TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini pemerintah melansir utang luar negeri Indonesia pada Oktober 2022 mengalami tren penurunan. Penurunan ini konsisten sejak Maret 2022. Utang luar negeri yang mengalami penurunan pada Oktober 2022 diakses melalui web situs Kementerian Keuangan. Pada data yang diakses utang luar negeri pemerintah pada Oktober 2022 mengalami penurunan sebesar USD 179,7 miliar. Lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya sebesar USD 182,3 miliar. Secara tahunan utang luar negeri Indonesia mengalami kontraksi sebesar 12,3 persen (YOY) lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 11,3 persen (YOY).
Menurut keterangan yang disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono salah satu penyebab penurunan utang luar negeri diakibatkan adanya pergeseran penempatan dana Investor Nonresiden pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Seiring dengan tidak pastinya pasar keuangan global yang tinggi dan dengan adanya posisi pelunasan utang luar negeri yang makin tinggi maka posisi pinjaman akan makin menurun. Adapun pinjaman yang masih ada akan diprioritaskan untuk sektor pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) (Liputan6, 15/12/2022).
Dengan adanya grafik penurunan utang luar negeri. Lantas, apakah pemerintah sudah bisa merasa aman dan keuangan negara kondusif? Seharusnya dengan adanya grafik penurunan utang luar negeri pemerintah seharusnya lebih mawas diri dengan utang yang jangka panjang, karena utang jangka panjang apabila dibiarkan terlalu lama akan mengakibatkan menumpuknya utang. Karena negara yang meminjamkan utang akan dikalikan beserta bunga pinjamannya. Ini bukannya mengurangi malah akan menambah utang apabila tidak disegerakan, yang menjadi persoalan mengapa negara harus berutang.
Pembangunan ekonomi di suatu negara adalah posisi yang sangat penting di belahan dunia mana pun. Karena bentuk suksesnya pembangunan suatu negara bisa dilihat dari suksesnya pembangunan ekonominya. Dalam melaksanakan kegiatan ekonominya, suatu negara akan menganggarkan dana untuk pembangunannya. Dalam melakukan kegiatan ekonominya, negara mengondisikan kas negara (keuangan) dalam bentuk APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan dengan kondisi negara hari ini yang mengadopsi paham ekonominya dengan kapitalisme, maka secara mutlak pendapatan negara (kas) diperoleh dari pajak yang dipungut dari rakyat.
Dalam penyusunan draf anggaran belanja negara pemerintah harus merujuk kepada prinsip anggaran berimbang. Maka ketika pengeluaran anggaran melebihi pendapatan maka negara akan mengalami defisit. Ketika negara mengalami defisit untuk menutupinya, negara yang hari ini menganut sistem ekonomi kapitalisme akan dengan suka rela menerima uluran tangan dari negara mendonor bantuan (bantuan pinjaman).
Seperti peristiwa yang dialami bangsa ini pada tahun 1998, di mana jatuhnya pemerintahan orde baru yang dipimpin Suharto. Di awal kejatuhannya pemerintah mengalami krisis ekonomi yang sangat parah yang mengakibatkan perekonomian terpuruk dan dengan negara terikat perjanjian utang dengan negara barat, secara mutlak pembangunan ekonomi bangsa ini mau tidak mau mengikuti model pembangunan yang diarahkan oleh negara barat (pemilik modal hutang) dan tanpa disadari negara terjebak perangkap penjajahan gaya baru, tetapi dengan hari ini pemimpin menggunakan konsep pembangunannya dengan sistem kapitalis, maka ketika berhutang hal itu dianggap wajar. Karena sistem kapitalis tanpa berhutang tidak akan ada pergerakan ekonomi.
Padahal, kalau dilihat dari hubungan bilateral ataupun internasional hutang bisa menjadi alat pengendali negara pemberi hutang. Di mana ketika negara penerima hutang tidak bisa melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditentukan, maka negara pemberi utang akan menggunakan berbagai cara untuk bisa menancapkan kuku-kukunya di negara tersebut. Dengan cara menanamkan modal (investasi) untuk bersama mengelola sumber daya alam yang ada di negara tersebut. Inilah model penjajahan gaya baru barat yang telah menguasai bangsa ini. Sehingga secara ekonomi bangsa ini tidak berdaulat penuh dan tidak bisa mandiri.
Seharusnya dengan adanya sumber daya alam yang melimpah bangsa ini tidak seharusnya bergantung kepada asing (dengan mengandalkan pinjaman utang). Inilah kerusakan dari sistem ekonomi kapitalis, seharusnya sumber daya alam yang ada bisa dikelola untuk menyejahterakan rakyat, ini malah di ekspor untuk menutupi utang luar negeri. Dengan pembangunan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam pemimpin (khalifah) akan menggunakan dana anggaran belanja yang dikeluarkan dari kas negara yang disebut Baitul Mal.
Sumber pendapatan dari Baitul Mal itu berasal dari sektor kepemilikan individu, seperti zakat, hibah, sedekah dan lainnya. Sedangkan yang berasal dari kepemilikan umum (api, air dan padang rumput) seperti tambang-tambang dari hasil perut bumi, hutan, dan api (listrik) ini dikelola oleh negara tidak boleh diserahkan kepada individu apa lagi pihak swasta (asing) seperti yang menimpa negara kita saat ini. Pengelolaan hasil tersebut akan diserahkan kembali kepada rakyat sesuai mekanisme yang sudah diatur sesuai ketentuan peraturan Islam dan sumber pendapatan yang terakhir adalah sektor kepemilikan negara yang bersumber dari jizyah, kharaj, ghanimah. Ke semua itu adalah sumber anggaran negara Islam (khilafah).
Di dalam negara Islam, membiayai pembangunan tidak diperbolehkan berutang dengan negara asing. Karena berutang dengan negara asing (kafir) secara otomatis memakai sistem riba (bunga pinjaman) sedangkan dalam Islam Allah telah jelas-jelas melarang dan mengumumkan perang terhadap siapa pun yang memakan riba.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi." (QS. Al-Baqarah [2]: 278-279).
Maka, ketika Islam ini tegak dan mekanisme perekonomian Islam berjalan dengan amanah maka kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi seluruh umat akan terwujud.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Rismayana
Aktivis Muslimah
0 Comments