Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Solusi Bencana dengan Kurikulum Mitigasi Bencana, Mungkinkah?

TintaSiyasi.com -- Bencana alam yang terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia akhir tahun ini, salah satunya terjadi di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022). Yang mencuri perhatian adalah respon warganet di media sosial banyak yang mengusulkan kembali agar ada mitigasi bencana yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. (kompas.com, 23/11/2022) 

Begitu juga, dalam laman (republika.co.id, 02/12/2022), disebutkan bahwa banyaknya pelajar yang menjadi korban jiwa dalam gempa di Cianjur harus menjadi evaluasi khusus. Seperti yang disampaikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, “kami merasa melalui sekolah bisa diajarkan bagaimana harus bersikap saat ada bencana. Kesadaran tingginya potensi bencana menjadi paradigma dalam penyusunan kurikulum pendidikan”. 

Seperti itulah respon warganet sebagai perwakilan masyarakat dan juga respon Ketua Komisi X DPR yang memberikan respon sama, yaitu mengusulkan kembali agar mitigasi bencana dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Yang perlu kita detaili, apa dan bagaimana sebenarnya mitigasi bencana yang dimaksud dan digadang-gadang menjadi solusi meminimalkan potensi korban jiwa maupun material dalam setiap bencana yang terjadi. 

Dalam laman (bpbd.jogjaprov.go.id, 16/0/2019) disebutkan bahwa mitigasi bencana terdiri dari tiga tahap. Pertama, yang dilakukan sebelum terjadi gempa: menyiapkan rencana untuk penyelamatan diri, latihan menghadapi reruntuhan gempa, menyiapkan alat kesalamatan juga obat-obatan, membangun kontruksi rumah tahan gempa, dan memperhatikan daerah rawan gempa juga aturan penggunaan lahan. Kedua, yang dilakukan saat terjadi gempa: jika di dalam bangunan rumah atau sekolah maka harus berusaha menyelamatkan diri dengan berlindung di bawah meja untuk menghindari benda yang jatuh, melindungi kepala dengan bantal atau helm atau berdiri dibawah pintu dan jika sudah aman lari ke luar rumah. Ketiga, yang dilakukan setelah gempa: waspada terhadap gempa bumi susulan, ketika berada dalam bangunan maka evakuasi diri setelah gempa berhenti, jika dalam rumah tetap berada di bawah meja yang kuat, berdiri di tempat terbuka jauh dari gedung dan hindari daerah rawan longsor. 

Dari penjelasan tersebut terkait mitigasi bencana, terlihat jelas bagaimana upaya mitigasi bencana yang diserahkan pada individu masyarakat. Masyarakat harus bisa menjaga diri sendiri dan tidak bisa bergantung pada orang lain, bahkan harus bisa menjaga diri sejak kecil. Mitigasi tidak digambarkan dengan ideal akhirnya menjadi mitigasi pragmatis. 

Alam atau bumi ini memiliki mekanisme akan mencari keseimbangan baru dengan adanya pergerakan lempeng tektonik atau muncul siklus baru yang merupakan sebuah kealamiahan untuk mempertahankan agar bumi tidak hancur seketika. Bumi mencari keseimbangan baru tapi tidak dengan kemampuan sesungguhnya karena terhambat kerusakan yang diciptakan manusia.

Dalam pembahasan pertambangan, adanya lempeng disuatu wilayah dampak negatifnya adalah menimbulkan gempa. Sedangkan dampak postifnya bagi petambangan adalah kandungan yang ada didalamnya bisa ditambang. Padahal dengan pertambangan yang dilakukan atau eksploitasi lempeng tektonik itulah yang membuat negeri menjadi potensial gempa. Sangat terlihat bukan hanya kemaksiatan individu masyarakat yang merajalela tapi kemaksiatan sistemik juga tidak kalah luar biasa. Eksploitasi besar-besaran mengeruk sumber daya alam menjadikan negeri ini potensial bencana. Seperti nikel sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, tapi masalahnya para kapital tidak mau jika nikel hanya sedikit atau ecer, makanya nikel di industrialisasi dan diprivatisasi. Kemudian, alih fungsi lahan yang sah secara hukum yang tidak memperhatikan AMDAL, hanya jika alih fungsi lahan yang tidak izin yang dilarang, lahan dijadikan tambang juga perumahan atau yang lain. Sehingga bencana ini sesungguhnya bukan kejadian alam tapi aktifitas kapitalistik yang menimbulkan kerusakan atau kerusakan yang mendapat izin, dan ini merupakan kesalahan manusia yang menciptakan kerusakan di bumi. Maka perlu mempelajari fenomena alam dan harus belajar mitigasi agar fenomena alam tidak terjadi bencana. Karena fenomena alam itu alamiah terjadi tapi karena kerusakan yang diakibatkan manusia akhirnya fenomena alam terganggu dan malah menimbulkan bencana. 

Pencegahan pertama yang bisa dilakukan adalah taat hukum syara atau taat aturan Pencipta manusia, tidak ada lagi alih fungsi lahan sedemikian rupa ataupun eksploitasi besar-besaran kapitalistik. Jika memang butuh alih fungsi lahan maka simbiosis tetap dibiarkan berjalan. Sedangkan jika dibutuhkan pembangunan pemerataan wilayah, maka wiayah yang sulit untuk digunakan atau ditinggali tidak dipaksa karena wilayah yang sulit ditinggali pasti memiliki fungsi bagi siklus kehidupan. Sehingga persoalan hanya bisa selesai jika privatisasi diberhentikan dan tidak cukup jika solusi hanya dengan kurikulum mitigasi bencana yang hanya diserahkan individu masyarakat. 

Maka yang seharusnya dilakukan penguasa adalah memperhatikan skala prioritas mitigasi dengan menghilangkan akar persoalan terlebih dulu, yaitu mencabut sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini. Sistem yang menjadi sumber segala problematika dalam kehidupan dan segala kerusakan alam juga bumi ini. Ketika akar masalah sudah selesai, dilanjutkan mitigasi bencana skala individu atau masyarakat, apa yang bisa dilakukan individu sebelum bencana, apa yang dilakukan saat bencana, dan apa yang dilakukan setelah bencana. Bukan melakukan kapitalisasi bencana, ketika bencana terjadi malah memikirkan apa yang sekiranya bisa dijual untuk masyarakat, dan apa yang bisa diberikan pada masyarakat agar bisa menghasilkan cuan. Tentu paradigma demikian sangat berbahaya dan paradigma tersebut sangat lumrah dilakukan di sistem saat ini. 

Hal ini sangat berbeda dengan islam. Jika ingin berkaca pada masa peradaban islam dalam penanganan bencana. Penguasa dalam islam adalah penanggung jawab urusan rakyat dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Maka akan dengan segenap tenaga, seorang pemimpin akan menjaga orang yang dipimpin dengan sebaik-baiknya penjagaan. Selain itu, akan mengerahkan tenaga, waktu, pikiran, dan harta agar orang yang dipimpin aman dan sejahtera. Juga ketika ada bencana atau bahkan sebelum terjadi bencana, maka akan segera mengeluarkan kebijakan untuk mencegah bencana dan segera menyelesaikan jika bencana sudah terjadi tanpa memperhitungkan untung rugi. 

Jika ingin berkaca pada masa Peradaban Islam saat berjaya dulu, terkait penanganan bencana. Penguasa Islam sangat memperhatikan rakyatnya dan besar perhatiannya terhadap rakyat. Menyediakan fasilitas umum untuk melindungi rakyat dari bencana, membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik hingga melatih rakyat untuk tanggap darurat.

Warisan ketangguhan Pemerintahan Islam contohnya adalah bangunan masjid klasik yang ada di wilayah bekas Kekhilafahan seperti di Turki Utsmani. Seorang arsitek Muslim yang sangat terkenal bernama Sinan, yang membangun berbagai macam bangunan tahan gempa termasuk masjid. Masjid dibangun dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh, yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata dan masjid tidak hancur ketika terjadi gempa bumi di Turki dengan kekuatan diatas 8 skala richter dan bangunan modern lainnya hancur. 

Pada saat terjadi gempa, pemerintah Turki yang khawatir masjid akan roboh mengundang Konsultan Kontruksi dari Jepang untuk mengatasi masjid yang dikhawatirkan roboh tersebut. Ternyata konsultan kontruksi Jepang menjadi takjub melihat bangunan masjid yang kokoh itu. Konsultan Jepang itu mengatakan bahwa dia yang malah belajar pada Turki. Karena Turki ternyata sudah memiliki teknologi konstruksi yang bagus sejak beratus ratus tahun lalu. 
Inilah bukti kegemilangan Islam yang menerapkan aturan Pencipta manusia. Maka sudah sepatutnya menjadi renungan bagi penguasa saat ini, menjadikan aturan Pencipta sebagai landasan dan lebih besar perhatiannya terhadap pengaturan urusan rakyat.

Oleh: Safda Sae, S.Sosio.
Aktivis Dakwah Kampus

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments