Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Eksploitasi Perempuan di Balik Tema Hari Ibu?


TintaSiyasi.com -- "Perempuan Berdaya Indonesia Maju" menjadi tema utama Hari Ibu yang ke-94 tahun ini. Selain tema tersebut, ada juga beberapa subtema yang ditetapkan sebagai pendukung tema utama yang diusung pada Hari Ibu tahun 2022 ini. Subtema ini ditetapkan berdasarkan tujuan yang berbeda-beda. 

Dikutip dari detik.com (21/12/2022), subtema yang diusung antara lain 1) Kewirausahaan Perempuan: Mempercepat Kesetaraan, Mempercepat Pemulihan; 2) Pemulihan dan Digital Ekonomi; 3) Perempuan dan Kepemimpinan; dan 4) Perempuan Terlindungi, Perempuan Berdaya. Seluruh subtema tersebut tampaknya mengarahkan perempuan pada pemberdayaan kemajuan ekonomi dan memiliki tujuan dalam bidang ekonomi.

Sebutlah dalam subtema yang pertama, salah satu tujuannya adalah mendorong peningkatan kemampuan wirausaha perempuan dalam pemanfaatan teknologi dalam berusaha. Sementara itu, salah satu tujuan dalam subtema kedua adalah mendorong digital perempuan dengan mendorong adanya kebijakan publik untuk mengatasi kesenjangan gender dalam digital. Sama halnya dengan subtema lain yang memiliki tujuan untuk pembentukan kemajuan ekonomi di tangan perempuan, tentunya dengan dukungan pemerintah yang begitu besar pada konsep pemberdayaan ekonomi tersebut.

Pemerintah seolah sengaja mengusung tema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju”, karena beranggapan dapat meminimalisir dan mengurangi tingkat kemiskinan dalam keluarga. Sebab, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta jiwa. Selain persoalan kemiskinan, pemberdayaan ini juga mendukung tercapainya ide kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan tidak lagi dipandang rendah dan tidak lagi menjadi korban kekerasan.

Dalam hal ini perempuan didoktrin sebagai pion dalam hal pemberdayaan ekonomi sehingga perempuan dengan sendirinya akan berambisi untuk mendapatkan karir cemerlang dan meraih pendapatan yang tinggi hingga mengabaikan fitrahnya. Maka dari sini mereka akan merasa mampu berdiri sendiri dan menganggap kesetaraan gender dengan laki-laki dalam berbagai hal.

Tema yang diusung sejatinya tidak terasa cocok dengan konsep Hari Ibu sendiri, sudah jelas bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata 'ibu' berarti perempuan yang telah melahirkan anak, mengurus, serta merawatnya. Namun, mengapa tema yang diusung sama sekali tidak berhubungan dengan peran ibu?

Sejatinya fitrah ibu adalah sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya, menjadi ibu hebat yang siap melahirkan generasi cemerlang untuk memimpin negeri ini. Ibu adalah pemimpin bagi anaknya, sudah seharusnya negara memberikan edukasi bagaimana menjadi ibu yang cerdas dan juga tangguh bagi anaknya.

Mirisnya, dengan tema yang digaungkan hari ini tampak seperti melupakan fakta bahwa perempuan juga bisa menjadi hebat dengan titel sebagai ibu. Sebab, pandangan hari ini hanya menilai seorang wanita dari karir dan pendidikannya. Kodrat sejati menjadi seorang ibu dipentalkan begitu jauh dari benak perempuan masa kini.

Jika pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi terus digiatkan, maka kerusakan generasi akan makin parah. Mirisnya, pemerintah seakan tak peduli dan menolak mengatakan bahwa kerusakan generasi disebabkan hilangnya peran ibu di rumah tangga. Pemerintah justru memfasilitasi kaum ibu agar tetap berdaya di tempat kerja, termasuk segala kebijakannya seperti day care, full day school, dan memperpanjang cuti hamil dan melahirkan.

Tentunya, negara sangat diuntungkan dengan pemberdayaan kaum perempuan. Sehingga hal ini terus-menerus dibiarkan dan didukung guna meningkatkan perekonomian negara dan keluarga. Padahal hal tersebut tidak lain adalah bentuk dari eksploitasi.

Pemberdayaan seorang ibu sudah seharusnya dikembalikan pada peran utamanya, sebagaimana makna dari kata ibu sendiri, yakni sebagai pendidik generasi calon pemimpin masa depan dan sejatinya ini membutuhkan sistem alternatif yang dibangun oleh negara dalam semua sistem kehidupan. Dengan demikian ibu bisa fokus dalam mengemban tugasnya dan tidak terbebani dengan kewajiban mencari nafkah. Sistem alternatif seperti ini tidak lain adalah sistem Islam yang berasal dari Al-Khaliq, Sang Pencipta dan Pengatur segala urusan kehidupan.

Sistem kehidupan Islam ini niscaya akan mewujudkan negara yang menerapkan politik ekonomi Islam. Sistem ini menjamin kebutuhan dasar bagi setiap individu dengan pemenuhan kebutuhan yang menyeluruh, termasuk kebutuhan perempuan dalam hal makanan, pakaian, hingga tempat tinggal yang layak.

Dalam naungan sistem Islam, seorang ibu tidak akan dieksploitasi untuk meningkatkan ekonomi negara. Sebab, bekerja bagi perempuan hanyalah sebuah pilihan, bukan tuntutan keadaan, karena negara telah memenuhi dan menjamin kebutuhan pokoknya dengan metode kewajiban nafkah pada suami, ayah, atau kerabat laki-laki lainnya. Jika para pemberi nafkah ini tidak mampu lagi mencari nafkah karena alasan yang syar'i, atau seorang perempuan sudah tidak ada yang menafkahi lagi, maka negara akan memberikan jaminan langsung berupa santunan yang akan diberikan secara rutin setiap bulan untuk mencukupi kebutuhannya.

Dalam paradigma Islam, seorang suami memiliki kewajiban mencari nafkah dan melindungi. Sementara itu, negara akan memfasilitasi dan membuka lapangan kerja yang luas bagi laki-laki. Alhasil, seorang istri memiliki peran penting dalam bertanggung jawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga saja.

Inilah cara Islam memuliakan seorang perempuan dan ibu, bukan dengan eksploitasi dengan dalih pemberdayaan ekonomi. Bukan sebagai pencari nafkah dan berpartisipasi kedalam sektor ekonomi, akan tetapi mengembalikan fungsi utama seorang perempuan, yakni sebagai ibu generasi.

Islam memberi amanah bagi seorang ibu untuk menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak serta mengatur rumah untuk suami. Tidak dibebankan dalam hal ekonomi karena itu tanggung jawab laki-laki, yakni suami atau wali. Namun, Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Mereka boleh bekerja semata-mata untuk mengamalkan ilmunya demi kemaslahatan umat. Tentunya, hal ini berjalan selama tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu tetap terlaksana dengan baik. Alhasil, hanya dengan kembali pada sistem Islam, kehidupan ibu dan perempuan akan terjamin.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Fajrina Laeli, S.M.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments