya karena faktor keturunan maupun ikut-ikutan, tapi keyakinan harus bisa dibuktikan oleh akal sehingga benar-benar yakin dengan keimanan kita tanpa sedikitpun keraguan, sehingga langkah hidup mu akan mantab sesuai dengan tujuan hidup yang benar, lurus dan mulia.
Apabila semua itu telah terbukti, sedangkan iman kepada-Nya adalah suatu keharusan, maka wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada syari'at islam secara total atau kaffah, karena seluruh syariat Allah telah tercantum dalam Al-Qur'an dan dibawa Rasullulah Saw. Oleh karena itu, penolakan seseorang terhadap hukum-hukum syara' secara keseluruhan, atau hukum-hukum qath'i secara rinci dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadat, muamalah ataupun uqubat.
Oleh: Siti Rohmah, dkk
Mahasiswa Pascasarjana Magister PAUD Universitas Pancasakti Bekasi
0 Comments