TintaSiyasi.com -- Proyek IKN kembali mendapat sorotan publik. Hal ini karena revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) mengenai kepemilikan hak guna lahan bagi investor selama 90 tahun hingga 180 tahun.
Menteri Investasi Indonesia merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, menyebut kebijakan tersebut bukanlah tindakan mengemis, melainkan sebagai strategi pemanis untuk menarik perhatian agar investor mau menanamkan modal di IKN Nusantara Kalimantan Timur.
Bahlil pun berpendapat jika jangka waktu kepemilikan lahan ini, akan menjadi daya tarik tersendiri, dan sudah dilakukan di berbagai negara. Sebagai contoh, di Singapura juga menerapkan kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) sampai dengan 100 tahun lebih. Bahlil tak memungkiri untuk menarik investor di wilayah baru memang harus dilakukan marketing yang menarik dan berbeda.
Bahlil juga mengklaim beberapa investor sudah menyatakan komitmen masuk ke IKN di antaranya dari Uni Emirat Arab, China, Korea Selatan, hingga negara Eropa. Ia mengatakan bahwa mereka bisa tawar menawar dengan dalih win-win solution, yaitu negara dapat, pengusaha juga harus dapat.
Kejanggalan ini memperkuat bukti ketidakberesan pada proyek pembangunan IKN yang memang sedari awal sudah bermasalah, termasuk dari segi pendanaan yang bermasalah karena berisiko mengancam kedaulatan negeri. Pada awalnya proyek ini diklaim tidak akan menyedot APBN, tetapi setelah beberapa investor besar hengkang dari proyek IKN, pada akhirnya pun pendanaan proyek ini tetap menggunakan APBN dengan alasan masuk dalam proyek strategis nasional.
Kebijakan terbaru yang kontroversial pun muncul, yaitu memberikan Hak Guna Lahan (HGL) selama 180 tahun dengan alasan negara dan pengusaha mendapat keuntungan. Kebijakan yang demikian terang makin menunjukan betapa tak mampunya negara untuk mengelola dan membiayai proyek IKN yang digaungkan ini.
Ketidakmampuan yang tampak sebenarnya juga didukung oleh model pembiayaan infrastruktur yang salah. Di masa kini, investasi selalu menjadi jalan pintas dan alternatif dalam pembiayaan. Padahal cara ini sangatlah berisiko dan membuat kedaulatan negara berkurang bahkan tidak ada. Sebab, investasi hanya akan membawa orientasi pembangunan pada asas untung dan rugi bagi para investor.
Tidak heran, jika selanjutnya sebuah proyek pembangunan bukan lagi beriorentasi pada kepentingan bagi rakyat, melainkan hanya sekadar pencitraan para tuan penguasa. Di sisi lain, memberikan keuntungan luar biasa bagi para investor swasta, baik dalam negeri maupun asing. Alhasil, dengan adanya kebijakan HGL IKN selama 180 tahun ini menunjukan betapa ambisiusnya penguasa atas proyek IKN tersebut demi keuntungan semata.
Dilihat dari sisi manapun sudah jelas bahwa sebenarnya proyek ini bukanlah proyek mendesak yang dibutuhkan, apalagi ditengah rakyat yang sedang dilanda kesulitan hidup, ditambah bencana yang akhir-akhir ini banyak menimpa negeri. Selebihnya, kebijakan ini terkesan seperti kebijakan yang mengobral kedaulatan negara di tangan para oligarki kapital, sedangkan negara dibuat tidak berkutik akan kuasanya.
Dari fakta tersebutlah dapat terlihat ciri khas pembangunan dalam sistem hari ini yaitu beraroma kapitalisme. Pembangunan yang hanya menguntungkan para kapital bahkan mengancam kedaulatan rakyat. Tentunya, hal ini sangat berbeda dalam pembangunan infrastruktur dalam daulah Islam yang tentunya dengan aturan dari Allah Ta’ala.
Dalam Islam sendiri pembangunan infrastruktur merupakan pembangunan fisik yang berfungsi untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi dalam suatu masyarakat, maka sudah pasti orientasinya adalah kepentingan bagi masyarakat. Dalam Islam infrastruktur akan sangat jelas penggunaan dan pemetaannya, akan jelas mana infrastruktur milik negara ataupun infrastruktur umum yang dipergunakan untuk kepentingan umat.
Kejelasan ini akan membawa pemerintah makin mudah dan tau strategi praktis dalam pengelolaan dan pembiayaan, karena negaralah yang berhak mengelola setiap infrastruktur, baik yang digunakan untuk kepentingan umum maupun negara. Kepemilikan dan pembiayaan infrastruktur tidak boleh dimiliki atau dialihkan pada siapa pun, apalagi pada pihak swasta. Sehingga seluruh rakyat dapat merasakannya secara adil dan memanfaatkan fasilitas tersebut. Negara juga tidak boleh mengambil keuntungan sedikit pun dari sektor infrastruktur untuk kepentingan umum ini.
Infrastruktur milik negara akan dibangun untuk melayani masyarakat dalam memudahkan kehidupan mereka. Untuk pembangunan infrastruktur milik individu tentu akan diperbolehkan oleh negara, bahkan negara akan mendorong setiap individu untuk berperan aktif dalam membantu pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat sesuai dengan hukum syariah. Peran masyarakat pun hanya membantu bukan menjadi pemilik apalagi sebagai pemodal, hak sepenuhnya tetaplah milik negara.
Dalam Islam infrastruktur akan terbagi menjadi dua, yaitu infrastruktur yang bisa menimbulkan bahaya jika menundanya misal jalanan umum, rumah sakit, sekolah, atau kepentingan lain yang jika menundanya akan mengakibatkan bahaya sehingga negara wajib menyegerakan pembangunan tersebut.
Yang kedua adalah pembangunan infrastruktur yang dapatditunda seperti gedung tambahan sekolah, perluasan masjid, dan sebagainya. Infrastruktur semacam ini hanya boleh dibangun jika dana dalam baitul mal mencukupi.
Pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam juga akan disesuaikan dengan keperluan masyarakat per wilayah, karna bisa jadi pembangunan di kota satu dengan kota lainnya akan berbeda. Sehingga pembangunan infrastruktur dalam daulah Islam akan merata di berbagai kota.
Pemerataan infrastruktur ini akan membuat negara dalam naungan Islam mudah berpindah-pindah ibu kota tanpa perlu mengancam kedaulatan negara. Kedaulatan negara akan tetap terjamin seberapa banyaknya pembangunan yang dilaksanakan. Alhasil, hanya Islamlah yang mampu menjadi solusi atas berbagai permasalahan negara ataupun umat. Wallahualam bisshawab.
Oleh: Fajrina Laeli, S.M.
Aktivis Muslimah
0 Comments