TintaSiyasi.com -- Tanggal 1 Desember lalu diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Meskipun telah diperingati setiap tahun, penyakit HIV/AIDS masih menjadi momok yang tak kunjung berakhir. Jika dahulu penularan HIV/AIDS terbanyak dari pemakaian jarum suntik bergantian, sekarang risiko penularan terbesar adalah perilaku menyimpang pasangan sejenis dan seks bebas.
Akibatnya, perempuan dan anak-anak pun mudah tertular. UNICEF Indonesia melaporkan, setiap tahun tercatat 13 ribu ibu hamil di Indonesia beresiko tertular HIV. Bahkan, bayi dalam kandungan pun dengan mudah bisa tertular infeksi tersebut dari sang ibu.
Data terakhir di Kota Batam, jumlah kenaikan kasus HIV/AIDS pada tahun 2022 ini mencapai 446 kasus, yang terdiri dari 333 laki-laki dan 113 perempuan, dari yang dites sejumlah 2.594 orang. Sedangkan yang meninggal dunia sebanyak 57 orang dari total 8.800 orang terindikasi positif HIV/AIDS. Yang mencengangkan, kenaikan kasus tersebut didominasi dari penyimpangan perilaku sesama jenis (liputan6.com).
Kenaikan kasus HIV/AIDS juga terjadi di Aceh. Dinas Kesehatan Banda Aceh mencatat sebanyak 88 warga yang positif HIV/AIDS, yang penularannya didominasi karena pelaku seks bebas. Pada tahun 2021 ada 80 kasus, tahun 2022 ada 88 kasus HIV/AIDS (republika.co.id).
Berbagai progam pun diupayakan pemerintah untuk menuntaskan masalah ini. Bahkan WHO mencanangkan dapat megakhiri epidemi AIDS pada 2030. Krittayawan Boonto dari UNAIDS Country Indonesia menyatakan, semua pihak harus berpartisipasi guna meningkatkan upaya pencegahan. Setiap orang dengan hasil tes yang positif harus segera menjalani pengobatan ARV (antiretrovirus).
Masih menurut Krittayawan, semua pasien yang sedang menjalani pengobatan juga harus disiplin untuk mencapai viral load tersupresi. Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus memprioritaskan pembiayaan program HIV.
Tentu saja berbagai program penanggulangan HIV/AIDS tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Ketidakjelasan visi politik, minimnya anggaran pemerintah untuk Kesehatan, dan banyaknya mafia obat menjadi kendala utama yang harus dihadapi. Pertanyaannya, mampukah program penanggulangan HIV/ AIDS tersebut berhasil?
Program yang Sesaat
Pengobatan ARV sendiri sebenarnya tidak cukup efektif untuk menuntaskan masalah HIV/AIDS, karena ARV hanya bisa menekan pertumbuhan virus sampai virus tidak terdeteksi, tetapi tidak bisa menyembuhkan secara total. Itu pun dengan catatan, penderita HIV/AIDS harus rutin mengonsumsi ARV seumur hidupnya.
Namun faktanya, banyak pasien HIV/AIDS yang tidak dapat mengonsumsi ARV secara rutin, tak sedikit pula yang akhirnya putus berobat. Anggaran pemerintah untuk pengadaan ARV pun masih minim, belum lagi kendala distribusi ARV yang tidak merata ke seluruh daerah. Akibatnya, banyak penderita HIV/AIDS yang tidak dapat memperoleh ARV. Maka, pengobatan ARV dari pemerintah ini hanya solusi jangka pendek yang tidak menyentuh akar masalah.
Sesungguhnya akar masalah dari penyakit HIV/AIDS adalah penyimpangan perilaku pasangan sejenis dan seks bebas itu sendiri. Terbukti, perilaku seks menyimpang dan seks bebas adalah penyumbang terbesar penularan HIV/AIDS. Di Indonesia yang menganut sistem sekuler ini, tak ada aturan yang bisa menjerat pelaku seks menyimpang dan seks bebas. Legalisasi perilaku menyimpang justru diserukan, bahkan mereka menuntut untuk dihargai dan tidak boleh didiskriminasi.
Selain itu, paradigma sekuler kapitalisme yang diterapkan negeri ini menjadi latar belakang dibukanya kran monopoli dagang obat ARV. Sehingga alih-alih penderita HIV/AIDS dapat menerima obat gratis, ARV justru menjadi alat khusus untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal. Melihat fakta tersebut, pesimis kiranya mencapai target mengakhiri kasus HIV/AIDS pada tahun 2030.
Islam Solusi Hakiki
Islam memiliki aturan sempurna perihal penyimpangan seks dan seks bebas. Islam adalah aturan yang bersumber dari Sang Khaliq, yang menciptakan manusia dan mengetahui fitrahnya. Islam tegas mengharamkan seks bebas, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
Aturan Islam mencegah terbukanya pintu menuju liberalisasi seksual (zina), seperti larangan bercampur baur dengan lawan jenis (ikhtilat), berdua-duaan antara lawan jenis tanpa disertai mahram (khalwat) serta pergaulan bebas (sejenis/lawan jenis). Allah telah berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al- Isra': 32).
Aturan pergaulan laki-laki dan perempuan ini harus menjadi perhatian penguasa, demi terciptanya masyarakat yang beradab. Dalam Islam, tugas pengusa adalah me-ri'ayah rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Imam (khalifah) laksana pengembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.“ (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, Islam mewajibkan penguasa untuk melayani pengobatan rakyat secara gratis dan menghapus monopoli perdagangan obat. Negara juga harus memberikan edukasi dan penguatan akidah pada rakyatnya, sehingga tidak terjerumus pada penyimpangan seks dan seks bebas. Negara juga harus menegakkan hukuman rajam bagi pezina yang sudah menikah dan cambuk 100 kali bagi yang belum menikah. Hukuman yang tegas tersebut diperlukan untuk menimbulkan efek jera.
Negara harus menerapkan Islam kaffah, mulai dari kesehatan, ekonomi, pendidikan sampai ke pergaulan. Dari sini jelas, hanya dalam Islamlah satu- satunya sistem yang mampu memutus rantai liberalisasi seksual baik dengan sejenis maupun lawan jenis. Maka sudah saatnya kita bersandar pada syariat Islam yang diterapkan secara kaffah dalam institusi khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Katwati (Ummu Afif)
Pemerhati Sosial
0 Comments