Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pengesahan Revisi KUHP Membungkam Aspirasi Rakyat


TintaSiyasi.com -- DPR RI dan pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang, Selasa (6-12-2022). Sidang Paripurna pengesahan RKHUP tersebut terus tertunda sejak mendekati akhir masa bakti DPR periode 2014—2019. Tidak heran, pengesahannya pun seolah dikebut, mengingat saat ini juga sudah melewati medio masa bakti 2019—2024. Padahal, masih banyak pasal dalam RKUHP tersebut yang dinilai publik bermasalah atau kontroversial, di antaranya pasal tentang perzinaan.

Banyak pihak menilai RKUHP ini akan membawa negeri ini ke era lebih otoriter. Dalam RKUHP tersebut terkandung pasal yang mengancam warga negara yang dianggap melakukan penghinaan terhadap pemerintah, gubernur, DPR, dan polisi. Sudahlah pembahasannya tertutup, RKUHP tersebut berisi pasal yang bisa membungkam warga yang mengkritik pemerintahnya sendiri. RKUHP tersebut juga berpotensi menutup kewajiban mengoreksi penguasa.

Fraksi PKS juga menolak RKUHP. Mereka menilai banyak aturan yang bertentangan dengan aturan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ketua Badan Pengurus Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyatakan bahwa upaya buru-buru mengesahkan RKUHP itu membuktikan tuduhan bahwa pembahasan tidak terbuka, tidak partisipatif, dan tidak bermakna (Tirto, 28-11-2022).

Ketua Umum YLBHI Isnur menyayangkan langkah pemerintah dan DPR yang tergesa-gesa ingin mengesahkan RKUHP. Menurutnya, masih banyak masalah dalam pasal-pasal di RKUHP. Ia menjelaskan ada pasal yang berbau kolonial, terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Meski deliknya berupa aduan, tetapi dapat mengancam kebebasan demokrasi, tukasnya.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008-2018 ada sekitar 35,92% pejabat negara (seperti menteri, kepala daerah, kepala instansi, dan aparat keamanan) melaporkan warga dengan memanfaatkan UU ITE. Banyak ulama, tokoh Islam, ataupun oposisi yang masuk tahanan dengan tuduhan menghina pejabat atau berencana melakukan makar.

Di antara pasal-pasal yang dianggap bermasalah adalah: Pertama, pasal penghinaan presiden. Dalam pasal Pasal 218 ayat 1 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal ini berpotensi menyasar siapa saja yang kritis menyerang presiden, baik serangan fisik maupun verbal. 

Kedua, hukum adat. Dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 menyebutkan, untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, RUU KUHP mengakui adanya hukum adat. Artinya, siapa saja yang melanggar hukum adat di wilayah tersebut, bisa dikenakan pasal ini. Bila hukum adat tak menentangi syariat Islam mungkin tak menjadi masalah. Pasal ini bakal kontradiksi dengan hal-hal yang berkaitan langsung dalam hal menjalankan ibadah umat Islam. Sebab, standar perbuatan bagi seorang muslim adalah halal haram, bukan hukum adat.

Ketiga, pasal pengenaan denda untuk gelandangan. Hal ini tercantum dalam pasal 432 RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang bergelandangan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp 1 juta.” Pasal ini dianggap membatasi hak warga negara. Menjadi gelandangan bukanlah cita-cita setiap orang. Bila para gelandangan itu ditanya, mereka pasti juga tidak menginginkan menjalani kehidupan di jalanan. Karena fitrah manusia pasti menginginkan kesejahteraan.

Pendidikan rendah tak dapat pekerjaan layak. Tak beroleh kerja, terpaksa mereka mengemis di jalan, bahkan menjadi gelandangan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Padahal menurut UUD 1945 pasal 34 menyebutkan, (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Artinya, masyarakat yang menggelandang di jalanan harusnya dijamin kebutuhannya oleh negara. Janganlah menambah beban rakyat sementara hak-hak pokok rakyat selama ini belum dipenuhi secara maksimal. Memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan adalah kewajiban negara sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Persoalan gelandangan dan kemiskinan adalah masalah sistemik. Selama akar masalah-yakni sistem kapitalis- masih diterapkan, persoalan ini akan tetap bermunculan. 

Keempat, tentang korupsi. Pelaku korupsi dalam pasal kontroversial RUU KUHP hanya dipidana selama dua tahun. Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dalam KUHP yang lama, yakni hukuman paling sedikit enam tahun penjara. Pasal ini juga dinilai terlalu memanjakan koruptor. Ditambah dengan hadirnya UU KPK yang baru disahkan, RKHUP melengkapi hak-hak istimewa terhadap para napi korupsi. Bila produk hukumnya begini, pemberantasan korupsi hanyalah mimpi belaka. Ada UU lama saja mereka tak jera, apatah lagi UU baru yang dinilai banyak menguntungkan para maling berdasi.

Mencermati hal tersebut, pasal-pasal kontroversi RKUHP memang patut kita kritisi. Pertama, berpotensi multitafsir. Jika yang dimaksud menghina adalah mengkritik kebijakan penguasa, maka itu adalah bentuk pembungkaman suara rakyat. Jika yang dimaksud menghina adalah penghinaan fisik penguasa, boleh saja berlaku pasal demikian. Hanya saja, aktualisasi pasal penghinaan kepada pemerintah, kepala daerah, wakil rakyat, atau aparatur negara lainnya sering kali berujung pelaporan oleh pihak-pihak yang tidak terima pemimpinnya dikritik. 

Sebut saja UU ITE mengenai pasal ujaran kebencian. Tafsirannya liar dan serampangan. Korban bui dari UU ITE lebih banyak dari kalangan rakyat dan oposisi yang mengkritik kebijakan penguasa. Masyarakat khawatir, bila pasal penghinaan kepada penguasa yang terdapat pada pasal 240, 241, 353, dan 354 RKUHP mengandung pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan penguasa, seperti nasib UU ITE yang banyak menyasar kalangan rakyat oposisi.

Kedua, mengancam kebebasan berpendapat. Bagi publik, pasal-pasal tersebut akan menghalangi hak publik dalam menyampaikan pendapat dan aspirasinya kepada penguasa. Sebagai contoh, pasal 273 yang menyatakan demonstrasi tanpa izin akan dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Ketua YLBHI M. Isnur sangat menyayangkan adanya delik pidana bagi demonstrasi tanpa izin sebab banyak demonstrasi yang dilakukan spontan sebagai bentuk aksi. Selain itu, kalimat “mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara” juga multitafsir. Selama ini, aparat kerap memakai alasan kemacetan jalan untuk menindak demonstran.

Ketiga, mengatur aspirasi rakyat untuk bicara. Penguasa itu semestinya melindungi, bukan memenjarakan rakyat. Tidak ada asap tanpa api. Tidak akan ada kritik jika kinerja penguasa benar dan amanah. Rakyat adalah objek kebijakan. Anehnya, kritik rakyat justru sering dituding menghina. Lagi-lagi, rakyatlah yang paling terdampak pasal-pasal tersebut.

Di balik demokrasi, penguasa sedang mengebiri suara rakyat. Pasal-pasal kontroversi dalam RKUHP hanyalah sekelumit fakta betapa hipokritnya demokrasi tentang kebebasan berpendapat. Menurut demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Akan tetapi, realisasinya, rakyat menjadi korban kedaulatan kekuasaan. Katanya lagi, dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan. Namun, faktanya, suara rakyat berdikari pada pemungutan suara ketika pemilu saja.

Demokrasi juga disebut menjunjung tinggi hak publik. Faktanya, pemimpin hasil demokrasi malah mengeliminasi hak rakyat dalam mendapatkan pelayanan terbaik. Kebijakan penguasa kerap berlawanan dengan kehendak rakyat. Misalnya, rakyat ingin harga-harga turun, kenaikan tarif dan berbagai kebutuhan pangan justru tidak terbendung. Rakyat ingin akses kesehatan dan pendidikan murah, tetapi berbagai pajak dan iuran malah memburu mereka.

Sesungguhnya Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di tengah-tengah umat hari ini adalah warisan dari kaum imperialis Belanda. Sementara Belanda menggunakan undang-undang pidana tersebut berdasarkan turunan dari code penal Prancis, dan Prancis adalah negara yang melakukan kodifikasi terhadap hukum Romawi. Ironis, di tengah kriminalisasi terhadap seruan penerapan syariat dan Khilafah karena dianggap ide asing, transnasional, justru negeri ini memberlakukan undang-undang pidana yang berasal dari negara asing, bahkan imperialis.

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah. Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Inilah keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan. Islam mengajarkan aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) sesama muslim yang pahalanya besar di sisi Allah Swt. Itulah amar makruf nahi mungkar yang menjadikan umat ini mendapat gelar umat terbaik dari Allah SWT. 

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Umat Muslim berbeda dengan kaum Bani Israil yang dilaknat oleh Nabi Dawud as dan Nabi Isa as karena senantiasa mendiamkan kemungkaran. Amar makruf nahi mungkar yang terbesar adalah yang ditujukan kepada penguasa, yakni mengoreksi kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Begitu mulianya amal ini sehingga disebut oleh Nabi SAW sebagai jihad yang paling utama. Beliau bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Dailami). 

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyebutkan orang yang beramar makruf nahi mungkar di hadapan pemimpin zalim akan mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan para syuhada di akhirat. Beliau bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (dengan kemakrufan) dan melarang (dari kemungkaran) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabarani).

Sering orang mendiamkan kemungkaran penguasa dengan dalih menaati ulul amri atau menyebut hal itu sebagai amal menutupi aib sesama muslim. Padahal, mendiamkan kemungkaran penguasa adalah kemungkaran yang besar. Nabi SAW menjelaskan bahwa meninggalkan amar makruf nahi mungkar, terutama terhadap para penguasa, akan berdampak pada terhalangnya doa dan munculnya para pemimpin jahat. Beliau bersabda, “Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan.” (HR Al-Bazzar).

Semua ini tentu wajib dikritik dan dikoreksi. Begitu pula kelicikan penguasa seperti mencari keuntungan pribadi atau oligarki dari jasa layanan publik semisal pendidikan, kesehatan, dan sebagainya juga wajib diluruskan. Menghalang-halangi amar makruf nahi mungkar adalah kemungkaran. Jika mendiamkan kemungkaran di depan mata bisa mendatangkan siksa Allah SWT. Adapun menghina pribadi seseorang, termasuk penguasa, maka ada dua kategori: 
Pertama, mencela seorang muslim dengan mengungkap aib yang ada pada dirinya. Kedua, mencela muslim tanpa memedulikan apakah aib itu ada pada saudaranya ataukah tidak. Kedua hal ini haram. Nabi SAW bersabda, “Mencela seorang muslim merupakan kefasikan.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Padahal Allah SWT telah menunjukkan kepada umat ini syariat-Nya yang pasti memberikan kebaikan dan membuka banyak keberkahan. Sudah seharusnya umat kembali pada syariat Islam sebagai bukti keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT. Mereka wajib meyakini bahwa tidak ada aturan terbaik selain syariat-Nya. Allah SWT berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5]: 50). []


Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments